PROLOGUE
Karya Sapardi Djoko Damono
Masih terdengar sampai di sini
dukaMu abadi. Malampun sesaat terhenti
sewaktu dingin pun terdiam, di luar
langit yang membayang samar
kueja setia, semua pun yang sempat tiba
sehabis menempuh ladang Qain dan bukit
Golgota
sehabis mencecap beribu kata, di sini
di rongga-rongga yang mengecil ini
kusapa dukaMu jua, yang dahulu
yang meniupkan zarah ruang dan waktu
yang capai menyusun Huruf. Dan terbaca:
sepi manusia, jelaga.
Analisis
Struktur Puisi
1. Imaji
Dalam puisi
tersebut Sapardi menggunakan jenis imaji citra auditif yang dapat dibuktikan
dengan adanya kata terdengar, yang
berarti melibatkan indera pendengaran pada baris pertama yang berbunyi Masih terdengar sampai disini. Baris
kempat pada bait pertama juga membuktikna bahwa penyair menggunakan imaji
visual yang berbunyi di luar
langit
yang membayang samar. Hal ini
berarti penyair mengetahui di luar sana langit membayang samar karena adanya
penglihatan. Bait kedua pada baris
kelima, ketujuh yaitu kata kusapa dan
terbaca. Hal itu juga menunjukkan
adanya indera penglihatan yang dilakukan penyair pada waktu itu. Penyair bisa
menyapa dan membaca karena melihat.
Selain itu, Sapardi juga menggunakan jenis imaji citra
pencecapan yang dapat dibuktikan dengan adanya kata mencecap, yang berarti penyair juga melibatkan indera pengecapan
dalam puisinya pada baris ke tujuh yang berbunyi sehabis mencecap beribu kata, di sini. Hal ini membuktian bahwa seseorang yang digambarkan
dalam puisi tersebut ikut mengucap beribu kata duka yang telah dialami
seseorang. Beribu kata maksudnya doa-doa untuk orang yang meninggal.
Secara umum dalam puisi PROLOGUE, penyair menggunakan
imaji perasaan yang melibatkan pendengaran, penglihatan dan pencecapan. Penyair
mengungkapkan perasaan sedih, duka melalui pendengaran, penglihatan dan
perasaan. Sapardi sangat piawai dalam menggunakan kata-kata, untuk mengungkapkan
perasaannya tersebut, penyair memilih dan menggunakan kata-kata tertentu untuk
menggambar dan mewakili perasaannya itu. Pada setiap baris dalam puisi
tersebut, penyair mampu menarik pembaca ikut larut dalam perasaan penyair. Pada
bait yang pertama penyair menghadirkan suasana duka, sehingga pembaca
seakan-akan juga ikut merasakan suatu hal yang dirasakan penyair.
2. Majas
Dalam puisi ini, penyair
menggunakan majas personifikasi yang terlihat pada baris pertama, dan kedua. Baris
pertama Masih terdengar sampai di sini
dukaMu
abadi. Hal itu menunjukkan bahwa
kata dukaMu seolah-olah hidup dan
dapat mengeluarkan suara, sehingga dapat didengar. Begitu pula dengan baris
kedua
Malampun sesaat terhenti
sewaktu
dingin pun terdiam, kata malam dan
dingin seolah-olah sesuatu yang hidup, padahal kata malam merupakan keterangan,
dan dingin adalah kata sifat. Selain itu, ditemukan lagi majas personifikasi
pada:
kueja
setia,
semua pun yang sempat tiba
sehabis menempuh ladang Qain dan bukit
Golgota
sehabis mencecap beribu kata
Pada kata yang bercetak miring dalam
syair tersebut menunjukkan bahwa kata setia
merupakan kata sifat yang hanya bisa dirasakan, sedangkan dalam puisi
tersebut dieja. Dieja maksudnya dihitung semua orang yang datang dalam proses
pemakaman orang Kristen untuk mengucap doa-doa tertentu.
kusapa dukaMu jua, yang
dahulu
yang meniupkan zarah ruang dan waktu
yang
capai menyusun Huruf
Pada kata kusapa dukaMu,
menunjukkan majas personifikasi karena duka itu merupakan suatu hal yang
dirasakan, sehingga tidak bisa disapa. Pada kata meniupkan zarah, juga terlihat bahwa kata duka seolah-olah hidup dan dapat meniupkan
zarah, padahal duka merupakan suatu perasaan yang tidak terlihat, tetapi bisa
dirasakan.
3. Pilihan
kata atau diksi
Menurut
Aminuddin (2012:140), kata dibagi menjadi tiga yaitu lambang, utterance atau indice, dan simbol. Dalam puisi karya Sapardi tersebut yang bisa
saya tangkap yaitu:
a.
Lambang duka,
merupakan kesusahan, sedih, gunda hati. Dalam puisi tersebut menceritakan
tentang kesedihan atau kedukaan seseorang terhadap seseorang yang telah
meninggal.
b.
Lambang abadi,
merupakan contoh lambang kekekalan tiada akhir. Adanya lambang tersebut memberikan
pesan bahwa duka yang dialami seseorang dalam puisi tersebut tiada akhir.
c.
Lambang samar,
merupakan hal kabur, tidak kelihatan nyata, gelap, tidak jelas, remang-remang.
Penyair mengalami suatu keadaan yang sedang tidak menentu dalam hidupnya.
Sapardi melambangkan duka sebagai pembawa sesuatu menjadi tidak kelihatan
nyata.
d.
Lambang setia,
merupakan simbol berpegang teguhnya, berpendiriannya seseorang pada suatu hal.
e.
Lambang jelaga, butiran
arang halus dan lunak yang terjadi dari asap lampu atau kompor minyak tanah,
yang melambangkan duka seseorang itu sulit hilang, dan kemungkinan akan lama
membekas dihati seseorang.
f.
Lambang golgota
adalah tempat penyaliban Yesus, nama itu disesuaikan dengan bentuk tempatnya
yang bulat mirip tengkorak, sebagai tempat hukuman mati dan kuburan.
g.
Lambang zarah,
merupakan butiran halus yang sangat kecil seperti partikel atom.
Secara umum diksi atau pemilihan
kata dalam puisi tersebut menggunakan banyak lambang yang sangat sulit dipahami
maknanya. Lambang-lambang tersebut perlu dicermati secara mendalam agar bisa
memaknai setiap kata yang ditulis Sapardi. Adanya lambang satu dengan yang lain
saling berkaitan, sehingga tidak mudah menganalsisnya tanpa mengaitkan baris
satu dengan baris yang lain. Lambang tersebut tidak bisa diartikan dengan kasat
mata, tetapi perlunya bantuan kamus untuk menerjemahkan apa maksud pengarang
memunculkan lambang-lambang tersebut.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar