Jumat, 12 April 2013

Cewek Stasiun


Di siang yang terik matahari bersinar dengan panasnya. Jalanan dipenuhi kendaraan dan lalu lalang orang-orang yang pulang setelah bekerja. Di trotoar tampak seorang cewek berseragam SMP sedang berlari tanpa mempedulikan sekitar. Rambutnya yang hitam panjang terurai lembut. Terlihat beberapa butir keringat membasahi dahinya. Tepat di bawah pohon beringin dia berhenti, membungkuk, meletakkan kedua tangannya diatas lutut. Sambil terengah-engah dia mengatur nafasnya, kemudian menoleh ke belakang. Tampak seorang cowok yang berseragam sama dengannya, juga berlari menuju ke arahnya.
“Jan, kamu cepet banget sih larinya. Capek tahu ngejar kamu..” Kata cowok itu sembari menyeka keringat di dahi dengan punggung tangannya.
Jani menoleh cuek, “Nggak ada yang nyuruh kamu buat ngikutin aku.” Dia mengamati Radit, jijik. Rambut cowok itu tampak begitu lepek, seragam putihnya terlihat kumal dan berantakan. Dia mulai berbalik melanjutkan jalan, pulang.
“Jan... aku kan udah bilang aku mau nganterin kamu. Kenapa sih kamu nggak pernah mau ngasih kesempatan ke aku?” Radit bertanya putus asa. Tangannya dengan cepat menahan lengan Jani, namun dengan cepat juga Jani menepisnya.
“Apa sih, Dit? Aku bisa pulang sendiri.” Kali ini Jani tidak peduli lagi. Dia benar-benar berbalik pergi meninggalkan Radit yang masih terdiam membisu.
“Jan.... Yaudah, hati-hati ya!”

*                      *                      *
Keesokan harinya di dalam kelas, saat jam istirahat Radit memamerkan hasil gambarnya kepada teman-temannya, gambar Jani sedang tersenyum, manis.
“Cieeee Radit, kayaknya  beneran jatuh cinta nih sama Jani.. ehem... buruan tembak deh! Pasti dterima kok..” Kata Santi menggoda.
“Cieee ehem pajak jadiannya dong!” Fedi menimpali ikut menggoda Radit.
Radit diam saja, tapi bibirnya tidak bisa berhenti menyunggingkan senyum. Jani yang baru saja masuk kelas dan berniat duduk di bangkunya kemudian berjalan ke arah Radit, Santi, dan Fedi. Mukanya merah padam karena marah.
“Dit, denger yaa! Aku nggak suka kalau kamu ngejar-ngejar aku. Kamu ngaca deh! Kamu itu nggak pantes buat aku. Aku nggak suka sama kamu.” Jani mengatakan itu semua tepat di depan Radit.
Fedi kaget mendengar ucapan Jani. “Aku nggak ikutan deh.” Katanya kemudian berlalu pergi.
Radit sendiri hanya diam, sama dengan Fedi, diapun kaget. Dia menghela napas panjang dan menunduk.
Melihat reaksi Radit, Jani agak heran. “Kok dia diam aja? Kenapa dia nggak bilang sesuatupun?” Tanyanya dalam hati.
Santi, tidak jauh berbeda dengan Fedi dan Radit, Jani kok dengan gampangnya bilang kayak gitu ke Radit. “Jan, kamu serius? Radit kan beneran suka sama kamu, bukan salah dia juga!” Katanya kemudian dengan nada kesal.
“Udahlah San! Kamu nggak ngerti sih... Radit ini nggak ada baiknya sama sekali. Aku males sama dia. Kalau kamu suka sama Radit, kamu aja yang jadian sama dia.” Jani melirik Radit, penasaran bagaimana reaksi cowok itu. Tapi kenyataannya Radit masih sama, diam menunduk. Jani susah menebak apakah cowok itu akan marah dengan kata-katanya atau bagaimana.
“Terserah deh!” Kata Santi jengkel. Dia berjalan ke arah Radit, menepuk pundaknya, “Sabar yaaa, Dit!” kemudian pergi meninggalkan mereka.
Jani agak kikuk ditinggal berdua saja dengan Radit. Sebenarnya hatinya agak nggak enak dengan Radit, dalam hatinya ia mengakui bahwa sebenarnya Radit cowok yang baik. Dia ingin minta maaf, tapi gengsi sudah menguasainya. Kemudian dia berbalik, berniat meninggalkan Radit. Baru beberapa langkah berjalan dia mendengar Radit memanggilnya.
“Jan... tunggu!”
Jani berhenti, dia menoleh. Hatinya dag dig dug ingin tahu apa yang akan diucapkan Radit.
“Aku udah salah nilai kamu. Maaf. Selama ini aku mnganggap, kamu itu lembut, baik, pintar... itulah kenapa aku begitu mengagumimu. Sangat mengagumimu.” Radit diam beberapa saat. Dia menghela napas panjang, mengangkat wajahnya menatap lurus ke mata Jani. “Tapi ternyata kamu beda. Beda banget.”
Jani tidak mengerti apa maksud ucapan Radit. Dia juga bingung dengan cara Radit menatapnya. Tatapan itu terasa asing, berbeda dengan cara biasanya Radit menatap Jani. Alisnya berkerut bingung, “Maksudmu apa?”
“Kamu sombong, angkuh, kasar. Jauh dari penilaianku selama ini. Kamu, nggak lebih dari cewek Stasiun.” Radit berdiri, berbalik meninggalkan Jani, begitu saja.
Mendengar itu semua, Jani kaget. Seperti ada petir menggelegar menghantam kepalanya. Sakit. Seperti ada ribuan paku menusuk tepat ke ulu hatinya. Saat itu juga matanya basah air mata. Dia sama sekali tidak menyangka cowok yang selama dua semester ini secara terang-terangan mengejarnya bisa berkata seperti itu. Cowok yang rajin membuatkannya puisi, cowok yang tak pernah absen mengiriminya SMS “Selamat tidur” setiap malam, cowok yang dulunya mengaku begitu mengaguminya, bisa dengan gampang mengatakan bahwa dia nggak lebih dari cewek Stasiun.
Beberapa menit kemudian Jani mendengar langkah kaki mendekatinya. Dengan cepat dia menyeka air matanya.
“Jan, kamu baik-baik aja kan? Maaf yaa tadi aku...” Santi tidak meneruskan kalimatnya. Dia kaget melihat mata Jani yang basah.
Jani berbalik, “Nggak apa-apa, San. Kamu benar. Radit benar. Aku nggak lebih dari cewek Stasiun.” Jani tersenyum, beranjak pergi meninggalkan Santi yang bingung tidak mengerti. Di balik senyumnya, dia sudah menyadari kesalahannya. “Dasar cewek Stasiun!” Umpatnya dalam hati, menertawakan dirinya sendiri.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar