Kata Pengantar
Asalammualaikum Wr.Wb
Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan nikmatnya
kepada penulis
untuk menyelesaikan makalah tentang Pendekatan Parafrastis dan Analitis pada
Puisi Tidak terlupakan penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada pihak-pihak
yang telah membantu menyelesaikan makalah ini, antara lain :
1.
Maulfi Syaiful Rizal, M. Pd sebagai dosen pengampu matakuliah Apresiasi Puisi.
2.
Orang tua yang senantiasa
mendoakan.
3.
Teman-teman Kelas A Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia yang telah memberikan
motivasi.
Penulis sadar
bahwa makalah
ini masih jauh dari kesempurnaan, oleh karena itu penulis
mengharapkan saran dan kritiknya.
Wasalammualaikum Wr.Wb
Malang, 26 April 2013
Intan Suryana, Pipit Rohmatul dan Yanuar
Handhika Putra
I.
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Rendahnya kemampuan pemahaman terhadap sebuah karya puisi
menuntut adanya pendekatan yang relevan dalam pengajarannya. Hal ini
berhubungan dengan kurang bervariasinya metode pembelajaran.
Mengapresiasi sebuah puisi bisa dilakukan dengan melakukan parafrase puisi
tersebut. Memparafrase merupakan sebuah kegiatan reseptif dalam kegiatan
apresiasi. Pendekatan Parafrastis merupakan sebuah pendekatan
dengan cara mengungkapkan kembali gagasan yang disampaikan pengarang melalui
karyanya menggunakan bahasa sendiri.
Menurut Aminuddin (2010:44), Pendekatan Analitis
adalah suatu pendekatan yang berusaha memahami gagasan, cara pengarang
menampilkan atau mengimajikan ide-idenya, sikap pengarang dalam menampilkan
gagasan-gagasannya, elemen intrinsik dan mekanisme hubungan dari setiap elemen
instrinsik itu, sehingga mampu membangun adanya keselarasan dan kesatuan dalam
rangka membangun totalitas bentuk maupun
totalitas maknanya.
Pembelajaran sastra Indonesia secara umum dirasakan lebih
sulit dari pada materi kebahasaan. Kesulitan ini terasa sekali pada saat
pembelajaran apresiasi sastra khususnya puisi. Hal ini terjadi bukan karena
materi tersebut sulit melainkan ada kemungkinan terjadi suatu proses yang salah
dalam pembelajaran. Sesulit apapun sebuah materi pasti dapat diajarkan apabila pendekatan,
metode, dan teknik yang dipergunakan tepat. Pembelajaran apresiasi puisi
merupakan sebuah problematika yang memerlukan pemikiran dan pemecahan masalah.
Pada dasarnya banyak sekali pendekatan yang bisa
dipergunakan untuk mengajarkan materi apresiasi puisi, tetapi tidak semua pendekatan
yang ditawarkan bisa dilaksanakan atau dipergunakan. Kemampuan guru dalam
menyediakan sarana/media, dan kemampuan guru yang terbatas tentu saja sangat
menentukan dalam memilih sebuah pendekatan dalam pembelajaran.
Menyikapi semua hal tersebut ditawarkan alternatif lain
yang mungkin bisa dijadikan bahan pilihan pendekatan pembelajaran apresiasi
puisi di sekolah. Pendekatan yang ditawarkan ini yaitu Pendekatan Parafrastis dan
Analitis. Pendekatan tersebut akan dibahas dalam makalah ini, sehingga diharapkan
pembaca atau guru tidak salah dalam memilih pendekatan dalam mengapresiasi
sebuah puisi.
1.2 Rumusan Masalah
1. Apakah
yang dimaksud dengan Pendekatan Parafrastis?
2. Apa
yang dimaksud dengan Pendekatan Analitis?
3. Bagaimanakah
penerapan Pendekatan Parafrastis dan Analitis dalam penggalan puisi berjudul Sajak Putih karya Chairil Anwar, dan
Pendekatan Analitis pada puisi berjudul Prologue
karya Sapardi Djoko Damono?
1.3 Tujuan Penulisan
1. Mendeskripsikan
pengertian Pendekatan Parafrastis.
2. Mendeskripsikan
pengertian Pendekatan Analitis.
3. Mengidentifikasi
penerapan Pendekatan Parafrastis dalam penggalan puisi berjudul Sajak Putih karya Chairil Anwar, dan
Pendekatan Analitis pada puisi berjudul Prologue
karya Sapardi Djoko Damono.
II.
PEMBAHASAN
2.1 Pendekatan Parafrastis
Pendekatan Parafrastis ini berangkat dari sebuah
asumsi bahwa kata-kata dalam puisi pada umumnya padat dan sering mengalami
elipsis/penghilangan. Waluyo dalam buku Apresiasi Puisi (2002:1) menyatakan
bahwa puisi adalah karya sastra dengan bahasa yang dipadatkan, dipersingkat,
dan diberi irama dengan bunyi yang padu dan pemilihan kata-kata kias. Untuk itu
memahami sebuah puisi yang cenderung mengalami elipsis dan pemadatan makna ini
bisa dilakukan dengan menguraikan kembali puisi atau kata-kata tersebut dengna model
kalimat yang berbeda. Memparafrase sebuah puisi bisa diartikan memprosakan
sebuah puisi atau mengubah bentuk puisi menjadi prosa dengan tetap
mempertahankan sudut pandang dan kondisi makna tersurat dan tersirat dalam
puisi tersebut.
Menurut Aminuddin (2010:41), Pendekatan Parafrasis
adalah strategi pemahaman kandungan makna dalam satuan cita sastra dengan jalan
mengungkapkan kembali gagasan yang disampaikan pengarang dengan menggunakan
kata-kata maupun kalimat yang berbeda dengan kata-kata dan kalimat yang
digunakan pengarangnya. Tujuan akhir dari penggunaan parafrasis itu adalah
untuk menyederhanakan pemakaian kata atau kalimat seorang pengarang, sehingga
pembaca lebih mudah memahami kandungan makna yang terdapat dalam suatu cipta
sastra.
Prinsip dasar dari penerapan Pendekatann Parafratis
pada hakikatnya berangkat dari pemikiran bahwa (1) gagasan yang sama dapat
disampaikan lewat bentuk yang berbeda, (2) symbol-simbol yang bersifat
konotatif dalam suatu cipta sastra dapat diganti dengan lambang atau bentuk
lain yang tidak mengandung makna, (3) kalimat-kalimat atau baris dalam suatu
cipta satra yang mengalami pelepasan dapat dikembalikan lagi kepada bentuk
dasarnya, (4) pengungkapan kembali suatu gagasan yang sama dengan menggunakan
media atau bentuk yang tidak sama oleh seorang pembaca akan mempertajam
pemahaman gagasan yang diperoleh pembaca itu sendiri, (5) pengungkapan kembali
suatu gagasan yang sama dengan menggunakan media atau bentuk yang tidak sama
oleh seorang pembaca akan mempertajam pemahaman gagasan yang diperoleh pembaca
itu sendiri.
Bagaimanakah sebenarnya memparafrase sebuah puisi?
Sebenarnya bukan hal yang sangat sulit untuk membuat parafrase dari sebuah
puisi. Membuat sebuah parafrase puisi pada dasarnya merupakan kegiatan
mengembangkan atau memunculkan kembali bagian-bagian dari puisi tersebut yang
sebenarnya sengaja dihilangan oleh seorang penulis. Biasanya kebanyakan puisi hanya terdiri atas
penggunaan yang sangat minim. Bahkan biasanya untuk tidak mengikuti
aturan-aturan kebahasaan demi kepentingan rima, tipografi, dan kedalaman makna.
Kerja para peneliti atau apresiator adalah berusaha mengembalikan bagian-bagian
lain yang hilang agar didapatkan sebuah pemahaman yang utuh terhadap makna
puisi tersebut.
2.2 Pendekatan Analitis
Menurut Aminuddin (2010:44), Pendekatan Analitis
adalah suatu pendekatan yang berusaha memahami gagasan, cara pengarang
menampilkan atau mengimajikan ide-idenya, sikap pengarang dalam menampilkan
gagasan-gagasannya, elemen intrinsik dan mekanisme hubungan dari setiap elemen
instrinsik itu, sehingga mampu membangun adanya keselarasan dan kesatuan dalam
rangka membangun totalitas bentuk maupun
totalitas maknanya.
Penerapan Pendekatan Analitis itu pada dasarnya akan
menolong pembaca dalam upaya mengenal unsur-unsur intrinsik sastra yang secara
aktual telah berada dalam suatu cipta sastra dan bukan dalam rumusan-rumusan
atau definisi seperti yang terdapat dalam kajian teori sastra. Selain itu, pembaca juga dapat memahami bagaimana fungsi
setiap elemen cipta sastra dalam rangka membangun keseluruhannya.
Tujuan dari pendekatan ini yaitu menyusun sintesis
lewat analisis. Lewat penerapan pendekatan ini diharapkan pembaca pada umumnya
menyadari bahwa cipta sastra itu pada dasarnya diwujudkan lewat kegiatan yang
serius dan terencana, sehingga tertanamkanlah rasa penghargaan atau sikap yang
baik terhadap karya sastra. Selain itu, pendekatan ini akan membantu pembaca
dalam upaya mengenal unsur-unsur intrinsik sastra yang secara aktual telah
berada di dalam suatu cipta sastra. Unsur intrinsik yang dapat dikaji di dalam
puisi terdiri dari tema, amanat, nada, perasaan, tipografi, enjambemen,
akulirik, rima, gaya bahasa, dan citraan.
2.3 Penerapan Pendekatan Parafrastis dalam
penggalan puisi berjudul Sajak Putih
karya Chairil Anwar, dan Pendekatan Analitis pada puisi berjudul Prologue karya Sapardi Djoko Damono.
2.3.1
Contoh analisis pendekatan parafrasis
pada penggalan puisi Sajak Putih karya
Chairil Anwar sebagai berikut:
Dengan
memparafrase sebuah puisi, dimungkinkan akan mampu mempermudah pemahaman
terhadap aspek makna dan pesan dari isi puisi tersebut. Parafrastis bisa
dilakukan dengan dua macam teknik, yaitu
melengkapi bagian-bagian yang terelipsis dari puisi tersebut baik yang berupa
ejaan maupun kata/frase, dan menulis kembali dengan kalimat lain maksud dari
baris-baris puisi tersebut.
Bersandar
pada tari warna pelangi
Kau
depanku bertudung sutera senja
Penggalan
puisi di atas dapat diparafrase dengan cara melengkapi bagian kalimat yang
dielipsiskan menjadi:
Bersandar pada
tari-an yang ber-warna pelangi
Kau di depanku
bertudung dengan kain sutera pada waktu senja
Atau
bisa pula dilakukan dengan cara mencoba memahami secara keseluruhan teks puisi
tersebut kemudian menyampaikannya kembali dalam bentuk kalimat yang lain. Untuk
teks di atas dapat diuraikan menjadi:
Ketika aku berada di bayang-bayang
keindahan seperti keindahan para penari dan pelangi, saat itulah kau ada di
depanku, berdiri memperlihatkan kecantikanmu di bawah bayang-bayang senja.
Terlepas
dari bagaimana memparafrase sebuah puisi, tidak bisa dipungkiri bahwa puisi
merupakan bagian dari karya seni yang mengemban fungsi, misi, dan visi
tersendiri. Karya puisi tentu harus memiliki kandungan makna yang relevan
dengan pesan yang hendak disampaikan oleh penyair kepada pembaca. Makna yang
terkandung dalam sebuah puisi bisa bersifat tersurat (eksplisit) dan tersirat
(implisit). Makna tersirat dalam sebuah puisi ditunjukkan dalam makna
denotatif/makna lugas, yaitu makna apa adanya yang melekat dan tampak nyata
dalam sebuah kata. Makna denotatif merupakan dasar yang dengan pemahaman secara
awam bisa dimengerti dengan mudah. Sebagai contoh dalam puisi berjudul Malam Lebaran karya Sitor Situmorang
sebagi berikut:
Malam Lebaran
Bulan
di atas kuburan
Secara
awam makna yang tampak dalam puisi tersebut adalah pada malam lebaran bulan
bersinar di atas kuburan. Titik. Hanya sebatas itu, tidak perlu dipikirkan
berbagai macam hal yang rumit di balik itu, sedangkan makna tersirat
ditunjukkan dalam bentuk makna konotatif/makna kias, yaitu kandungan lain dari
maksud yang tampak seacara awam. Secara tersirat /malam lebaran, bulan di atas
kuburan/ bisa dinterpretasikan sebagaimana kesan/efek psikologis dari eufoni
dan kakafoni yang dihasilkannya, misalkan:
Malam : gelap, menakutkan
Lebaran : kemenangan, menyenangkan
Bulan : keindahan
Kuburan : kelam, seram, mistis
Berdasarkan
gambaran di atas Malam Lebaran, Bulan Di atas Kuburan bisa
diinterpretasikan tentang akan adanya jalan terang atau petunjuk untuk
menyinari kita yang berupa kemenangan dan keindahan dari kekelaman yang selama
ini kita alami. Bisa saja terjadi interpretasi sebaliknya, yaitu ketika kita
berada pada titik atau derajat tertinggi dari yang bisa kita raih, justru pada
saat itulah kita akan mengalami keterpurukan atau kehancuran.
Sementara
itu kesan atau amanat yang disampaikan oleh penyair secara utuh justru terletak
pada bagian yang bersifat implisit tersebut. Untuk itulah, demi ketercapaian
penyampaian pesan moral atau amanat sebuah puisi, pemahaman terhadap cacophony
dan euphony
merupakan faktor mutlak dalam proses kreatif cipta sastra.
Selanjutnya
ketika kita berbicara tentang makna, hal yang ada di depan gambaran kita adalah
bagaimana kita memilih kata (diksi) yang mempunyai kandungan kandungan makna
tertentu atau cara kita memilih kata agar frase atau klausa yang dilekatinya
menjadi bermakna sebagaimana yang kita harapkan. Memilih kata dalam proses
kreatif cipta karya puisi memang bukan perupakan pekerjaan mudah. Dalam proses
ini diperlukan kemampuan berbahasa, wawasan yang luas, serta kedalaman rasa
sehingga dimungkinkan akan dihasilkan diksi yang tepat.
Dalam
kehidupan sehari-hari pilihan kata yang dipergunakan oleh seorang benar-benar
dipengaruhi oleh kondisi lingkungan tempat tinggalnya. Bisa kita bandingkan
pemakaian kata-kata di lingkungan militer dengan lingkungan pendidikan, atau
lingkungan pekerja proyek dengan lingkungan pondok pesantren. Terdapat
perbedaan yang cukup mencolok di antara lingkungan pemakai bahasa tersebut.
Bahkan dari kata-kata yang dipergunakan oleh seorang penutur bahasa, dapat
diprediksikan asal lingkungan tempat tinggalnya.
Dengan
mengetahui bagaimana kondisi dasar yang terdapat dalam sebuah karya puisi yang
berhubungan dengan rima, cacophony dan
euphony, maupun segala unsur moralnya akan
mempermudah proses memparafrase sebuah puisi.
2.3.2
Contoh analisis pendekatan analitis pada
penggalan puisi Prologue karya Sapardi
Djoko Darmono sebagai berikut:
Dalam
pelaksanaannya kegiatan analisis itu tidak harus meliputi keseluruhan aspek
yang terkandung dalam suatu cipta sastra. Dalam hal ini pembaca dapat membatasi
diri pada analisis unsur intrinsik. Misalnya, dengan menganalisis citraan dan
gaya bahasa seperti pada contoh puisi Prologue
karya Sapardi Djoko Darmono.
PROLOGUE
Karya Sapardi Djoko Damono
Masih terdengar sampai di sini
dukaMu abadi. Malampun sesaat terhenti
sewaktu dingin pun terdiam, di luar
langit yang membayang samar
kueja setia, semua pun yang sempat tiba
sehabis menempuh ladang Qain dan bukit Golgota
sehabis mencecap beribu kata, di sini
di rongga-rongga yang mengecil ini
kusapa dukaMu jua, yang dahulu
yang meniupkan zarah ruang dan waktu
yang capai menyusun Huruf. Dan terbaca:
sepi manusia, jelaga.
1. Citraan
Dalam puisi tersebut Sapardi menggunakan
jenis imaji citra auditif yang dapat dibuktikan dengan adanya kata terdengar, yang berarti melibatkan
indera pendengaran pada baris pertama yang berbunyi Masih terdengar sampai disini. Baris kempat pada bait pertama juga
membuktikna bahwa penyair menggunakan imaji visual yang berbunyi di luar
langit yang membayang samar. Hal ini berarti penyair mengetahui di luar
sana langit membayang samar karena adanya penglihatan. Bait kedua pada baris kelima, ketujuh yaitu kata kusapa dan terbaca. Hal itu juga menunjukkan adanya indera penglihatan yang
dilakukan penyair pada waktu itu. Penyair bisa menyapa dan membaca karena
melihat.
Selain
itu, Sapardi juga menggunakan jenis imaji citra pencecapan yang dapat
dibuktikan dengan adanya kata mencecap, yang
berarti penyair juga melibatkan indera pengecapan dalam puisinya pada baris ke
tujuh yang berbunyi sehabis mencecap beribu kata, di sini. Hal
ini membuktian bahwa seseorang yang digambarkan dalam puisi tersebut ikut
mengucap beribu kata duka yang telah dialami seseorang. Beribu kata maksudnya
doa-doa untuk orang yang meninggal.
Secara
umum dalam puisi PROLOGUE, penyair
menggunakan imaji perasaan yang melibatkan pendengaran, penglihatan dan
pencecapan. Penyair mengungkapkan perasaan sedih, duka melalui pendengaran,
penglihatan dan perasaan. Sapardi sangat piawai dalam menggunakan kata-kata,
untuk mengungkapkan perasaannya tersebut, penyair memilih dan menggunakan
kata-kata tertentu untuk menggambar dan mewakili perasaannya itu. Pada setiap
baris dalam puisi tersebut, penyair mampu menarik pembaca ikut larut dalam
perasaan penyair. Pada bait yang pertama penyair menghadirkan suasana duka,
sehingga pembaca seakan-akan juga ikut merasakan suatu hal yang dirasakan
penyair.
2. Gaya
Bahasa
Dalam puisi ini, penyair menggunakan majas
personifikasi yang terlihat pada baris pertama, dan kedua. Baris pertama Masih terdengar sampai di sini dukaMu
abadi. Hal itu menunjukkan bahwa kata dukaMu
seolah-olah hidup dan dapat mengeluarkan suara, sehingga dapat didengar. Begitu
pula dengan baris kedua Malampun sesaat
terhenti sewaktu dingin pun terdiam, kata malam dan dingin seolah-olah
sesuatu yang hidup, padahal kata malam merupakan keterangan, dan dingin adalah
kata sifat. Selain itu, ditemukan lagi majas personifikasi pada:
kueja setia, semua pun yang
sempat tiba
sehabis menempuh ladang Qain dan bukit Golgota
sehabis mencecap beribu kata
Pada kata yang bercetak miring dalam
syair tersebut menunjukkan bahwa kata setia
merupakan kata sifat yang hanya bisa dirasakan, sedangkan dalam puisi
tersebut dieja. Dieja maksudnya dihitung semua orang yang datang dalam proses
pemakaman orang Kristen untuk mengucap doa-doa tertentu.
kusapa dukaMu jua, yang dahulu
yang meniupkan zarah ruang dan waktu
yang capai
menyusun Huruf
Pada kata kusapa dukaMu, menunjukkan majas personifikasi karena duka itu
merupakan suatu hal yang dirasakan, sehingga tidak bisa disapa. Pada kata meniupkan zarah, juga terlihat bahwa
kata duka seolah-olah hidup dan dapat meniupkan zarah, padahal duka merupakan
suatu perasaan yang tidak terlihat, tetapi bisa dirasakan.
III.
PENUTUP
3.1 Simpulan
1. Penerapan
Pendekatan Parafrastis selain untuk mempermudah upaya pemahaman makna suatu
bacaan, juga digunakan untuk mempertajam, memperluas dan melengkapi pemahaman
makna yang diperoleh pembaca itu sendiri.
2. Dalam
pelaksanaannya Pendekatan Analistis itu tidak harus meliputi keseluruhan aspek
yang terkandung dalam suatu cipta sastra.
3.2 Saran
Pada makalah ini, masih banyak unsur intrinsik dalam
puisi yang merupakan bagian dari Pendekatan Analitis. Misalnya, tema, diksi,
enjabemen, nada, dan amanat yang belum dianalisis. Selain itu, terbatasnya
materi dalam makalah ini, sehingga diharapkan ada pemakalah lain yang membahas Pendekatan
Parafrastis dan Analitis ini secara mendalam.
DAFTAR
PUSTAKA
Aminuddin.
2010. Pengantar Apresiasi Karya Sastra.
Bandung: Sinar Baru Algensindo.
Waluyo,
Herman J. 2002. Apresiasi Puisi.
Jakarta; Gramedia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar