Jumat, 12 April 2013

Ayah dan Ibuku Bukan Untuk Kau Hina


Jika boleh aku bersyukur dan berkata, mungkin aku orang paling beruntung. Aku memang berasal dari keluarga yang sangat sederhana, tetapi keberuntungan selalu menyertaiku. Ayahku seorang pemabuk. Dia bekerja menjual minuman keras. Orang Jawa khususnya daerah Tuban dan Lamongan menyebutnya Toak. Minuman ini terbuat dari Jatu dan Wolo. Jatu adalah kulit pohon kejaran yang diiris tipis, sedangkan wolo adalah buah dari pohon rotan yang gennya laki-laki. Ayahku menyetorkan toaknya ke warung-warung di pinggiran jalan maupun di pelosok desa. Dia selalu pulang dalam keadaan mabuk. Ibukku seorang buruh di sebuah kios kecil di Pasar Baru. Aku hidup dari jerih payah ayah dan ibuku sampai aku lulus di sebuah sekolah ternama di kota ku. Kalau boleh aku jujur, aku malu mempunyai ayah yang bekerja keras mendapatkan uang haram, tetapi hanya dengan itu aku bisa bersekolah. Ejekan demi ejekan kuanggap sebagai angin belaka, karena itu hanya bisa melukaiku dan orangtuaku.
Saat aku lulus SMA, aku tidak mempunyai tujuan akan ke mana diriku melangkah. Orangtuaku sudah bersyukur bisa menyekolahkanku sampai tamat SMA, sehingga aku tidak punya keberanian tuk katakan apa maksudku. Sebenarnya mereka ingin aku melanjutkan pendidikanku, tetapi apalah daya ekonomi menjadi masalah terbesar dalam hidupku. Semakin hari aku semakin bingung. Saat berada di sekolah, teman-temanku mondar-mandir mengurus ini dan itu untuk mempersiapkan pendaftaran di universitas yang diinginkan, sementara aku hanya bisa melihat, meratapi, membayangkan bagaimana senangnya hatiku seandainya aku bisa seperti mereka. Pukul 13.00 WIB aku pulang ke rumah dan mengatakan apa yang ku rasa pada ayah dan ibuku. Jawaban pahit telah mencabik-cabik hatiku. Mereka tak sanggup menguliahkanku.
Beberapa hari berikutnya, guruku yang sering memperhatikanku datang menemuiku. Aku disuruh untuk mendaftarkan diri melalui jalur beasiswa bagi siswa yang kurang mampu. Hatiku terasa hidup kembali mendengar ada kesempatan buat si miskin seperti aku. Aku pulang dengan wajah semringah penuh semangat yang membara, tetapi ayah dan ibuku tidak mengizinkanku karena mereka takut akan biaya kuliahku. Mendengar diriku tak dapat izin dari orangtuaku, semangatku kian hari kian pupus. Sahabat-sahabatku yang setia tidak ingin melihat aku menangis, mereka ingin berjuang bersama dalam suka dan duka. Tiyem dan Titik tak henti-hentinya menasehatiku. Selain Tiyem dan Tatik, ada seorang yang paling aku sayangi. Menjadi kekasih sekaligus seorang kakak. Dia adalah pacarku, namanya Sholeh. Dia anak dari keluarga kyai, dan dia lulusan dari universitas swasta di kota ku.
Tekatku kian bulat, tanpa izin ayah dan ibuku, aku pergi mendaftar di sebuah universitas ternama di Indonesia. Aku dan sahabatku hidup klontang-klantung di jalanan selama tiga hari. Tak tahu arah ke mana harus membaringkan sejenak tubuh yang tlah lelah ini. Tak ada satupun sanak saudara. Bunyi perut menjadi teman setia. Lagi-lagi keberuntungan datang padaku. Aku tlah diterima di universitas yang aku inginkan. Aku tak menyangka hal itu terjadi. Aku tak pandai, dan aku bukan orang yang kaya, tetapi keberuntungan berkali-kali menghampiriku. Orangtuaku akhirnya ikut senang atas usahaku. Kini aku telah menikmati betapa bersyukurnya aku dapat kuliah ditengah-tengah kemewahan orang-orang di sekitarku.
Waktu tlah tiba di mana aku akan diperkenalkan pada orangtuanya. Pukul 15.00 WIB aku dijemput olehnya menuju rumah pacarku. Sambutan orangtuanya tak terduga. Mereka senang dengan kedatanganku. Akupun malu saat mereka mengajak berbicara dan bergurau. Hari-hariku terasa sempurna, aku bisa kuliah dan aku bisa bertemu dengan keluarga pacarku.
Ternyata kebahagiaan hanya berlangsung sekejab. Seminggu berikutnya, keberuntungan tak berpihak padaku. Bukan karna orangtuannya tak menyukai ku. Keluargakulah menjadi korbannya. Mereka tak tahu apa-apa, tapi mereka jadi bahan cemoohan. Keluarganya memang orang terpandang, terhormat, dan berderajat. Aku bagaikan pungguk merindukan bulan. Keluargaku memang miskin. Aku terlahir dari keluarga pemabuk. Dan aku bukan lulusan dari madrasah. Ulama’ melawan pemabuk, itu kata-kata sindiran yang terbiasa terlontar. Aku sakit hati olehnya, aku muak dengan keadaan yang mengombang-ambingkan perasaanku. Jika orangtuaku tahu, mereka kan murka. Tapi aku tak sanggup katakan hal itu.
“Tak pantaskah aku memilikinya Tuhan?”
“Tak pantaskah aku menjadi menantunya Tuhan?”
“Tak pantaskan anak seorang pemabuk bersanding dengan anak kyai Tuhan?”
Biarkanlah aku menanggung semua derita ini. Jangan ayah dan ibuku.Oh Tuhan apa yang harus ku lakukan. Berilah aku petunjukmu. . . . . . . . . .

Tidak ada komentar:

Posting Komentar