Kata Pengantar
Asalammualaikum Wr.Wb
Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan nikmatnya
kepada penulis
untuk menyelesaikan makalah tentang Makna Simbolik Dalam Syiir Gundul-Gundul
Pacul Dan Kidung Rumekso Ing Wengi Oleh Sunan Kalijaga. Tidak terlupakan penulis mengucapkan
terima kasih yang sebesar-besarnya kepada pihak-pihak yang telah membantu
menyelesaikan makalah ini, antara lain:
1.
Wahyu Widodo, M. Hum sebagai dosen pengampu matakuliah.
2.
Teman-teman Kelas B Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia yang telah memberikan
motivasi.
Penulis sadar
bahwa makalah
ini masih jauh dari kesempurnaan, oleh karena itu
kami mengharapkan saran dan kritiknya.
Wasalammualaikum Wr.Wb
Malang, 01 Mei 2013
Intan Suryana
1.
Latar
Belakang
Penelitian ini menggunakan objek tembang Gundul-gundul Pacul, dan Kidung Rumeksa Ing Wengi. Di dalam sastra
Jawa terdapat puisi Jawa tradisional dan puisi Jawa modern. Puisi Jawa tradisional
umumnya berbentuk tembang. Salah satu bentuk puisi Jawa tradisional adalah
puisi yang hidup di kalangan anak-anak yang sering disebut dengan tembang dolanan. Tembang termasuk dalam genre
sastra karena merupakan karya sastra utama dari puisi yang berisi curahan
perasaan pribadi pengarang, susunan kata-kata sebuah tembang. Oleh karena itu, tembang
bisa dikatakan sama dengan puisi, tetapi disajikan dengan nyanyian yang
diiringi oleh alat musik dan termasuk dalam genre sastra imajinatif.
Setiap penciptanya pasti mempunyai tujuan tertentu
yang ingin disampaikan kepada masyarakat sebagai pendengarnya melalui kata-kata
yang terdapat dalam liriknya. Sebagaimana dengan tembang dolanan Gundul-Gundul Pacul. Walisongo atau Wali
Sembilan merupakan pelopor masuknya Islam di Jawa. Dalam berdakwah mereka
menggunakan berbagai macam media, salah satunya Sunan Kalijaga yang mengunakan
sarana seni suara untuk menyampaikan wejangan
kepada masyarakat Jawa. Seni suara ini misalnya tembang dan doa-doa. Melalui
tembang-tembang yang telah diciptakan mampu menciptakan makna-makna yang
mendalam. Salah satunya adalah makna simbolik yang akan menjadi teori dalam
penelitian ini. Simbol dan makna adalah dua istilah berbeda, tetapi tidak dapat
dipisahkan antara satu dan lainnya, keduanya memiliki keterkaitan, Fuadhiyah
(2011:17).
Di dalam tembang dan kidung (doa) yang diciptakan Sunan Kalijaga memiliki simbol-simbol
tertentu yang sangat menarik untuk diteliti makna yang terkandung didalamnya,
karena simbol-simbol yang digunakan Sunan Kalijaga sangat dekat dengan
masyarakat Jawa, sehingga makna simbolik dalam tembang dan kidung akan berpusat
pada kehidupan masyarakat Jawa.
2.
Rumusan
Masalah
1. Apa
yang dimaksud dengan makna simbolik?
2. Bagaimanakah
makna simbolik yang terdapat dalam Syiir
Gundul-Gundul Pacul dan Kidung Rumekso Ing Wengi oleh Sunan Kalijaga?
3.
Data
dan Teori
a.
Data
yang diteliti
Data
1
Syiir Gundul-gundul Pacul
Gundul
Gundul Pacul cul..Gembelengan
Nyunggi
nyunggi wakul..kul Gembelengan
Wakul
nggelimpang Segane dadi sak latar
Wakul
nggelimpang Segane dadi sak latar
Terjemahan Lirik Lagu Gundul-gundul
Pacul
Gundul
Gundul Pacul cul. Gembelengan
Gundul
( kepala tanpa rambut ) pacul (cangkul) cul (dari kata ucul yang berarti lepas)
Gembelengan
(sombong atau angkuh)
Nyunggi
nyunggi wakul..kul Gembelengan
Nyunggi
(membawa sesuatu di atas kepala) wakul ( tempat isi nasi) kul (penekanan dari
kata wakul) Gembelengan (sombong atau angkuh)
Wakul
nggelimpang segane dadi sak latar
Wakul
(tempat isi nasi) nggelimpang (jatuh) segane (nasinya) dadi (jadi) sak latar
(berantakan kemana-mana di tanah)
Wakul
nggelimpang Segane dadi sak latar
Wakul
(bakul) nggelimpang (jatuh) segane (nasinya) dadi (jadi) sak latar (berantaan
kemana-mana di tanah)
Data
2
Syiir Kidung Rumeksa ing wengi
Ana
kidung rumeksa ing wengi
Teguh
hayu laputa ing lara
Luputa
bilahi kabeh
Jim
setan datan purun
Peneluhan
tan ana wani
Miwah
panggawe ala
Gunaning
wong luput
Geni
atemahan tirta
Maling
adoh tan ana ngarah ing mami
Guna
duduk pan sirna
Sakehing
lara pan samya bali
Sakeh
ngama pan sami miruda
Welas
asih pandulune
Sakehing
braja luput
Kadi
kapuk tibaning wesi
Sakehing
wisa tawa
Sato
galak tutut
Kayu
aeng lemah sangar
Songing
landhak guwaning wong lemah miring
Myang
pakiponing merak
Pagupakaning
warak sakalir
Nadyan
arca myang segara asat
Temahan
rahayu kabeh
Apan
sarira ayu
Ingideran
kang widadari
Rineksa
malaekat
Lan
sagung pra rasul
Pinayungan
ing Hyang Suksma
Ati
Adam utekku baginda Esis
Pangucapku
ya Musa
Napasku
nabi Ngisa linuwih
Nabi
Yakup pamiyarsaningwang
Dawud
suwaraku mangke
Nabi
brahim nyawaku
Nabi
Sleman kasekten mami
Nabi
Yusup rupeng wang
Edris
ing rambutku
Bagindha
Ngali kuliting wang
Abu
Bakar getih daging Ngumar singgih
Balung
baginda Ngusman
Sumsumingsun
Patimah linuwih
Siti
Aminah bayuning angga
Ayup
ing ususku mangke
Nabi
Nuh ing jejantung
Nabi
Yunus ing otot mami
Netraku
ya Muhamad
Pamuluku
Rasul
Pinayungan
Adam Kawa
Sampun
pepak sakathahe para nabi
Dadya
sarira tunggal
Terjemahan dalam bahasa indonesia:
Bait
1
Ada
kidung rumekso ing wengi.
Yang
menjadikan kuat selamat terbebas dari semua penyakit
Terbebas
dari segala mala petaka.
Jin
dan setan pun tidak mau
Segala
jenis sihir tidak berani
Apalagi
perbuatan jahat
Guna-guna
tersingkir
Api
menjadi air
Pencuri
pun menjauh dariku
Segala
bahaya akan lenyap
Bait 2
Semua
penyakit pulang ke tempat asalnya
Semua
hama menyingkir
Dengan
pandangan kasih
Semua
senjata tidak mengena,
Bagai
kapuk jatuh dari besi
Segenap
racun menjadi tawar
Binatang
buas menjadi jinak
Pohon
ajaib, tanah angker
lubang
landak, goa orang, tanah miring
Dan
sarang merak
Bait
3
Kandangnya
semua badak
Meskipun
batu dan laut mongering
Pada
akhirnya semua selamat
Sebab
badannya selamat
Dikelilingi
oleh bidadari
Yang
dijaga oleh Malaikat
Dan
semua rasul
Dalam
lindungan Tuhan
Hatiku
Adam dan otakku Nabi Sis
Ucapanku
ialah Nabi Musa
Bait
4
Napasku
Nabi Isa yang sangat mulia
Nabi
Ya’kub pendengaranku
Nanti
Nabi Daud menjadi suaraku
Nabi
Ibrahim sebagai nyawaku
Nabi
Sulaiman menjadi kesaktianku
Nabi
Yusup menjadi rupaku
Nabi
Idris pada rambutku
Ali
sebagai kulitku
Abu
Bakar darahku dan Umar dagingku
Sedangkan
Usman sebagai tulangku
Bait
5
Sumsumku
adalah Fatimah yang sangat mulia
Siti
Aminah sebagai kekuatan badanku
Nanti
Nabi Ayub ada di dalam ususku
Nabi
Nuh di dalam Jantungku
Nabi
Yunus di dalam otakku
Mataku
ialah Nabi Muhammad
Air
mukaku rasul
Dalam
lindungan Adam dan Hawa
Maka
lengkaplah semua rasul
Yang
menjadi satu badan
(Achmad Chodjim, 2013: 39)
b.
Teori
yang digunakan
Menurut
Aminuddin (2010:140) mengatakan bahwa simbol adalah apabila kata-kata itu
mengandung makna ganda (makna konotatif), sehingga untuk memahaminya seseorang
harus menafsirkannya (interpretatif) dengan melihat bagaimana hubungan makna
kata tersebut dengan makna kata lainnya (analisis kontekstual), sekaligus berupaya
menemukan fitur semantisnya lewat kaidah proyeksi , mengembalikan kata atau
bentuk larik (kalimat) ke dalam bentuk yang lebih sederhana lewat pendekatan
parafrastis.
Menurut
Aminuddin (2010:41), Pendekatan Parafrasis adalah strategi pemahaman kandungan
makna dalam satuan cita sastra dengan jalan mengungkapkan kembali gagasan yang
disampaikan pengarang dengan menggunakan kata-kata maupun kalimat yang berbeda
dengan kata-kata dan kalimat yang digunakan pengarangnya. Tujuan akhir dari
penggunaan parafrasis itu adalah untuk menyederhanakan pemakaian kata atau
kalimat seorang pengarang, sehingga pembaca lebih mudah memahami kandungan
makna yang terdapat dalam suatu cipta sastra.
Prinsip
dasar dari penerapan Pendekatann Parafratis pada hakikatnya berangkat dari
pemikiran bahwa (1) gagasan yang sama dapat disampaikan lewat bentuk yang
berbeda, (2) simbol-simbol yang bersifat konotatif dalam suatu cipta sastra
dapat diganti dengan lambang atau bentuk lain yang tidak mengandung makna, (3)
kalimat-kalimat atau baris dalam suatu cipta satra yang mengalami pelepasan
dapat dikembalikan lagi kepada bentuk dasarnya, (4) pengungkapan kembali suatu
gagasan yang sama dengan menggunakan media atau bentuk yang tidak sama oleh
seorang pembaca akan mempertajam pemahaman gagasan yang diperoleh pembaca itu
sendiri, (5) pengungkapan kembali suatu gagasan yang sama dengan menggunakan
media atau bentuk yang tidak sama oleh seorang pembaca akan mempertajam
pemahaman gagasan yang diperoleh pembaca itu sendiri.
Menurut
Aminuddin (2010:140) membagi symbol menjadi tiga jenis, yaitu:
1. Blank simbol,
yaitu apabila simbol itu acuan maknanya bersifat konotatif, pembaca tidak perlu
menafsirkannya karena acuan maknanya sudah bersifat umum.
2. Natural simbol,
yaitu apabila simbol itu memggunakan realitas alam.
3. Private simbol,
yaitu simbol itu secara khusus diciptakan dan digunakan penyairnya.
4. Hipotesis Temuan
Makna
Simbolik Pada Syiir Gundhul-Ghundul Pacul
Syiir Gundul-Gundul
Pacul terdiri dari 22 kata dan hanya mempunyai 5 simbol yang terdiri atas 4
simbol berjenis Blank Simbol (gundhul, pacul, wakul, sega), dan 1
simbol berjenis Natural Simbol (latar) yang ditafsirkan sebagai berikut:
Pada baris pertama yang berbunyi Gundhul-gundul pacul cul gembelengan
terdapat 1 simbol yaitu pada kata gundhul.
Apabila diartikan makna tersebut tidak hanya merupakan kepala yang tidak
memiliki rambut/mahkota, dengan kata lain dalam bahasa Indonesia disebut botak.
Kepala merupakan bagian anggota tubuh manusia yang berada paling atas, sehingga
makna kata gundhul tersebut merupakan
simbol pemimpin yang telah kehilangan kehormatan atau kekuasaan. Kekuasaan
disimbolkan dengan rambut/mahkota karena mahkota tersebut berada di kepala.
Achmad Chodjim (2013:342) mengatakan bahwa pacul yang berasal dari bahasa Jawa yang
berarti cangkul dalam bahasa
Indonesia mengungkapkan suatu makna yaitu mapak
barang kang mecungul (meratakan tanah yang menggunduk), dan melalui pacul
pula Sunan Kalijaga menyebarkan ajaran makrifat kepada petani.
Sependapat dengan Achmad Chodjim bahwa kata pacul tidak hanya memiliki makna sebuah
alat kerja yang digunakan untuk menggali tanah atau membalik tanah. Bagian
bawah tanah yang subur dibalik dan ditempatkan dibagian atas tanah yang kurang
subur, sedangkan bagian atas yang sudah gersang ditempatkan di bagian bawah.
Sunan Kalijaga dengan sengaja menggunakan simbol-simbol yang sekiranya dapat
diterima dikalangan petani yang pada masa munculnya tembang ini, bahwa
masyarakatnya kebanyakan bekerja sebagai petani. Simbol pacul yang digunakan Sunan Kalijaga ini bermakna seperti fungsi pacul itu sendiri, yaitu bahwa hidup ini
harus bisa menggali bagian dalam yang masih subur untuk menggantikan bagian
lahiriah yang sudah gersang dan rawan penyakit ini. Apabila dikaitkan dengan
kata gundhul pada baris pertama yang
merupakan simbol pemimpin, yaitu bahwa sebagai seorang pemimpin harus menengok
bagian dalam kehidupan (hubungan dengan Allah), dan bersedia melihat ke bawah
(rakyatnya), sehingga sama-sama bisa hidup nyaman dan tentram dengan tetap
mengingat ajaran dan syariat Islam. Apabila dihubungankan dengan kata gembelengan yang bermakna congak atau
seenaknya sendiri, bahwa seorang pemimpin tidak boleh seenaknya sendiri, seharusnya bijaksana dan merakyat. Namun,
sebaliknya cul masih pada baris
pertama yang berasal dari kata ucul,
dalam bahasa Indonesia yang berarti lepas mempunyai sebuah wejangan (nasihat) Sunan Kalijaga bahwa apabila seseorang tidak
memiliki jiwa pemimpin seperti pada makna yang terdapat dalam kata pacul, seorang pemimpin itu akan hancur
kepemimpinannya dan tidak akan dipercaya oleh rakyatnya.
Hal itu menunjukkan bahwa pacul memiliki makna yang mendalam apabila dianalisis dari
bagian-bagian yang mengikat. Bagian lingkaran di pangkal pacul, tempat salah satu ujung batang pegangan dipasakkan atau
tangkai pacul disebut bawak. Bagi orang Jawa kata bawak bisa dimaknai sebagai obahing awak (geraknya badan) menurut Chodjim
(2013:344). Gerak yang dimaksud di sini adalah menggerakkan badan secara
teratur dengan cara berdzikir, pada zaman sekarang dikenal dengan sebutan
senam. Dengan berdzikir jiwa akan merasa tenang dan pikiran yang sehat, dengan
kata lain pandangan hidup akan semakin luas, fanatisme akan semakin lenyap.
Fanatisme yang dimaksud adalah keyakinan atau kepercayaan yang berlebih-lebihan
terhadap ajaran politik maupun agama menurut Wiyono (2007:160). Selain itu,
dengan pikiran yang tenang akan bisa menghargai dan menghormati orang lain
termasuk seorang yang dipimpin.
Menurut Chodjim (2013:345), menyatakan bahwa gagang
atau pegangan pacul disebut doran oleh Sunan Kalijaga. Kata doran dapat dimaknai dongo marang pangeran (berdoa kepada
Allah). Jadi, dengan simbol pacul,
Sunan Kalijaga mengajari orang Jawa khususnya petani dan pimpinannya untuk
pandai introspeksi dan mawas diri, berperilaku dengan syariat Islam dan
tentunya ingat pada Allah, tidak menyombongkan diri.
Pada baris kedua yang berbunyi Nyunggi nyunggi wakul..kul Gembelengan terdapat makna simbolik yang
berupa kata wakul. Kata wakul tidak semerta-merta dimaknai
dengan tempat yang berisi nasi yang digunakan oleh orang Jawa. Akan tetapi,
apabila dikaitkan dengan kata sebelumnya yaitu
nyunggi merupakan simbol
sebagai tempat menampung aspirasi rakyat. Kata nyunggi berarti membawa sesuatu di atas kepala, sedangkan wakul biasanya digunakan orang Jawa. Begitu
pula dikaitkan dengan kata segane
pada baris ketiga yang disimbolkan dengan amanat rakyat, sedangkan latar merupakan tanah lapang yang
biasanya menjadi halaman orang Jawa dan disimbolkan tempat yang mudah diketahui
oleh orang. Namun, apabila dikaitkan dengan simbol-simbol sebelumnya, syiir Gundhul-gundhul pacul ini memiliki makna
simbolik yang sangat mendalam yaitu bahwa seorang pemimpin harus hati-hati
dalam membawa amanat rakyat dan tidak lupa dengan syariat Islam yang salah
satunya tercermin dalam makna simbol pacul.
Jika semua hal itu tidak terpenuhi (ucul/lepas),
maka amanat itu akan sia-sia.
Purwadi (2005:158-159) mengatakan bahwa pacul
memiliki arti ngipatek sing muncul
(membuang apa yang timbul). Maksudnya, dalam menjalankan sesuatu yang baik, tentu
timbul godaan-godaan, kesulitan-kesulitan. Godaan tersebut harus dibuang
jauh-jauh.
Untuk tetap menjadi pemimpin yang disegani, Sunan
Kalijaga ingin agar seorang pemimpin nantinya menjahui sifat congak dan
takabur, sebab sifat-sifat itu akan menjatuhkan orang ke dalam jurang kehinaan
seperti pada syiir wakul ngglimpang
segane dadi sak latar.
Makna Simbolik Pada Syiir Kidung
Rumekso Ing Wengi
Lain halnya dengan Syiir di atas, bahwa Kidung Rumekso Ing Wengi terdiri dari 167
kata dan hanya mempunyai 37 simbol yang terdiri atas 25 simbol berjenis Blank Simbol (wengi, jim, setan, geni, senjata, besi, ati, utek, napas, suwara,
nyawa, kasekten, rupeng, rambut, kuliting, getih, daging, balung,
sungsumingsun, angga, usus, jejantung, otot, netra, pamulu), dan 13 simbol
berjenis Natural Simbol (tirta, hama, kapuk, sato, kayu, lemah
sangar, songing landhak, guwaning wong, lemah miring, pakiponing merak, warak,
arco) yang ditafsirkan sebagai berikut:
Menurut Chodjim (2013:42), menyatakan bahwa kidung dalam bahasa Jawa bisa bermakna
sabda suci atau firman. Dengan demikian, kidung
ini merupakan sabda suci yang dimaksudkan untuk menjaga diri pada malam hari.
Menurut Wiyono (2007:382), menyatakan bahwa malam adalah waktu antara terbit
dan terbenamnya matahari yang ditandai dengan suasana gelap. Nah, pada kata wengi yang terdapat pada bait pertama
baris pertama merupakan sebuah simbol bahwa banyak kejahatan yang dilakukan
pada malam hari. Siang hari juga terjadi kejahatan, tetapi tidak sebanyak pada
malam hari. Adanya kejahatan tersebut sulit diketahui karena dilakukan secara
tidak terang-terangan dan pada malam hari seorang penjahat lebih leluasa
melakukan aksinya karena malam yang identik dengan kata gelap, sepi. Jika
dihubungkan dengan kata kidung, maka
Sunan Kalijaga bernasihat agar pada malam hari yang penuh dengan suasana yang
gelap memungkinkan adanya banyak kejahatan dan seseorang diajarkan untuk berdoa
agar terlindung dari marabahaya. Kejahatan yang dimaksud di sini bukan hanya
kejahatan dari hasil perbuatan orang, tetapi juga menyangkut hal ghoib seperti
sihir , teluh, santen dan lain sebagainya yang akan menyingkir secara
sendirinya dengan doa yang suci.
Pada baris ke empat bait pertama juga terdapat
simbol yaitu kata jim dan setan. Kata jim dan setan merupakan
simbol keburukan atau kemungkaran yang menandakan bahwa adanya roh-roh jahat
yang mengganggu keimanan seseorang. Sependapat dengan hal itu, orang Jawa
mengatakan bahwa jin dan setan mulai datang pada saat pergantian
waktu antara sore dan malam, tepatnya pada saat menjelang sholat Maghrib. Jika
dihubungkan dengan kata kidung, maka
simbol jim dan setan merupakan sebuah wejangan
(nasihat) bahwa adanya roh-roh jahat dalam kehidupan manusia yang akan
mengganggu, sehingga Sunan Kalijaga dalam tembangnya ingin mengingatkan dan
menganjurkan kepada umat untuk berdoa agar terhindar dari kejahatan yang
bersifat fisik maupun batiniah (ghoib) pada malam hari. Semua kejahatan itu
akan menyingkir dengan sendirinya karena adanya doa-doa yang diucapkan.
Pada baris kedelapan pada bait pertama juga terdapat
makna simbolik pada kata geni dan tirta. Dalam bahasa Indonesia, geni adalah api, sedangkan tirta adalah air, Chodjim (2013:39). Ini
ada hubungannya dengan simbol jim dan
setan. Jin dalam Al-Qur’an (Surat
Ar-Rahman juz 27 ayat 15) menerangkan bahwa dan
dia menciptakan jin dari nyala api. Air
itu simbol dari kedamaian, dan kedamaian itu akan terwujud melaui doa-doa
tertentu yang akan memadamkan api, maksudnya dengan doa yang diucapkan akan
mengalahkan jin dan setan yang terbuat dari api yang menyala. Dalam kehidupan
ini hanya dengan air yang ampuh untuk memadamkan api. Oleh karena itu, Sunan
Kalijaga memunculkan simbol-sombol air dan api yang sebenarnya kata tersebut
dekat dengan kehidupan masyarakat.
Lain halnya dengan bait pertama, bait kedua pada
baris kedua juga ditemukan makna simbolik pada kata ngama yang berarti hama dalam bahasa Indonesia, Chodjim (2013:39). Menurut
Wiyono (2007:209), kata hama artinya penyebab kerusakan, benih penyakit, dan
hewan penggangu tanaman. Yang dimaksud dalam tembang Kidung Rumekso Ing Wengi bukan dalam artian seperti itu, melainkan
ada hubungannya dengan simbol-simbol yang diuraikan di atas yaitu hama di sini
dapat disimbolkan dengan penyakit. Penyakit yang dimaksud adalah godaan-godaan dari
jin dan setan. Selain itu, juga terdapat makna simbolik lain diantaranya pada
kata braja, kapuk, wesi, sato, kayu, lemah sangar, landhak, guwaing wong, lemah miring,
pakiponing merak. Kata braja yang berarti senjata dalam bahasa
Indonesia merupakan simbol dari adanya sebuah serangan. Makna simbolik pada
kata kapuk, dan wesi yaitu hal yang sia-sia, kapuk
atau kapas yang mempunyai sifat ringan, sedangkan wesi atau besi bersifat keras, sehingga kapas yang jatuh di besi
tidak akan terasa atau tidak mempan. Sebenarnya kata senjata, binatang buas
memiliki makna simbolik niat jahat yang pada dasarnya bisa dicegah dengan
mengamalkan doa-doa dan meminta perlindungan kepada sang pencipta.
Lain halnya dengan kata kayu, lemah sangar, songing landhak, guwaing wong, lemah miring,
pakiponing merak, mereka semua
memiliki makna simbolik bagian organ perempuan bagi tempat berseminya janin. Kayu/pohon ajaib merupakan simbol rahim.
Rahim di dalam tubuh perempuan berukuran kecil, tetapi dapat menampung janin
sebesar itu dan memang bentuknya menyerupai pohon. Kata lemah sangar, songing landhak,
guwaing wong, lemah miring, pakiponing
merak, secara spesifik memiliki makna simbolik bagian organ intim
perempuan. Perempuan disimbolkan sebagai merak, sedangkan laki-laki disimbolkan
badak. Merak adalah burung yang cantik dan mempunyai keindahan pada bagian
tubuhnya, sedangkan badak memiliki cula.
Pada bait ketiga baris pertama, Warak mempunyai makna simbolik sel telur. Warak yang dalam bahasa Indonesia berarti batu dan sel telur
apabila diamati berbentuk seperti batu-batu kecil yang bulat. Arca mempunyai makna simbolik sperma,
karena arca sendiri berarti laut. Kata
ati memiliki makna simboik daya Nabi
Adam. Nabi adam sebagai manusia pertama dalam kepercayaan Islam, dayanya
dihadirkan sebagai hati. Kata utekku merupakan simbol dari kebijaksanaan dan
daya cipta kuat yang dimiliki Nabi Sis dan dalam kidung dinyatakan sebagai otak bagi manusia yang mengamalkan kidung. Pangucapan merupakan simbol
bercakap-cakap, yang dalam syiiir dilakukan oleh Nabi Musa dengan Allah. Ucapan
yang mengandung daya dan kekuatan luar biasa. Sunan Kalijaga tidak
semerta-merta menyebut nama nabi dan rasul Allah dalam kidung, tetapi menempatkan nabi sebagai perantara (wasilah) dalam kehidupan.
Pada bait yang keempat baris pertama, napasku merupakan simbol daya kekuatan Nabi
Isa. Dalam bahasa kidung Sunan, daya
Nabi Isa ini dibangkitkan sebagai napasnya orang yang membaca kidung. Nabi Isa
dalam Islam diyakini sebagai seorang yang mampu menghidupkan kembali orang
mati. Hal itu bisa terjadi karena Nabi Isa diperkuat dengan napas Roh Kudus
atau Jibril, Chodjim (2013:63). Jika napas berhenti total, maka matilah badan
jasmani. Berhenti total artinya berhenti yang tidak memungkinkan bergerak
kembali. Kekuatan napas mempengaruhi daya dan kekuatan jasmani. Pamiyarsaningwong merupakan simbol
kekuatan magis Nabi Yakup dan Daud. Nabi Daud dikenal sebagai nabi yang
memiliki suara merdu, siapapun yang mendengarakan akan terpesona, sedangkan
Nabi Yakup suka mendengarkan sasmita (suara ghoib) dari Tuhan. Dengan
mendengarkan suara dari pembaca kidung, seseorang yang akan berbuat jahat akan
terpesona (menjadi berbelas kasih). Nyawaku merupakan simbol dari kekuatan Nabi
Ibrahim yang kata orang Jawa memiliki nyawa rangkap karena setelah dibakar, ia
selamat. Kesakten merupakan simbol
daya Nabi Sulaiman yang menguasai angin dan bahasa binatang. Begitu pula dengan
rupeng yang merupakan simbol daya
Nabi Yusuf. Dengan membaca kidung, pancaran auranya berubah yang diibaratkan
selayaknya ketampanan Nabi Yusuf. Kata rambutku
merupakan simbol daya Nabi Idris, kuliting,
getih, daging merupakan simbol sahabat Nabi Muhammad (Ali, Abu Bakar, Umar,
dan Ustman).
Pada bait kelima juga ditemukan makna simbolik pada
kata sungsumingsun, angga, ususku,
jejantung, otot, netraku, pamuluku, pinayungan, sarira. Kata sungsumingsun simbol kehalusan/kelembutan
Siti Fatimah. Kata angga simbol
kekuatan jasmani Siti Aminah. Kata ususku
merupakan simbol kesabaran Nabi Ayub. Kata jejantung merupakan simbol
kehidupan. Jika detak jantung berhenti, maka seseorang akan mati, sehingga
jatung setiap harinya selalu berdenyut seperti halnya Nabi Ayub yang tidak
pernah putus asa dalam menunaikan tugas, dan tidak pernah membangkang dalam
mengemban amanat. Kata otot simbol
dari kekuatan Nabi Yunus. Kata netraku merupakan simbol kewaspadaan
disekeliling seperti halnya Nabi Muhammad yang tajam sorot matanya membuat ia
menyadari keadaan di sekelilingnya, dan yang terakhir kata pamuluku merupakan simbol perantara. Sudah dijelaskan di atas
bahwa Sunan Kalijaga tidak semerta-merta menyebut nama nabi dan rasul, tetapi
dengan daya/kekuatan yang dimilik setiap nabi dan rasul tersebut bisa menjadi
kekuatan bagi pembaca Kidung Rumekso Ing
Wengi.
DAFTAR
PUSTAKA
Aminuddin. 2010. Pengantar Apresiasi Karya Sastra.
Bandung: Sinar Baru Algensindo.
Chodjim,
Achmad. 2013. Sunan Kalijaga (Mistik dan
Makrifat). Jakarta: PT. SERAMBI ILMU SEMESTA.
Fuadhiyah,
Ucik. 2011. SIMBOL DAN MAKNA KEBANGSAAN
DALAM LIRIK LAGU-LAGU DOLANAN DI JAWA TENGAH DAN IMPLEMENTASINYA DALAM DUNIA
PENDIDIKAN. Lingua Jurnal Bahasa dan Sastra Volume VII. Semarang: IKIP Semarang Press.
Hadi Wijoyo, Eko. 2007. KAMUS BAHASA INDONESIA LENGKAP. Jakarta:
Palanta.
Purwadi.
2005. SUFISME SUNAN KALIJAGA (Menguak
Takbir Ilmu Sejati di Tanah Jawa). Yogyakarta: Sadasiva.
Tohaputra,
Ahmad. 2001. AL-QURAN DAN TERJEMAHAN (Transliterasi Arab-Latin) MODEL KANAN KIRI.
Semarang: CV. Asy-Syifa’.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar