Jumat, 12 April 2013

DERING SMS


Handphone itu kembali berdering untuk kesekian kalinya. Sayup-sayup terdengar di telinga dengan suara khasnya yang menandakan bahwa ada pesan masuk di HPku. Aku masih sedikit tersadar dari lelap tidurku. Kukumpulkan tenaga, untuk mengusir kantuk. Dengan sedikit malas ku raih Handphone itu di atas meja, di sebelah komputer bututku. Kulihat ada empat panggilan tak terjawab dan satu SMS. Ku buka pesan tersebut.
Kok ga’ diangkat??!!Lagi apa????!!”
Ku jawab dengan singkat.
Maaf…..tadi lagi tidur…Semalaman belum tidur….Ada apa?”
Ku rebahkan tubuh ini lagi di ranjang kasur kamar kosku. Capek dan lelah tubuh ini, setelah tadi malam lembur bikin tugas analisa makroekonomika yang di deadline untuk harus selesai dan di kumpulkan pada jam 9 pagi tadi, sebagai tugas pra-syarat untuk mengikuti ujian akhir semester pada hari senin depan. Demi ujian itulah aku harus begadang tiap malam, agar tidak mendapat nilai E yang sudah di janjikan dosen kami jika sampai mahasiswanya tidak membuat tugas akhir. Itu artinya sangat jelas, apabila gagal, mengulang kembali lagi di semester tahun depan. Dan itu merupakan konsekuensi yang mengerikan mengingat kami sudah mencapai akhir semester. Sebuah intimidasi terselubung aku pikir. Namun kami tak kuasa menolak apalagi membantah. Begitulah psikologi orang yang lemah daya tawarnya. Tidak bisa berbuat apa-apa, namun hanya menggeremang dan mengutuki saja namun tidak bisa merubah apapun. Tidur. Istirahat kembali untuk nanti malam menyiapkan energi.
Belum sempat aku terlelap, aku di kagetkan kembali dengan suara telepon yang meraung-raung tepat di sebelah kupingku. Brengsek. Siapa lagi yang mengganggu tidur ini. Kulihat nama yang muncul di layar handphone. Aku mendesah. Namun tetap kuangkat telepon itu.
———————————–000000000000000000000000000000———————————
Setengah jam selanjutnya, aku sudah berada di atas bus kota yang terjebak di silang sengkarutnya lalu lintas jalanan. Di tengah panasnya udara kota ini, aku terhimpit diantara penumpang lain. Mandi sebelum berangkat tadi sedikit menyegarkan dan mengusir kantuk. Meskipun di dalam bis reyot ini, sisa kesegeran itu menguap sudah.
Kupandang keluar jendela, menyaksikan keruwetan kota ini. Sebuah kota yang penuh dinamika budaya dan akan sedang gencar membangun tata kotanya.
Aku turun di simpang jalan, di depan sebuah gapura perumahan elite di kota ini. Dengan di jaga seorang satpam yang bertugas disana, yang sudah aku kenal, dikarenakan diriku termasuk salah seorang tamu langganan bagi salah satu keluarga penghuni perumahan. Kusampaikan salam dan basa-basi sebentar untuk menghormati dan selanjutnya bergegas masuk dalam kompleks mewah ini. Aku akan berjalan kurang lebih lima ratus meter ke dalam. Karena rumah yang kutuju masih beberapa blok dari jalan raya.
Ku keluarkan rokok dalam bungkusnya sisa begadang tadi malam, sebagai teman perjalanan. Ku nyalakan api, menghirup dalam-dalam dan melepaskannya perlahan-lahan. Menikmati setiap nikotin yang beradu dalam lidah ini. Percakapan semalam dengan seorang teman mulai masuk dalam struktur ingatanku lagi.
“Sudahlah, di nikmatin saja hubungan dengan dia. Jangan sok menjadi idealis begitu. Bodoh itu namanya.” Kata Bang Yos, teman satu kos yang kamarnya tepat berhadapan dengan kamar aku.
“Bukan aku sok idealis Bang, tapi ini soal gengsi dan harga diri lelaki……”Kataku setelah menceritakan masalah ini kepada beliaunya.
“Kamunya saja yang mungkin terlalu rumit….”
Aku menghela nafas sejenak.
Memang, untuk urusan seperti ini bagi sebagian kalangan bukan masalah, dan mungkin malah merupakan sebuah anugerah. Bayangkan mempunyai teman wanita dari anak keluarga yang cukup terpandang di kota ini. Yang mau menerima cowok miskin apa adanya buat dia. Mana ada sekarang, model cewek seperti itu. Tapi, ah itulah masalahnya.
Memang kuakui, seharusnya aku beruntung. Namun, entah darimana asalnya, hati terdalam ini seperti memekik-mekik keras saat aku berada di dekatnya. Harga diri ini serasa di aduk-aduk. Meskipun itu di sampaikan dengan perantara yang katanya beratasnama cinta, kasih sayang dan perhatian. Namun yang sampai padaku, yang aku rasakan berasa layaknya pengebirian besar-besaran terhadap sebuah harga diri lelaki. Mungkin ini subjektif dari perasaanku saja. Mungki aku yang terlalu berlebih-lebihan dan bersangka buruk dengan dia. Entahlah.
Ketika setiap cowok terus menerus di supplai setiap jalan, di sokong setiap makan, di bayari ongkos untuk biaya hidup sehari-hari karena kiriman bulanan yang di terimakan jauh dari mencukupi hidup selama 1 bulan. Yang tidak mempunyai kekuatan apa-apa sehingga menjadi tak kuasa menolak setiap ucapanya. Ucapan-ucapanya haruslah di turuti, karena kalau tidak di turuti alangkah sangat buruknya. Sudahlah makan di bayari, masih mau menangnya sendiri pula. Dan saya bukan termasuk orang seperti itu.
“Bahh…mana ada sekarang harga diri. Yang ada adalah diri kita yang semakin tidak berharga.” Potong Bang Yos.
“Abang ini maksudnya bagaimana kok malah diri kita semakin tidak berharga?” Aku belum paham apa yang akan diomongkannya ini.
“Loh..iya tha…lihat saja di sekitar kita ini, berapa banyak diri kita yang semakin berlagak sok jual diri malah semakin tidak laku. Parameter yang dipakai sekarang ini adalah seberapa murah anda menjual diri anda, dan itu akan di beli oleh produser-produser zaman untuk meraup keuntungan buat diri mereka sendiri.”
“Ini siapa yang mau jadi bintang film? Ini adalah soal harga diri dan gengsi yang harus ada pada diri lelaki agar kita sebagai lelaki tidak di rendahkan mahluk lain yang bernama wanita.” Kataku sedikit berapi-api.
“Itulah masalahnya. Matamu masih kurang awas, rabun senja dalam melihat konteks masalah.”
Bang Yoss garuk-garuk kepala. Dan mulai mendalili diriku tentang berbagai macam hal.
“Kamu bertahan untuk menjadi orang yang punya harga diri, tapi kamu miskin. Kalau dirimu miskin dan memang berniat untuk miskin tidak usah mensalahartikan pemberian orang yang merupakan bentuk penghargaan dan kasihnya kepada dirimu.”
Bang yos berhenti sejenak. Mengambil sebatang rokok yang aku sediakan dan menyulut rokoknya, menghisap dalam-dalam dan menghembuskannya ke arah wajahku. Sehingga asap putih itu mengepul-ngepul seolah-olah meracuni alam pikiran idealisku selama ini.
“Dan bila memang ingin harga diri, tetaplah miskin dan jangan mengutuki kemiskinanmu.”
Bang yos berdiri dan meninggalkan diriku yang masih termangu-mangu.
Aku mendesah. Pikiranku kacau. Dan sampailah aku di kediaman rumah istana ini. Rumah seorang bidadari. Namun aku cenderung melihatnya bagai vampire penghisap darah harga diri.
Dia berdiri di beranda depan rumah. Seperti biasa menyambut dengan senyum yang ramah dan berwajah ceria. Terbersit rasa berdosa bila melihat kemurnian dan wajah tanpa dosanya.
Setelah berbasa-basi sejenak. Akhirnya di putuskan bahwa aku untuk kesekian kalinya harus mengantar dia pergi berbelanja dan tidak lupa mampir di rumah temannya. Entah ada urusan apa. Namun aku mencatat, seringkali ketika kami jalan, kami harus datang ke rumah teman-temannya. Yang menanyakan tugaslah, mengambil barang yang ketinggalan, janjian mau pergi ke fitness, menghadiri pesta diskonlah, mendiskusikan acara kampus dan lain sebagainya. Yang terkadang aku berpikir bahwa banyak sekali agenda perempuan ini. Dan memang, aku tidak terlalu perduli dengan aktivitasnya. Karena bagiku tidak penting untuk memikirkan hal-hal semacam itu. Lebih baik memikirkan bagaimana kuliahku cepat selesai, syukur-syukur dengan IPK yang tinggi dan segera dapat pekerjaan sehingga bisa membantu keluargaku yang ada di kampung.
Dan ketika di depan teman-temannya, merasa diri ini serasa kambing congek yang di kekang oleh tali dan di mainkan sesuka hatinya oleh si penggembala. Meskipun meraka tidak berkata-kata apapun di depanku, dan mungkin saja mereka pekewuh hati dengan diriku, jadi hanya sebatas tegur sapa dan lempat senyum yang hambar. Bagi mereka mungkin terbersit pikiran : inilah cowok yang selama ini hanya menjadi benalu bagi pacarnya. Cowok yang tidak pernah punya modal. Hanya mengandalkan tampang yang pas-pasan dan wajah memelas yang patut di kasihani.
Pikiran-pikiran itu menerobos akal, mengaduk-aduk hati dan menjungkirbalikan tatanan syaraf dan prinsip diriku. Namun tak bisa kulakukan apapun. Aku semakin menunduk dalam-dalam tidak berani menatap wajah mereka.
Dan ketika tiba di pusat perbelanjaapun, beribu-ribu wajah itu semakin menakutkan. Melihat diriku dengan tatapan yang tajam dan menyelidik dan sedikit di tambahi dengan senyum yang sinis dan sedikit terpancar wajah menghina di raut muka. Seorang pria yang membawakan barang bawaan teman wanitanya, yang bisa di suruh kesana kemari untuk melayani perintah sang Ndoro Putri, selalu harus menunjukkan muka tersenyum meskipun hati memekik diam-diam.
Tidak. Aku sudah tidak kuat. Aku menolak diperbudak. Aku menolak untuk menjual diriku dengan beberapa potong celana jeans, dengan handphone Blackberry, dengan tambahan uang jajan dan uang kuliah. Aku tidak semurah itu.
Kuambil nafas dalam-dalam. Kutahan gemuruh di dada ini yang hampir meledak. Dan sekarang harus kutegaskan.
Ku gandeng tangan dan ku tatap wajahnya namun dengan senyum manis yang terbuat dari gula kepalsuan. Tidak perduli, toh dia juga tidak mengerti.
            “Sudah hampir malam, ayo kita pulang,” dengan nada lembut ku sampaikan permintaanku.
“Sebentar dong Sayang. Kan masih banyak pesenan dari mama yang belum kebeli.”Jawabnya dengan manja.
“Ya di terusin besok lagi saja ya. Kan uda mau ujian semester. Jadi mendingan kita pulang dulu saja. Biar bisa ada waktu buat belajar.” Kata diriku dengan gaya bicara yang sok bijak.
Dengan sedikit rayuan, akhirnya bersedialah kita menyegarakan untuk pulang. Meskipun di tengah perjalanan dia membuat janji-janji dan kesepakatan yang harus aku tepati. Kutampung celotehannya itu dengan sunggingan senyum kegetiran. Karena dalam hati ini telah terucap, maaf sayang aku tidak bisa lagi kau harapkan.
Dan ketika di depan rumahnya yang megah, di bawah temaram lampu yang romantis. Dengan hidangan kue yang bermacam-macam, ku tetetapkan untuk mengungkapkan.
Sudah bisa di tebak dia akan menangis. Dia menjerit. Dia memekik. Menanyakan alasan apa sehingga aku berkata demikian. Dia memegang tanganku, meronta tidak mau dilepaskan sebelum aku menjelaskan.
Sedikit aku larut dalam drama melankolia itu. Tapi kutepiskan rasa itu. Toh, seluruh wanita juga pernah merasakah menangis, dan wajar apabila wanita menangis pada saat seperti ini. Tidak kupedulikan.
Kubisikkan kata terakhir.
“Maafkan aku sayang. Kesalahanmu terhadap diriku hanya satu. Karena dirimu tidak pernah berbuat salah.”
Aku beranjak untuk berdiri. Kutinggalkan dia sendiri di taman impian ini.
Aku melangkah sangat gagah. Takan ada lagi mata-mata yang memandang menghinakan. Kuhancurkan semua tatapan sinis dan meremehkan. Kujawab dengan keputusan yang gemilang. Ini harga diri laki laki, Bung. Dan jangan sekali kali kau rendahkan.
———————————–000000000000000000000000000000———————————
Beberapa pekan selanjutnya, aku tidak pernah bertemu lagi dengan dirinya. Meskipun sedikit pula kumendengar cerita dari beberapa temah kuliah tentang dia. Namun aku tidak perduli. Itu masa silam. Tidak berpengaruh di masa depan. Dan telah kupilih masa depan itu dengan belajar mati-matian untuk menghadapi ujian. Ini merupakan semester akhir, dan aku harus bisa mendapatkan yang terbaik untuk nilai ujian kali ini.
Duduk di sebuah bangku kantin menghadapi segelas teh manis yang dihidangkan. Aku menunggu sebuah kabar. Sebuah kabar dari ayah di rantau seberang. Bagaimanapun kemarin sudah aku jelaskan, bahwa aku akan menghadapi ujian dan membutuhkan biaya agar aku dapat mengikutinya. Beliau menjanjikan akan memberi kabar. Semoga kabar yang menggembirakan.
Satu dua jam aku menunggu. Rasa gelisah semakin menjalari diri ini. Hari ini adalah hari terakhir untuk melakukan pembayaran. Apabila tidak bisa melunasi pembayaran, hancurlah perjuangan belajar selama semester ini.
Aku semakin gelisah. Beberapa kali kucoba kuhubungi dengan telpon dan tidak ada jawaban. Berpuluh SMS telah kukirimkan, namun sampai detik ini belum ada jawaban. Aku panik. Aku kuatkan untuk menunggu dan bertahan. Setidaknya masih ada beberapa jam tersisa.
Aku masih menghadapi teh manisku yang memang sengaja belum aku habiskan ketika dia datang bersama dengan segerombolan teman-temannya. Pura-pura aku tidak melihatnya, meskipun toh akhirnya harus bersapa juga. Dia memisahkan diri dari teman-temannya dan memilih duduk di satu meja dengan aku. Sedikit kikuk, namun tetap kupertahankan harga diriku untuk terlihat tenang.
Dia mulai menyapa dan berkata. Menanyakan kabar dan segala hal selama ini. Dia mulai membuka cerita, tentang banyak hal. Dan tidak menyinggung kejadian tempo hari yang membuat dirinya hancur berantakan, Sudah tidak dapat di temukan jejak kesedihan itu. Yang terlihat hanya kecerian dan sebuah kemurnian. Tercermin dari tutur katanya yang lembut dan menentramkan. Ah ini hanya melankolia.
Dering teleponku berbunyi. Ada SMS yang masuk. Ah ini dia, yang sedari tadi kutunggu. Aku melonjak kegirangan, sehingga dia juga sedikit heran dengan perubahan mendadak pada diriku. Ku sambut dia dengan senyum yang 100% murni.
Kuambil Handphone itu dan kubaca pesan singkatnya.
Bang…maaf bapak belum dapat mengusahakan. Coba nyari pinjaman dulu…
Aku tergetar. Seluruh dunia ini seakan berhenti berputar. Mataku tiba-tiba berkunang-kunang. Aku menunduk dalam. Tidak mampu berkata dan tidak kudengar seorang yang berkata di depanku. Seolah aku berada di alam lain.
Dia memegang tanganku. Melihat ada perubahan di diriku. Dia menanyai diriku. Kenapa dan apa. Seperti pertanyaannya tempo dulu. Namun kali ini perlahan-lahan kuceritakan. Bibir ini berat selayaknya di bebani dengan batu berton-ton. Aku tak sanggup untuk menatap wajahnya.
Dia menggerakkan tanganku. Dan dikeluarkannya beberapa lembar uang ratus ribuan dan diserahkannya kepada diriku.
“Segera untuk dibayarkan dulu, mumpung belum telat.”katanya dengan tulus.
Kutatap wajahnya. Kulihat kebeningan di matanya. Dia tersenyum. Namun kali ini akulah yang menangis.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar