Rabu, 03 April 2013

Analisis Struktur Puisi


PROLOGUE
Karya Sapardi Djoko Damono

Masih terdengar sampai di sini
dukaMu abadi. Malampun sesaat terhenti
sewaktu dingin pun terdiam, di luar
langit yang membayang samar

kueja setia, semua pun yang sempat tiba
sehabis menempuh ladang Qain dan bukit Golgota
sehabis mencecap beribu kata, di sini
di rongga-rongga yang mengecil ini
kusapa dukaMu jua, yang dahulu
yang meniupkan zarah ruang dan waktu
yang capai menyusun Huruf. Dan terbaca:
sepi manusia, jelaga.


Analisis Struktur Puisi
1.      Imaji
    Dalam puisi tersebut Sapardi menggunakan jenis imaji citra auditif yang dapat dibuktikan dengan adanya kata terdengar, yang berarti melibatkan indera pendengaran pada baris pertama yang berbunyi Masih terdengar sampai disini. Baris kempat pada bait pertama juga membuktikna bahwa penyair menggunakan imaji visual yang berbunyi  di luar langit yang membayang samar. Hal ini berarti penyair mengetahui di luar sana langit membayang samar karena adanya penglihatan. Bait kedua pada baris kelima, ketujuh yaitu kata kusapa dan terbaca. Hal itu juga menunjukkan adanya indera penglihatan yang dilakukan penyair pada waktu itu. Penyair bisa menyapa dan membaca karena melihat.

Selain itu, Sapardi juga menggunakan jenis imaji citra pencecapan yang dapat dibuktikan dengan adanya kata mencecap, yang berarti penyair juga melibatkan indera pengecapan dalam puisinya pada baris ke tujuh yang berbunyi  sehabis mencecap beribu kata, di sini. Hal ini membuktian bahwa seseorang yang digambarkan dalam puisi tersebut ikut mengucap beribu kata duka yang telah dialami seseorang. Beribu kata maksudnya doa-doa untuk orang yang meninggal.
Secara umum dalam puisi PROLOGUE, penyair menggunakan imaji perasaan yang melibatkan pendengaran, penglihatan dan pencecapan. Penyair mengungkapkan perasaan sedih, duka melalui pendengaran, penglihatan dan perasaan. Sapardi sangat piawai dalam menggunakan kata-kata, untuk mengungkapkan perasaannya tersebut, penyair memilih dan menggunakan kata-kata tertentu untuk menggambar dan mewakili perasaannya itu. Pada setiap baris dalam puisi tersebut, penyair mampu menarik pembaca ikut larut dalam perasaan penyair. Pada bait yang pertama penyair menghadirkan suasana duka, sehingga pembaca seakan-akan juga ikut merasakan suatu hal yang dirasakan penyair.

2.      Majas
  Dalam puisi ini, penyair menggunakan majas personifikasi yang terlihat pada baris pertama, dan kedua. Baris pertama Masih terdengar sampai di sini dukaMu abadi. Hal itu menunjukkan bahwa kata dukaMu seolah-olah hidup dan dapat mengeluarkan suara, sehingga dapat didengar. Begitu pula dengan baris kedua Malampun sesaat terhenti sewaktu dingin pun terdiam, kata malam dan dingin seolah-olah sesuatu yang hidup, padahal kata malam merupakan keterangan, dan dingin adalah kata sifat. Selain itu, ditemukan lagi majas personifikasi pada:
kueja setia, semua pun yang sempat tiba
sehabis menempuh ladang Qain dan bukit Golgota
sehabis mencecap beribu kata

         Pada kata yang bercetak miring dalam syair tersebut menunjukkan bahwa kata setia merupakan kata sifat yang hanya bisa dirasakan, sedangkan dalam puisi tersebut dieja. Dieja maksudnya dihitung semua orang yang datang dalam proses pemakaman orang Kristen untuk mengucap doa-doa tertentu.
kusapa dukaMu jua, yang dahulu
yang meniupkan zarah ruang dan waktu
yang capai menyusun Huruf

           Pada kata kusapa dukaMu, menunjukkan majas personifikasi karena duka itu merupakan suatu hal yang dirasakan, sehingga tidak bisa disapa. Pada kata meniupkan zarah, juga terlihat bahwa kata duka seolah-olah hidup dan dapat meniupkan zarah, padahal duka merupakan suatu perasaan yang tidak terlihat, tetapi bisa dirasakan.

3.      Pilihan kata atau diksi
   Menurut Aminuddin (2012:140), kata dibagi menjadi tiga yaitu lambang, utterance atau indice, dan simbol. Dalam puisi karya Sapardi tersebut yang bisa saya tangkap yaitu:
a.       Lambang duka, merupakan kesusahan, sedih, gunda hati. Dalam puisi tersebut menceritakan tentang kesedihan atau kedukaan seseorang terhadap seseorang yang telah meninggal.
b.      Lambang abadi, merupakan contoh lambang kekekalan tiada akhir. Adanya lambang tersebut memberikan pesan bahwa duka yang dialami seseorang dalam puisi tersebut tiada akhir.
c.       Lambang samar, merupakan hal kabur, tidak kelihatan nyata, gelap, tidak jelas, remang-remang. Penyair mengalami suatu keadaan yang sedang tidak menentu dalam hidupnya. Sapardi melambangkan duka sebagai pembawa sesuatu menjadi tidak kelihatan nyata.
d.      Lambang setia, merupakan simbol berpegang teguhnya, berpendiriannya seseorang pada suatu hal.
e.       Lambang jelaga, butiran arang halus dan lunak yang terjadi dari asap lampu atau kompor minyak tanah, yang melambangkan duka seseorang itu sulit hilang, dan kemungkinan akan lama membekas dihati seseorang.
f.       Lambang golgota adalah tempat penyaliban Yesus, nama itu disesuaikan dengan bentuk tempatnya yang bulat mirip tengkorak, sebagai tempat hukuman mati dan kuburan.
g.      Lambang zarah, merupakan butiran halus yang sangat kecil seperti partikel atom.
Secara umum diksi atau pemilihan kata dalam puisi tersebut menggunakan banyak lambang yang sangat sulit dipahami maknanya. Lambang-lambang tersebut perlu dicermati secara mendalam agar bisa memaknai setiap kata yang ditulis Sapardi. Adanya lambang satu dengan yang lain saling berkaitan, sehingga tidak mudah menganalsisnya tanpa mengaitkan baris satu dengan baris yang lain. Lambang tersebut tidak bisa diartikan dengan kasat mata, tetapi perlunya bantuan kamus untuk menerjemahkan apa maksud pengarang memunculkan lambang-lambang tersebut.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar