Sabtu, 04 Mei 2013

Makna Simbolik dan Makna Konotatif Dalam Syiir Lir-ilir Oleh Sunan Kalijaga


Kata Pengantar

Asalammualaikum Wr.Wb
Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan nikmatnya kepada penulis untuk menyelesaikan makalah tentang Makna Simbolik dan Makna Konotatif Dalam Syiir Lir-ilir Oleh Sunan Kalijaga. Tidak lupa penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar – besarnya kepada pihak – pihak yang telah membantu menyelesaikan makalah ini, antara lain :
1.      Wahyu Widodo, M. Hum sebagai dosen pengampu mata kuliah.
2.      Teman-teman Kelas B Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia yang telah memberikan motivasi.
Penulis sadar bahwa makalah ini masih jauh dari kesempurnaan, oleh karena itu penulis mengharapkan saran dan kritiknya.
 Wasalammualaikum Wr.Wb   

  1. Latar Belakang
Penelitian ini menggunakan objek kajian yaitu lirik lagu Lir-ilir. Lirik lagu termasuk dalam genre sastra karena lirik lagu adalah karya sastra utama dari puisi yang berisi curahan perasaan pribadi, susunan kata dengan sebuah nyanyian. Oleh karena itu lirik sama dengan puisi namun disajikan dengan nyanyian yang diiringi oleh musik dan termasuk dalam genre sastra imajinatif.
Kegemaran masyarakat jawa akan kesenian baik itu seni musik, seni suara atau seni tradisional  yang berupa pertunjukkan seperti wayang ketoprak dan lainnya mendapatkan perhatian khusus dari wali. Oleh karena itu para wali tidak dalam menciptakan lagu atau tembang-tembang  yang syarat dengan arti kehidupan. Diantara lagu atau tembang karya Wali adalah lir-ilir ciptaan dari Sunan Kalijaga, di mana syair dari lagu ini syarat akan makna kehidupan manusia, syair lagunya yang bernafaskan islami, serta cara penyampaiannya yang menggunakan alunan yang lembut sehingga banyak menuai keberhasilan dalam berdakwah. Oleh sebab itu, penulis ingin mengkaji makna pesan-pesan dakwah yang terkandung dalam syair lir ilir karya Sunan Kalijaga, sebagai salah satu bahan penelitian  dengan judul  : Makna Simbolik dan Makna Konotatif Dalam Syiir Lir-ilir Oleh Sunan Kalijaga
2.     Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang masalah di atas, maka muncul pokok permasalahan yang akan dikaji  dalam penelitian ini dan permasalahan tersebut dapat dirumuskan sebagai berikut :
  1. Bagaimana makna simbolik dalam syiir lir-ilir oleh sunan kalijaga?
  2. Bagaimana makna konotatif dalam syiir lir-ilir oleh sunan kalijaga?







  1. Data dan Teori
a.       Data yang akan dianalisis
Lir-ilir oleh Sunan Kali Jaga
Lir-ilir, lir-ilir tandure wis sumilir
Tak ijo royo-royo tak senggo temanten anyar
Cah angon-cah angon penekno blimbing kuwi
Lunyu-lunyu yo penekno kanggo mbasuh dodotiro
Dodot iro, dodot iro kumitir bedhah ing pinggir
Dondomono jlumatono kanggo sebo mengko sore
Mumpung padhang rembulane mumpung jembar kalangane
Yo surako… surak hiyo…

Terjemahan bahasa Indonesia lirik lagu ilir-ilir oleh Sunan Kalijaga

Ilir-ilir tanaman sudah bersemi
Tampak menghijau ibarat pengantin baru
Wahai pengembala panjatlah blimbing itu
Meski licin panjatlah untuk mencuci kain
Kain yang sudah robek pinggirannya
Jahitlah dan tamballah untuk
Menghadap nanti sore
Mumpung bulan terang dan lebar tempatnya

(Purwadi dan Niken, 2007:224)

b.      Teori yang digunakan
Menurut Aminuddin (2010:140) mengatakan bahwa simbol adalah apabila kata-kata itu mengandung makna ganda (makna konotatif), sehingga untuk memahaminya seseorang harus menafsirkannya (interpretatif) dengan melihat bagaimana hubungan makna kata tersebut dengan makna kata lainnya (analisis kontekstual), sekaligus berupaya menemukan fitur semantisnya lewat kaidah proyeksi , mengembalikan kata atau bentuk larik (kalimat) ke dalam bentuk yang lebih sederhana lewat pendekatan parafrastis.


Menurut Aminuddin (2010:41), Pendekatan Parafrasis adalah strategi pemahaman kandungan makna dalam satuan cita sastra dengan jalan mengungkapkan kembali gagasan yang disampaikan pengarang dengan menggunakan kata-kata maupun kalimat yang berbeda dengan kata-kata dan kalimat yang digunakan pengarangnya. Tujuan akhir dari penggunaan parafrasis itu adalah untuk menyederhanakan pemakaian kata atau kalimat seorang pengarang, sehingga pembaca lebih mudah memahami kandungan makna yang terdapat dalam suatu cipta sastra.
Prinsip dasar dari penerapan Pendekatann Parafratis pada hakikatnya berangkat dari pemikiran bahwa (1) gagasan yang sama dapat disampaikan lewat bentuk yang berbeda, (2) simbol-simbol yang bersifat konotatif dalam suatu cipta sastra dapat diganti dengan lambang atau bentuk lain yang tidak mengandung makna, (3) kalimat-kalimat atau baris dalam suatu cipta satra yang mengalami pelepasan dapat dikembalikan lagi kepada bentuk dasarnya, (4) pengungkapan kembali suatu gagasan yang sama dengan menggunakan media atau bentuk yang tidak sama oleh seorang pembaca akan mempertajam pemahaman gagasan yang diperoleh pembaca itu sendiri, (5) pengungkapan kembali suatu gagasan yang sama dengan menggunakan media atau bentuk yang tidak sama oleh seorang pembaca akan mempertajam pemahaman gagasan yang diperoleh pembaca itu sendiri.

Menurut Aminuddin (2010:140) membagi symbol menjadi tiga jenis, yaitu:
1.      Blank simbol, yaitu apabila simbol itu acuan maknanya bersifat konotatif, pembaca tidak perlu menafsirkannya karena acuan maknanya sudah bersifat umum.
2.      Natural simbol, yaitu apabila symbol itu memggunakan realitas alam.
3.      Private simbol, yaitu symbol itu secara khusus diciptakan dan digunakan penyairnya.

Edi Subroto (2011:47) mengungkapkan bahwa arti konotatif yaitu arti tambahan atau pinggiran yang berada di sekitar arti pokok. Tipe arti ini juga berkaitan dengan asosiasi emosional yang dimunculkan oleh sebuah kata. Menurut Aminuddin (2011:56) makna konotatif merupakan tambahan makna lain terhadap makna dasarnya. Dalam bukunya Stephen Ullman yang diadaptasi oleh Sumarsono (2011:88) Mill menyimpulkan bahwa manakala nama-nama itu mempunyai maknanya sendiri, maka makna itu tidak tinggal pada apa yanng ditunjuk (didenotasi), melinkan pada apa yang dikonotasikan, nama objek yang tidak mengkonotasikan sesuatu adalah nama sendiri.
Konotasi merupakan kesan-kesan atau asosiasi-asosiasi, dan biasanya bersifat emosional yang ditimbulkan oleh sebuah kata di samping batasan kamus atau definisi utamanya. Konotasi mengacu pada makna kias atau makna bukan sebenarnya. Dalam memilih kata konotasi bukanlah hal yang mudah. Makna konotasi sebagian terjadi karena pembicara ingin menimbulkan perasaan setuju atau tidak setuju, senang atau tidak senang, dan sebagainya pada pihak pendengar, dipihak lain kata yang dipilih itu memperlihatkan bahwa pembicaranya juga memendam perasaan yang sama. Makna konotatif sebenarnya adalah makna denotasi yang mengalami penambahan. Sebuah kata disebut mempunyai makna konotatif apabila kata itu mempunyai “nilai rasa”, baik positif maupun negatif.
Positif dan negatifnya nilai rasa sebuah kata seringkali juga terjadi. Jika dan jika digunakan sebagai lambang sesuatu yang negatif maka akan bernilai rasa negatif.Jika tidak memiliki rasa maka dikatakan tidak memiliki konotasi. Nilai rasa bisa berupa ketakziman, kekaguman, keilmuan, kebencian, ketakwaan, ketakutan, yang dialami penutur, kelompok atau masyarakat penutur. Nilai rasa tersebut ditautkan dengan peristiwa di dalam pengalaman.
4.   Hipotesis Temuan
Syiir Lir-ilir terdiri dari 53 kata, 5 kata yang bereduplikasi sebagai berikut : Lir-ilir, royo-royo, cah angon-cah angon, lunyu-lunyu, dodot iro-dodot iro, dan hanya mempunyai 9 makna simbol yang terdiri dari  6 natural simbol (apabila symbol itu menggunakan realitas alam) yaitu: lir-ilir, tandure, ijo royo-royo,blimbing, rembulane, dan sore, dan 3 blank simbol (apabila simbol itu acuan maknanya bersifat konotatif, pembaca tidak perlu menafsirkannya karena acuan maknanya sudah bersifat umum) yaitu : temanten anyar, cah angon, dodot iro. Terdapat 31 makna konotasi  (makna konotatif sebenarnya adalah makna denotasi yang mengalami penambahan. Sebuah kata disebut mempunyai makna konotatif apabila kata itu mempunyai “nilai rasa”, baik positif maupun negatif ) yaitu: lir-ilir, lir-ilir, ijo royo-royo temanten anyar, cah angon,  cah angon, blimbing , lunyu-lunyu penekna , dodot ira, dodot ira-dodot ira , bedah , dondomono, jlumatono, sebo, padang rembulane, jembar kalangane, surako, surak. Disertai dengan adanya 5 kata yang bereduplikasi, menurut Ramlan (1985:57) (pengulangan satuan gramatik, baik seluruhnya maupun sebagiannya, baik dengan variasi fonem maupun tidak. Hasil pengulangan itu disebut kata ulang, sedangkan satuan yang diulang merupakan bentuk dasar), menurut Muslich (2010:48) (proses pengulangan merupakan peristiwa pembentukan kata dengan jangan mengulang bentuk dasar, baik seluruhnya maupun sebagian, baik bervariasi fonem maupun tidak, baik berkombinasi afks atau tidak), menurut Chaer (2007:182) reduplikasi adalah proses morfemis yang mengulang bentuk dasar , baik secara keseluruhan, secara sebagian (parsial) maupun dengan perubahan bunyi) yaitu : lir-ilir, lir-ilir, royo-royo, cah angon-cah angon, lunyu-lunyu, dodot ira-dodot ira.
Penggunaan ragam makna simbolik seperti terlihat pada kutipan di bawah ini:
Pada baris pertama yang berbunyi lir-ilir,lir-ilir tandure wis sumiler terdapat 1 makna simbol yaitu kata tandure yang mempunyai makna simbol yaitu berupa singkatan TAnDUR naTA karo munDUR . Memiliki makna simbol yang dimaksud oleh Sunan Kalijaga adalah dalam menata barisan. Dalam konteks ini adalah menata sistem pemerintahan yang lebih baik dari sebelumnya, dengan melihat pengalaman atau kejadian pada masa lalu yang menjadi bahan untuk introspeksi diri dalam menata kembali kehidupan dengan memegang teguh syariat islam sesuai dengan ajaran dakwah para Sunan Kalijaga. Menata kehidupan tidak semerta-merta lurus atau pasti ada saja yang berubah arah menjadi penuh  liku atau banyak godaan dalam masa kepemimpinannya. Oleh sebab itu, para adipati harus bisa menerima dengan lapang kritik atau saran dari masyarakat yang dipimpinnya.
Pada baris kedua yang berbunyi tak ijo royo-royo, tak sengguh temanten anyar  terdapat 2 makna simbol yaitu pada kata ijo royo-royo. Jika diartikan makna tersebut tidak hanya semerta-merta merupakan jenis warna, tetapi Sunan Kalijaga menyimbolkan kata ijo royo-royo yang mempunyai simbol tersirat untuk dakwah islam. Makna ijo royo-royo dalam islam disimbolkan  dengan kenikmatan, suasana, kesenangan, dan ketenangan jiwa. Karena dalam islam warna hijau disimbolkan dengan pakaian ahli surga. Dengan harapan para bangsawan dan masyarakat yang sebelumnya memeluk agama budha akan merasakan kedamaian dan ketenangan jiwa setelah memeluk agama islam. Jika dikaitkan dengan kata berikutnya temanten anyar yang berarti adanya kehidupan baru yang dijalani sepasang insan , yang daam hal ini menyimbolkan sebagai orang yang baru masuk dan memeluk agama islam, sedemikian maraknya perkembangan masyarakat untuk masuk ke agama islam, namun mereka belum mempunyai penyerapan pemahaman yang dalam mengenai agama barunya, disimbolkan seperti pengantin baru yang baru akan memulai kehidupan pernikahannya, di mana kedua sepasang pengantin atau dalam konteks ini adalah para kalangan adipati (bupati ke atas) yang baru masuk dan memelik agama  islam. Oleh sebab itu, kalangan mualaf  (orang yang baru memeluk islam), (Wiyono, 2007:415) masih memerlukan bimbingan atau pedoman untuk menjalaninya.  
Menurut Chodim (2013:182), menyatakan bahwa pada baris ketiga yang berbunyi cah angon-cah angon, penekno blimbing kuwi terdapat 2 simbol yaitu cah angon yang berarti “gembala” secara literal, harfiah, justru merujuk pada masyarakat kelas bawah. Dengan kata lain, gembala adalah kelompok masyarakat yang tidak terdidik. Yang hidupnya hanya menjaga ternak yang sedang makan di peladangan atau padang rumput. Sependapat dengan Achmad Chodim tentu yang dimaksudkan oleh Sunan Kalijaga bukan gembala dalam pengertian seperti di atas. Gembala dalam konteks ini yang disimbolkan dengan penjaga rakyat. Mereka adalah pengembala yang mengendalikan rakyat. Para bangsawan yang disimbolkan oleh Sunan Kalijaga dengan pemilihan kata cah angon yaitu gembala. Jika dikaitkan dengan kata yang selanjutnya yaitu blimbing yang mempunyai arti literal yaitu tumbuhan perdu berdaun kecil dan buahnya bergerigi lima buah menurut Wiyono (2007:61). Dalam konteks ini Sunan  Kalijaga menyimbolkan blimbing sebagai rukun islam yang berjumlah lima buah yang teridiri dari syahadat, sholat, puasa, zakat, dan haji bagi yang mampu. Sependapat dengan hal di atas bahwa blimbing yang memiliki makna simbol yaitu rukun islam yang teridiri dari syahadat, sholat, puasa, zakat, dan haji bagi yang mampu. Kelima hal tersebut dalam ilmu islam memang bisa mensucikan harta dan jiwa raga manusia selama hidup di dunia sebagai bekal untuk mati, sehingga Sunan Kalijaga menagmbil kata blimbing sebagai simbol untuk membersihkan harta dan jiwa manusia agar suci dan bersih dari dosa-dosa ang telah diperbuat.
Menurut Chodim (2013:180), menyatakan bahwa pada baris keempat yang berbunyi lunyu-lunyu penekno kanggo mbasuh dodot iro terdapat 1 simbol yaitu dodot iro yang berarti kain panjang yang dipakai para raja dan nara praja. Dodot juga digunakan sebagai selimut tidur. Dalam Serat Kandha disebutkan bahwa orang-orang suruhan Aria Penangsang menemukan Raja Pajang sedang tidur berselimut dodot. Jadi dodot merupakan kain yang amat penting bagai raja. Padahal, dalam agama khasanah budaya Jawa disebut “ageman” atau pakaian.  Agama ageming Aji, agama merupakan pakaian raja. Sependapat dengan hal di atas bahwa dodot menyimbolkan pakaian yang penting untuk para bangsawan dalam konteks ini adalah pemerintah yang sedang memerintah pada saaat itu diibaratkan pemimpin yang sedang buruk sistem pemerintahannya karena adanya perebutan kekuasaan dan korupsi besar-besaran, sehingga rakyatnya menjadi sengsara. Terjadi hal demikian, karena pemerintahan pada saat itu tidak memegang amanah rakyat dan tidak tangguh dalam penguatan agamanya. Oleh sebab itu Sunan Kalijaga menyimbolkan dodot sebagai penilaian pada pemerintah, kenapa Sunan Kalijaga memilih kata dodot, karena pakaian dodot adalah hal yang paling penting bagi seorang raja. Jika pakaian itu kotor dan sudah lusuh maka Sunan Kalijaga mengingatkan untuk segera membasuhnya atau mensucikannya dengan blimbing yaitu berpegang teguh dengan rukun islam.
Menurut Chodim (2013:182),  menyatakan bahwa pada baris keenam yang berbunyi dondomono,jlumatono, kanggo sebo mengko sore terdapat 1 simbol yaitu sore yang berarti matahari sudah tenggelam di ufuk barat (mengingatkan kepada segenap pemimpin dan masyarakat bahwa umur kalian sudah senja) di mana Sunan Kalijaga menyimbolkan peringatan itu dengan menggunakan kata sore. Sependapat dengan hal di atas kenapa sore lebih dipilih oleh Sunan Kalijaga dalam liriknya, pada waktu sore pastilah matahari sudah saatnya terbenam di ufuk barat, disimbolkan dengan keadaan manusia yang sudah memasuki usia senja. Pola kehidupan orang Jawa memang unik. Sependepar dengan hal di atas jika dipelajari lebih dalam kehidupan orang Jawa sangat syarat akan makna positif kehidupan. Tuhan telah mengatur jatah penghidupan bagi semua makhluk hidup, termasuk manusia. Setiap hari melihat banyak orang yang keluar rumah untuk bekerja mencari penghiupan yang  lebih baik. Pagi hari mereka keluar rumah untuk bekerja dan sore pulang dengan kondisi yang lebih baik. Di sini alasan Sunan Kalijaga meemilih kata sore sebagai simbol jika manusia telah pulang menghadap Allah SWT maka harus dalam keadaan yang baik atau khusnul khotima.
Pada baris ketujuh yang berbunyi mumpung padhang rembulane, mumpung jembar kalangane yang mempunyai 1 simbol yaitu rembulan yang menyimbolkan situasi terang dan lapang, terang berartikan rembulan yang letaknya berada paling atas dalam kehidupan manusia. Dapat disimbolkan sebagai adipati (yang dijunjung oleh rakyat) karena letaknya berada paling atas sebagai pemimpin. Selain itu, kata rembulan merupakan suatu yang terang, karena banyak adipati dan rakyat yang berpindah agama ke islam (Chodim, 2013:178) sehingga islam memempunyai banyak pengikut.




