Tampilkan postingan dengan label Cerpen. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Cerpen. Tampilkan semua postingan

Jumat, 12 April 2013

AKU YANG TERLUPAKAN


Aku adalah seorang gadis yang lahir 25 tahun yang lalu.sejak kecil aku sudah dibedakan dari saudara-saudaraku yang lain.mulai dari makan dan minum,pakaian hingga harus membantu orang tua bekerja.Setiap hari selesai sekolah,aku harus menggembalakan sapi yang banyaknya puluhan ekor.Jika aku menolak bekerja,maka ayahku akan memarahi dan memukuliku.makan lebih banyak sedikit juga langsung dimarahi,hampir tiap hari tubuhku merasakan sakit.Tapi mereka tidak pernah memperdulikan aku.Hingga aku sering berpikir,kapan aku bisa keluar dan pergi dari rumah ini.
Ibu selalu memanjakan saudara-saudaraku,jika saudaraku ada yang minta dibelikan pakain atau apapun itu,ibu selalu menurutinya.Tapi lain halnya kalau aku yang minta,mereka seakan acuh terhadapku.Pernah suatu hari aku minta dibelikan tas sekolah,karena tas punyaku sudah rusak,tapi mereka tetap saja acuh,hingga akhirnya aku jatuh sakit,mereka baru mau membelikanku tas untuk sekolah.
Bila ada waktu senggang,aku membantu tetanggaku mencuci pakaian mereka,hasil dari mencuci aku belikan telur dan aku kasihkan ke saudara-saudaraku.Karena entah mengapa,setiap kali aku mau makan sendiri,aku selalu terpikir akan saudara-saudaraku,apakah mereka sudah makan atau belum.Biarpun mereka sering jahat padaku,tapi aku sayang saudara-saudaraku.Meskipun mereka lebih sering jahat terhadapku,tapi aku tak pernah dendam kepada mereka.
Hingga tak terasa umurku sudah 15 tahun,tapi masih saja melakukan pekerjaan ini.Kadang aku selalu berpikir,kapan aku bisa pergi dari rumah ini.Dan akhirnya semua itu terkabul,tetanggaku ada yang menawarkan untuk bekerja di luar negeri dan aku pun mau.Singkat cerita aku bekerja diluar negeri selama 2th,tapi hasilnya tetap saja aku kirim untuk saudara-saudaraku,karena bagaimanapun juga hatiku tidak tega membiarkan mereka.Kontrak kerjaku sudah habis,dan aku pun pulang.berharap bisa berkumpul bersama lagi dengan keluargaku.Tapi yang terjadi diluar dugaanku,mereka yang dari dulu selalu aku pikirkan dan aku sayangi ternyata mengacuhkan kehadiranku.Tidak satupun dari mereka mau menyapa ataupun melihatku.Sakit rasanya hati ini,dan semua itu berkepanjangan yang akhirnya membuat diriku stress dan depresi bahkan boleh dikatakan aku sempat gila.Untung saja ada tetanggaku yang kasihan dan membawaku untuk berobat.Selang berapa lama aku pun sembuh dan sehat kembali.
Tekadku pun kini bulat kembali untuk pergi dari rumah dan bekerja diluar negeri lagi.Lama tidak ada kabar dari keluargaku,akupun mencoba menghubungi mereka.Aku telepon kakakku,ternyata dia sudah menikah dan punya anak.Mendengar ceritanya yang sedih,akupun tak tega.Tiap bulan aku selalu mengirim mereka uang,agar hidup mereka tidak susah.Begitu juga dengan saudara-saudaraku yang lain,aku juga kirim mereka uang.Kejadian ini terus berlangsung hingga bertahun-tahun.Yang aku herankan,mereka tidak pernah menanyakan kabarku,apakah aku sakit,masih hidupkah aku.Mereka hanya menghubungiku jika mereka butuh uang saja.Begitu juga dengan kedua orang tuaku,mereka tidak pernah memperdulikan aku.
Kini aku dalam sebuah dilema,apa yang harus aku lakukan.Mengapa semua seperti ini,yang mereka pikirkan hanya uang dan uang terus.Aku juga manusia yang butuh kasih sayang dan perhatian.Salahkah diriku bila nantinya aku menjauhi mereka.Durhaka kah aku kepada orang tuaku???

APA AKU HARUS MENANGIS?


Lely punya teman seorang penyanyi. Sebut saja namanya Gita. Gita menjadi lebih terkenal setelah merilis album terbarunya Everything I Need Is Only You. Dia kembali kuliah setelah tertinggal beberapa minggu. Lely melihatnya duduk di bangku pertama di dalam kelas jumat pagi. Dia sibuk membaca buku. Dia begitu cantik dan terkenal pintar. Dan juga mempunyai suara yang enak. Kenyataanya dia selalu juara kelas selama empat semester ini. Dia gadis yang berprestasi pada umurnya sekarang. Saat yang lain memikirkan ekonomi, tapi dia bisa membiayai kuliahnya sendiri. Dia adalah gadis yang sempurna.
Tapi untuk Lely, dia adalah musuh. Pikiran itu muncul pertama kali saat Dion bertanya tentang Gita padanya. Dion teryata adalah teman traveling Gita dari Jakarta kemarin.
*                      *                      *
“Tata itu temanmukan Lel?” Dion bertanya setelah cerita tentang perjalanannya yang menyenangkan. Paman Dion mengundangnya untuk berlibur ke Jakarta selama tiga hari. Dan saat pulang, tiba-tiba ada cewek yang pindah tempat duduk di sampingnya. Dion pikir cewek itu tidak asing.
“Hai Dion... Kamu suka baca horison?” Kata gadis itu.
“Kok dia bisa tahu aku” Kata Dion dalam hati.
“Oh iya, aku suka membacanya untuk menghabiskan waktu”
“Jadi kamu dari Jakarta ya? Bagaimana menurutmu tentang Jakarta?”
“Indah. Kamu tahukan macetnya agak bikin shock. Maklum kota besar”
“Kamu kayak turis saja”. Dia tersenyum.
“Iya. Pamanku yang menyuruhku datang ke Jakarta. Dan sekarang aku balik ke Semarang, itu semua beliau yang membayari”
“Pamanmu baik ya?”
“Iya. Eh aku boleh nanya? Aku gak tahu namamu, tapi kamu tahu namaku”
“Ya. Kamu pakai almamater universitas kita. Dan aku pernah melihatmu dengan Lely di Semarang. Aku Tata temannya Lely. Aku lihat kamu baca buku, jadi aku terpaksa mengajakmu ngobrol”
Gitulah mereka berdua dengan mudahnya menjadi teman. Dan Dion tanya tentang Gita ke Lely  di kosan Lely.
“Kita biasa memanggilnya Gita atau Tata”
*                    *                  *
Hari ini Lely tidak bisa menjelaskan perasaannya ketika melihat Gita. Dia tidak tahu kenapa harus marah pada Tata. Marah atau iri tepatnya. Dia tak punya alasan. Dia mencoba berpikir tapi hatinya sakit.
“Hai Ta?” Lely menyapa Gita sambil tersenyum manis.
“Hai. Udah lama kita gak ketemu. Gmn kabarmu cantik?” Lely pikir dia begitu tulus, kemudian dia tersenyum.
“Baik. Jadi sejak kapan kamu baca buku filsafat? Kamu jangan terlalu banyak mikir nanti rambutmu rontok dan gak cantik lagi lo” Mereka tertawa bersama.
Dalam hati Lely berkata: “Ya tuhan kita itu teman, gak mungkin akau memusuhinya”
“Dion bilang kamu itu cuek banget”
Dalam hati Lely berkata: “Dion? Dion lagi? Oh ya kita Cuma teman”
“Aku merasa dipuji” Lely tersenyum.
“Iya kadang-kadang aku merasa kamu tuh gak cuma cuek tapi kejam. Kamu inget gak pas seminar linguistik? Kamu mengekpresikan idemu tanpa peduli pendapat orang lain. Aku suka itu”
“Aku memang gak peduli. Selama aku pikir itu benar........”
“Aku akan mengambil risiko dan membuatnya benar”
*                      *                      *
            Suatu sore sebuah mobil berhenti tepat di depan kos Lely. Dion keluar, tentu saja bersama Gita. Mereka tersenyum saat melihat Lely menyiram bunga di halaman. Itulah saat di mana Lely susah untuk tersenyum.
“Ternyata teman kita masih ingat untuk nyiram bunga”
“Mau ikut kita kah?” Dion tersenyum.
“Kemana?” Susah payah dia menutupi hatinya yang cemburu.
“Kita akan bertemu penyair yang akan menjadi konsultan lirik lagu Tata. Kamu tahu Lel dia sudah nulis lagunya sendiri”
“Wowwwww. Tapi maaf aku tak bisa kemana-mana”
Gak ada orang selain aku? Apa aku cemburu ya? Hatiku cekit-cekit (kata Lely dalam hati).
“Jadi sepertinya kita harus pergi tanpa Lely Dion? Sampai ketemu lagi”
Suara Gita terdengar senang. “Sampai ketemu besok Lely”
“Iya. Semoga menikmati kencan kalian” Lely melihat mereka pergi dan dia ke dalam lalu menangis. Dan jika seseorang bisa menangis setiap hari selama semingu dia akan melakukannya. Dia tidak bisa melihat Dion dan Gita bersama-sama. Itu membuatnya depresi. Dulu dia pernah menertawakan seseorang yang patah hati. Tapi sekarang dia tahu gimana rasanya patah hati. Betapa sakitnya dan sakit, itu katanya.
“Aku harus kuat. Brengsek kamu Dion. Kamu Cuma temanku, tapi kenapa aku harus sedih gara-gara kamu keluar dengan cewek lain? Kenyataannya dia tidak pernah bilang cinta padaku, tapi kenapa aku harus cemburu melihatnya pergi dengan cewek lain”
“Lely” Suara panggilan namanya.
Upssss. Lely cepat-cepat menghapus air matanya. Semua temannya sudah pulang tapi ternyata masih ada Gita berdiri di depan pintu.
“Kamu tidak kelihatan seperti biasanya. Jangan sedih Lely”
“Ngak kok aku ngak sedih”
“Hei kita ini cewek. Kamu tidak bisa menyembunyikan perasaanmu. Ini tentang Dion kan?”
“Kok kamu bisa tahu?”
“Perasaan cewek. Aku hanya melihat wajahmu, caramu bicara dan kamu menyebut nama Dion. Itu lebih jelas dari kata-kata. Maaf Lely dia sangat berarti buatmu. Aku gak ada maksud untuk nyakitin kamu. Aku jalan sama dia kemarin karena aku hanya ingin dia menemani aku. Kenapa mereka cowok-cowok itu begitu bodoh. Susah mengerti kita sebagai cewek. Secepatnya aku akan meluruskan semuannya. Kamu tidak perlu khawatir akan kehilangan dia. Kita kan teman. Kamu gak usah sedih. Sekarang kamu harus jadi dirimu sendiri. Lely yang kuat dan pintar”
“Kamu bercanda. Aku gak sekuat yang kamu pikir. Kamu tahu kan sekarang?”
“Iya kita kan cewek itulah kenyataanya. Tapi kamu harus kuat. Terkadang menangis itu penting. Aku akan naganterin kamu pulang sekarang. Hapus air matamu, di luar banyak orang, aku ngak mau mereka melihatmu dalam keadaan seperti ini” mereka tertawa bersama-sama.
“Ngomong-ngomong kenapa kamu gak di rumah aja. Kamu kan lagi sedih, kenapa kamu maksa diri buat kuliah”
“Aku gak mikir akan sesedih ini dan menangis tanpa sadar menangis sendiri saat.....!”
“Saat mengingat Dion?”
“Iya” Lely mengakui.
“Iya aku gak tahu, Dion begitu ganteng dimatamu” Lely melihat mata gita, ada ketulusan di sana
“Apa yang kamu bicarakan Gita. Kamu malah memuji-muji Dion. Apa maksudmu?”
.........................................................................................................................................



Ayah dan Ibuku Bukan Untuk Kau Hina


Jika boleh aku bersyukur dan berkata, mungkin aku orang paling beruntung. Aku memang berasal dari keluarga yang sangat sederhana, tetapi keberuntungan selalu menyertaiku. Ayahku seorang pemabuk. Dia bekerja menjual minuman keras. Orang Jawa khususnya daerah Tuban dan Lamongan menyebutnya Toak. Minuman ini terbuat dari Jatu dan Wolo. Jatu adalah kulit pohon kejaran yang diiris tipis, sedangkan wolo adalah buah dari pohon rotan yang gennya laki-laki. Ayahku menyetorkan toaknya ke warung-warung di pinggiran jalan maupun di pelosok desa. Dia selalu pulang dalam keadaan mabuk. Ibukku seorang buruh di sebuah kios kecil di Pasar Baru. Aku hidup dari jerih payah ayah dan ibuku sampai aku lulus di sebuah sekolah ternama di kota ku. Kalau boleh aku jujur, aku malu mempunyai ayah yang bekerja keras mendapatkan uang haram, tetapi hanya dengan itu aku bisa bersekolah. Ejekan demi ejekan kuanggap sebagai angin belaka, karena itu hanya bisa melukaiku dan orangtuaku.
Saat aku lulus SMA, aku tidak mempunyai tujuan akan ke mana diriku melangkah. Orangtuaku sudah bersyukur bisa menyekolahkanku sampai tamat SMA, sehingga aku tidak punya keberanian tuk katakan apa maksudku. Sebenarnya mereka ingin aku melanjutkan pendidikanku, tetapi apalah daya ekonomi menjadi masalah terbesar dalam hidupku. Semakin hari aku semakin bingung. Saat berada di sekolah, teman-temanku mondar-mandir mengurus ini dan itu untuk mempersiapkan pendaftaran di universitas yang diinginkan, sementara aku hanya bisa melihat, meratapi, membayangkan bagaimana senangnya hatiku seandainya aku bisa seperti mereka. Pukul 13.00 WIB aku pulang ke rumah dan mengatakan apa yang ku rasa pada ayah dan ibuku. Jawaban pahit telah mencabik-cabik hatiku. Mereka tak sanggup menguliahkanku.
Beberapa hari berikutnya, guruku yang sering memperhatikanku datang menemuiku. Aku disuruh untuk mendaftarkan diri melalui jalur beasiswa bagi siswa yang kurang mampu. Hatiku terasa hidup kembali mendengar ada kesempatan buat si miskin seperti aku. Aku pulang dengan wajah semringah penuh semangat yang membara, tetapi ayah dan ibuku tidak mengizinkanku karena mereka takut akan biaya kuliahku. Mendengar diriku tak dapat izin dari orangtuaku, semangatku kian hari kian pupus. Sahabat-sahabatku yang setia tidak ingin melihat aku menangis, mereka ingin berjuang bersama dalam suka dan duka. Tiyem dan Titik tak henti-hentinya menasehatiku. Selain Tiyem dan Tatik, ada seorang yang paling aku sayangi. Menjadi kekasih sekaligus seorang kakak. Dia adalah pacarku, namanya Sholeh. Dia anak dari keluarga kyai, dan dia lulusan dari universitas swasta di kota ku.
Tekatku kian bulat, tanpa izin ayah dan ibuku, aku pergi mendaftar di sebuah universitas ternama di Indonesia. Aku dan sahabatku hidup klontang-klantung di jalanan selama tiga hari. Tak tahu arah ke mana harus membaringkan sejenak tubuh yang tlah lelah ini. Tak ada satupun sanak saudara. Bunyi perut menjadi teman setia. Lagi-lagi keberuntungan datang padaku. Aku tlah diterima di universitas yang aku inginkan. Aku tak menyangka hal itu terjadi. Aku tak pandai, dan aku bukan orang yang kaya, tetapi keberuntungan berkali-kali menghampiriku. Orangtuaku akhirnya ikut senang atas usahaku. Kini aku telah menikmati betapa bersyukurnya aku dapat kuliah ditengah-tengah kemewahan orang-orang di sekitarku.
Waktu tlah tiba di mana aku akan diperkenalkan pada orangtuanya. Pukul 15.00 WIB aku dijemput olehnya menuju rumah pacarku. Sambutan orangtuanya tak terduga. Mereka senang dengan kedatanganku. Akupun malu saat mereka mengajak berbicara dan bergurau. Hari-hariku terasa sempurna, aku bisa kuliah dan aku bisa bertemu dengan keluarga pacarku.
Ternyata kebahagiaan hanya berlangsung sekejab. Seminggu berikutnya, keberuntungan tak berpihak padaku. Bukan karna orangtuannya tak menyukai ku. Keluargakulah menjadi korbannya. Mereka tak tahu apa-apa, tapi mereka jadi bahan cemoohan. Keluarganya memang orang terpandang, terhormat, dan berderajat. Aku bagaikan pungguk merindukan bulan. Keluargaku memang miskin. Aku terlahir dari keluarga pemabuk. Dan aku bukan lulusan dari madrasah. Ulama’ melawan pemabuk, itu kata-kata sindiran yang terbiasa terlontar. Aku sakit hati olehnya, aku muak dengan keadaan yang mengombang-ambingkan perasaanku. Jika orangtuaku tahu, mereka kan murka. Tapi aku tak sanggup katakan hal itu.
“Tak pantaskah aku memilikinya Tuhan?”
“Tak pantaskah aku menjadi menantunya Tuhan?”
“Tak pantaskan anak seorang pemabuk bersanding dengan anak kyai Tuhan?”
Biarkanlah aku menanggung semua derita ini. Jangan ayah dan ibuku.Oh Tuhan apa yang harus ku lakukan. Berilah aku petunjukmu. . . . . . . . . .

Cewek Stasiun


Di siang yang terik matahari bersinar dengan panasnya. Jalanan dipenuhi kendaraan dan lalu lalang orang-orang yang pulang setelah bekerja. Di trotoar tampak seorang cewek berseragam SMP sedang berlari tanpa mempedulikan sekitar. Rambutnya yang hitam panjang terurai lembut. Terlihat beberapa butir keringat membasahi dahinya. Tepat di bawah pohon beringin dia berhenti, membungkuk, meletakkan kedua tangannya diatas lutut. Sambil terengah-engah dia mengatur nafasnya, kemudian menoleh ke belakang. Tampak seorang cowok yang berseragam sama dengannya, juga berlari menuju ke arahnya.
“Jan, kamu cepet banget sih larinya. Capek tahu ngejar kamu..” Kata cowok itu sembari menyeka keringat di dahi dengan punggung tangannya.
Jani menoleh cuek, “Nggak ada yang nyuruh kamu buat ngikutin aku.” Dia mengamati Radit, jijik. Rambut cowok itu tampak begitu lepek, seragam putihnya terlihat kumal dan berantakan. Dia mulai berbalik melanjutkan jalan, pulang.
“Jan... aku kan udah bilang aku mau nganterin kamu. Kenapa sih kamu nggak pernah mau ngasih kesempatan ke aku?” Radit bertanya putus asa. Tangannya dengan cepat menahan lengan Jani, namun dengan cepat juga Jani menepisnya.
“Apa sih, Dit? Aku bisa pulang sendiri.” Kali ini Jani tidak peduli lagi. Dia benar-benar berbalik pergi meninggalkan Radit yang masih terdiam membisu.
“Jan.... Yaudah, hati-hati ya!”

*                      *                      *
Keesokan harinya di dalam kelas, saat jam istirahat Radit memamerkan hasil gambarnya kepada teman-temannya, gambar Jani sedang tersenyum, manis.
“Cieeee Radit, kayaknya  beneran jatuh cinta nih sama Jani.. ehem... buruan tembak deh! Pasti dterima kok..” Kata Santi menggoda.
“Cieee ehem pajak jadiannya dong!” Fedi menimpali ikut menggoda Radit.
Radit diam saja, tapi bibirnya tidak bisa berhenti menyunggingkan senyum. Jani yang baru saja masuk kelas dan berniat duduk di bangkunya kemudian berjalan ke arah Radit, Santi, dan Fedi. Mukanya merah padam karena marah.
“Dit, denger yaa! Aku nggak suka kalau kamu ngejar-ngejar aku. Kamu ngaca deh! Kamu itu nggak pantes buat aku. Aku nggak suka sama kamu.” Jani mengatakan itu semua tepat di depan Radit.
Fedi kaget mendengar ucapan Jani. “Aku nggak ikutan deh.” Katanya kemudian berlalu pergi.
Radit sendiri hanya diam, sama dengan Fedi, diapun kaget. Dia menghela napas panjang dan menunduk.
Melihat reaksi Radit, Jani agak heran. “Kok dia diam aja? Kenapa dia nggak bilang sesuatupun?” Tanyanya dalam hati.
Santi, tidak jauh berbeda dengan Fedi dan Radit, Jani kok dengan gampangnya bilang kayak gitu ke Radit. “Jan, kamu serius? Radit kan beneran suka sama kamu, bukan salah dia juga!” Katanya kemudian dengan nada kesal.
“Udahlah San! Kamu nggak ngerti sih... Radit ini nggak ada baiknya sama sekali. Aku males sama dia. Kalau kamu suka sama Radit, kamu aja yang jadian sama dia.” Jani melirik Radit, penasaran bagaimana reaksi cowok itu. Tapi kenyataannya Radit masih sama, diam menunduk. Jani susah menebak apakah cowok itu akan marah dengan kata-katanya atau bagaimana.
“Terserah deh!” Kata Santi jengkel. Dia berjalan ke arah Radit, menepuk pundaknya, “Sabar yaaa, Dit!” kemudian pergi meninggalkan mereka.
Jani agak kikuk ditinggal berdua saja dengan Radit. Sebenarnya hatinya agak nggak enak dengan Radit, dalam hatinya ia mengakui bahwa sebenarnya Radit cowok yang baik. Dia ingin minta maaf, tapi gengsi sudah menguasainya. Kemudian dia berbalik, berniat meninggalkan Radit. Baru beberapa langkah berjalan dia mendengar Radit memanggilnya.
“Jan... tunggu!”
Jani berhenti, dia menoleh. Hatinya dag dig dug ingin tahu apa yang akan diucapkan Radit.
“Aku udah salah nilai kamu. Maaf. Selama ini aku mnganggap, kamu itu lembut, baik, pintar... itulah kenapa aku begitu mengagumimu. Sangat mengagumimu.” Radit diam beberapa saat. Dia menghela napas panjang, mengangkat wajahnya menatap lurus ke mata Jani. “Tapi ternyata kamu beda. Beda banget.”
Jani tidak mengerti apa maksud ucapan Radit. Dia juga bingung dengan cara Radit menatapnya. Tatapan itu terasa asing, berbeda dengan cara biasanya Radit menatap Jani. Alisnya berkerut bingung, “Maksudmu apa?”
“Kamu sombong, angkuh, kasar. Jauh dari penilaianku selama ini. Kamu, nggak lebih dari cewek Stasiun.” Radit berdiri, berbalik meninggalkan Jani, begitu saja.
Mendengar itu semua, Jani kaget. Seperti ada petir menggelegar menghantam kepalanya. Sakit. Seperti ada ribuan paku menusuk tepat ke ulu hatinya. Saat itu juga matanya basah air mata. Dia sama sekali tidak menyangka cowok yang selama dua semester ini secara terang-terangan mengejarnya bisa berkata seperti itu. Cowok yang rajin membuatkannya puisi, cowok yang tak pernah absen mengiriminya SMS “Selamat tidur” setiap malam, cowok yang dulunya mengaku begitu mengaguminya, bisa dengan gampang mengatakan bahwa dia nggak lebih dari cewek Stasiun.
Beberapa menit kemudian Jani mendengar langkah kaki mendekatinya. Dengan cepat dia menyeka air matanya.
“Jan, kamu baik-baik aja kan? Maaf yaa tadi aku...” Santi tidak meneruskan kalimatnya. Dia kaget melihat mata Jani yang basah.
Jani berbalik, “Nggak apa-apa, San. Kamu benar. Radit benar. Aku nggak lebih dari cewek Stasiun.” Jani tersenyum, beranjak pergi meninggalkan Santi yang bingung tidak mengerti. Di balik senyumnya, dia sudah menyadari kesalahannya. “Dasar cewek Stasiun!” Umpatnya dalam hati, menertawakan dirinya sendiri.