Penggunaan ragam makna konotatif seperti terlihat pada kutipan di bawah ini :              
“Lir-ilir, lir-ilir, tandure wus sumiler yang mempunyai makna konotasi yaitu gerakan semilir angin yang menghidupkan atau membuat adanya gerakan dalam suatu keadaan, keadaan dalam konteks ini adalah keadaan adipati dan para pemimpin rakyat yang tidak memegang teguh syariat agama. Diserukan oleh Sunan Kalijaga untuk segera memperbaiki diri dari segala perilaku semena-mena pada rakyatnya. Hal yang perlu dibangunkan adalah kesadaran adipati untuk bergerak membenahi keadaan yang buruk pada sikap kepemimpinannya pada saat itu.
Tak ijo royo-royo, tak sengguh temanten anyar” yang berkonotasi umat yang masuk agama islam diibaratkan dengan sebuah tanaman yang sedang dalam masa subur-suburnya, sehingga ada kata ijo royo-royo yang berkonotasi warna hijau yang melambangkan kesuburan tanaman tersebut. Dalam kalimat ini mempunyai makna konotasi bahwa agama islam telah banyak penganutnya karena ajaran yang dibawakan sunan menggiring masyarakat yang sebelumnya beragama hindu dan budha untuk memeluk agama islam, dan hal itu berhasil dilakuakn oleh sunan. Terbukti dengan pesatnya masyarakat yang mau masuk dan memeluk agama islam. temanten anyar yang menyimbolkan sebagai orang yang baru masuk dan memeluk agama islam, sedemikian maraknya perkembangan masyarakat untuk masuk ke agama islam, namun mereka belum mempunyai penyerapan pemahaman yang dalam mengenai agama barunya, seperti pengantin baru yang baru akan memulai kehidupan pernikahannya yang masih memerlukan bimbingan atau pedoman untuk menjalaninya. 
Menurut Achmad Chodim (2013:182), “Cah angon, cah angon, penekna blimbing kuwi” yang berkonotasi wahai gembala, panjatlah blimbing itu. Meskipun licin tetap panjatlah. Gunakan perasan buahnya untuk penyuci dosa pada dodot. Begitulah ajkan sunan kepada para raja dan pamong praja. Mereka dipanggil dengan sebutan cah angon, gembala. Gembala yang menggunakan dodot, dodot sendiri mempunyai makna yaitu pakaian adat jawa yang dipakai oleh kaum bangsawan. Gembala dalam hal ini mempunyai makna konotasi penjaga rakyat. Mereka adalah gembala yang menegndalikan rakyat. Merekalah yang diajak oleh sunan untuk memperbaiki perilaku dan keyakinan mereka. Dan bukan hanya dalam formalitas, tetapi menjalani dengan benar-benar. Bukan hanya formalitas dalam kekuasaan, melainkan harus memanjat pohon belimbing, dan belimbing tersebut mempunyai konotasi yaitu islam. Sependapat dengan hal di atas kenapa mempunyai konotasi hal demikian, karena buah belimbing kulitnya bergaris lima, dan hal itu diartikan sebagai rukun islam yang berjumlah lima.  Dalam hal ini pemimpin harus memberikan teladan serta menuntun umat atau masyarakat untuk menjalankan ajaran islam dengan benar yaitu dengan menjalankan lima rukun islam dan mendirikan sholat lima waktu.
Lunyu-lunyu penekna kanggo mbasuh dodot ira” kata lunyu-lunyu yang mempunyai makna konotasi yaitu meskipun pohon belimbing itu licin tetapi tetap panjatlah. Karena akan bisa digunakan untuk menyucikan sikap dan sifat para pemimpin yang rusuh atau kotor. Yang bisa disucikan atau dibersihkan menggunakan belimbing. Belimbing dapat dipakai untuk mencuci kain atau sinjang supaya tetap tahan lama. Dodot yang mempunyai konotasi yaitu kain panjang yang dipaki oleh bangsawan orang jawa yang biasanya hanya dipakai pada upacara atau pada waktu yang penting saja, dan dalam hal ini dodot mempunyai konotasi yaitu badan kita. Badan kita yang mempunyai dosa atau rusuh karena ingkar kepada ajaran islam akan disucikan dengan blimbing. Dalam hal ini  khususnya yang memanjat itu adalah  para gembala, agar rakyat menjadi sejahtera dalam hidupnya dengan mmpuntai pemimpin yang bijaksana.
Dodot ira-dodot ira kumitir bedah ing pinggir ”  Dodot ira yang mempunyai makna konotasi yaitu kain panjang yang dipakai para raja dan nara praja. Sunan kalijaga mengingatkan bahwa agama para raja, adipati, dan para nara praja (waktu itu) sudah pada robek pinggirannya. Sudah kehilangan bentuknya, sudah tak layak untuk dipegangi. Oleh karen itu agamanya harus diperbaiki mengenai akhlaknya atau budi pekertinya. Agama tanpa perbaikan akhlak, tidak ada artinya. Orang yang perilakunya buruk, kalau memimpin masyarakatpun akan bertindak semena-mena atau semaunya sendiri. Dodot atau akhlak perilaku kita yang mempunyai banyak dosa karena tingkah laku kita saat di dunia yang sering melalaikan ajaran agama, oleh sebab itu harus dijahit agar tampak utuh kembali.
Dondomono, jlumatono kanggo sebo mengko sore”  Dondomono yang mempunyai konotasi memperbaiki kelakuan atau kalhak perilaku kita dengan sungguh-sungguh (jlumatono) dalam memperbaiki akhlak perilau kita. Sekaligus mengingatkan kepada umat islam semua diperintahkan tekun, konsisten dalam menjalankan dan menyempurnakan agama islam sebagai agama yang paling benar. Tekun, sungguh-sungguh (jlumatono) dalam hal menjalankan ibadah dan menyempurnakan iman kita pada agama islam. Semua hal itu mempunyai tujuan yaitu untuk menghadap kepada Allah yang maha kuasa, dalam hal ini orang yang akan menghadap di hadirat Allah yang maha kuasa atau berkomunikasi kepada Tuhannya, harus terlebih dahulu memperbaiki agamanya dengan sempurna. (Purwadi dan Niken, 2007:224-225) Lagu lir-ilir memeberikan rasa optimis kepada seseorang yang sedang melakukan amal kebaikan amal itu berguna untuk bekal akhir. Kesenpatan hidup di dunia itu harus dimanfaatkan untuk berbuat kebaikan jangan hendak membunuh, nanti akan bergabti dibunuh karena semua ada balasannya.

Menurut Achmad Chodim (2013:182), “Mumpung padang rembulane, mumpung jembar kalangane” yang memiliki kisah yaitu pada saat Majapahit runtuh pada abad ke-15 karena para pemmpin atau penguasa berebut kekuasaan sehingga menyebabkan rakyat menderita. Kekacauan terjadi di mana-mana. Di sana-sini terjadi kerusuhan. Perampokan dan pembegalan terdapat di kadipaten-kadipaten yang lemah. Korupsi para pejabat merajalela sehingga agama-agama yang tumbuh subur di masa Majapahit kehilangan pamornya, pudar cahayanya, semaraknya runtuh, dan dalam hal ini yakni agama budha yang pada sebelumnya diantu oleh masyarakat. Karena banyak adipati (gelar untuk bupati ke atas) yang beralih agama islam, maka banyak rakyat yang berpindah agama mengikuti adipati alias para pemimpinnya. Sependapat dengan hal tersebut pada situasi semacam ini oleh sunan Kalijaga dinamakan situasi yang terang dan lapang. Inilah makna konotasi dalam bait mumpung padang rembulane, mumpung jembar kalangane. Sunan menyampaikan kepada segenap adipati dan para nara praja bahwa kondisi untuk memperbaiki perilaku mereka dengan menganut agama islam. Islam membuka lebar kesempatan untuk bertaubat dan sennatiasa menerima pertaubatan masyarakat yang sudah rela mennggalkan agama yang sebelumnya yaitu agama budha. Rakyat dan pemimpinnya pada bersenang-senang karena telah terjadi peralihan kekuasaan, dan hal itu harus dilengkapi dengan perubahan perilaku yang baik, yang bisa menyejaterahkan masyarakat. Sunan memperingatkan agar para pemegang kekuasaan yang sudah beragama islam ini tdak berperilaku seperti raja-raja Majapahit. Kekuasaan saja yang diperebutkan, sedangkan rakyat tidak diperhatikan. Karena itu diseru untuk menyambut perubahan itu dengan bergembira ria, memanfaatkan keadaan itu dengan sebaik-baiknya.
Yo surako, surak hiyo”  kata surako yang mempunyai makna konotasi yaitu berupa seruan kepada masyarakat agar bergembira karena keadaan yang mulai berubah karena aqidah islam yang dibawakan oleh para sunan. Sambutlah seruan ini dengan sorak sorai dan keceriaan untuk menjalankan syariat islam dalam kehidupan sehari-hari. Itulah surak atau sorak ketika purnama tiba. Sorak dimana rakyat bisa turut bergembira.

DAFTAR PUSTAKA

Amminudin. 2010. Pengantar Apresiasi Karya Sastra.Jakarta: Sinar Baru Aglesindo
Chaer, Abdul. 2007. Linguistikk Umum. Jakarta: Rineka Cipta.
Chodim, Ahmad. 2013. Sunan Kalijaga Mistik dan Makrifat. Jakarta: PT SERAMBI ILMU SEMESTA
Hadi Wiyono, Eko. 2007. KAMUS BAHASA INDONESIA LENGKAP. Jakarta: Akar Media
Muslich, Masnur. 2010. TATABENTUK BAHASA INDONESIA Kajian ke Arah Tatabahasa Deskriptif. Jakarta:Bumi Aksara
Purwadi, Niken Enis. 2007. Dakwah Wali Songo Penyebaran Islam Berbasis Kultural Di Tanah Jawa. Yogyakarta: Panji Pustaka Yoyakarta
Ramlan, M. 1985. Morfologi Suatu Tinjauan Deskriptif. Jakarta Selatan: BALAI BUKU “SATRIA HARAPAN”
Subroto, Edi. 2011. Pengantar Studi Semantik dan Pragmatik. Surakata: Cakrawala Media
Sumarsono. 2011. Pengantar Semantik. Yogyakarta: Pustaka Pelajar

Tidak ada komentar:

Posting Komentar