Sabtu, 04 Mei 2013

MAKNA SIMBOLIK DALAM SYIIR GUNDUL-GUNDUL PACUL DAN KIDUNG RUMEKSO ING WENGI OLEH SUNAN KALIJAGA


Kata Pengantar

Asalammualaikum Wr.Wb
Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan nikmatnya kepada penulis untuk menyelesaikan makalah tentang Makna Simbolik Dalam Syiir Gundul-Gundul Pacul Dan Kidung Rumekso Ing Wengi Oleh Sunan Kalijaga. Tidak terlupakan penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada pihak-pihak yang telah membantu menyelesaikan makalah ini, antara lain:
1.      Wahyu Widodo, M. Hum sebagai dosen pengampu matakuliah.
2.      Teman-teman Kelas B Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia yang telah memberikan motivasi.
Penulis sadar bahwa makalah ini masih jauh dari kesempurnaan, oleh karena itu  kami mengharapkan saran dan kritiknya.
 Wasalammualaikum Wr.Wb   






Malang, 01 Mei 2013

       Intan Suryana

1.     Latar Belakang
Penelitian ini menggunakan objek tembang Gundul-gundul Pacul, dan Kidung Rumeksa Ing Wengi. Di dalam sastra Jawa terdapat puisi Jawa tradisional dan puisi Jawa modern. Puisi Jawa tradisional umumnya berbentuk tembang. Salah satu bentuk puisi Jawa tradisional adalah puisi yang hidup di kalangan anak-anak yang sering disebut dengan tembang dolanan. Tembang termasuk dalam genre sastra karena merupakan karya sastra utama dari puisi yang berisi curahan perasaan pribadi pengarang, susunan kata-kata sebuah tembang. Oleh karena itu, tembang bisa dikatakan sama dengan puisi, tetapi disajikan dengan nyanyian yang diiringi oleh alat musik dan termasuk dalam genre sastra imajinatif.
Setiap penciptanya pasti mempunyai tujuan tertentu yang ingin disampaikan kepada masyarakat sebagai pendengarnya melalui kata-kata yang terdapat dalam liriknya. Sebagaimana dengan tembang dolanan Gundul-Gundul Pacul. Walisongo atau Wali Sembilan merupakan pelopor masuknya Islam di Jawa. Dalam berdakwah mereka menggunakan berbagai macam media, salah satunya Sunan Kalijaga yang mengunakan sarana seni suara untuk menyampaikan wejangan kepada masyarakat Jawa. Seni suara ini misalnya tembang dan doa-doa. Melalui tembang-tembang yang telah diciptakan mampu menciptakan makna-makna yang mendalam. Salah satunya adalah makna simbolik yang akan menjadi teori dalam penelitian ini. Simbol dan makna adalah dua istilah berbeda, tetapi tidak dapat dipisahkan antara satu dan lainnya, keduanya memiliki keterkaitan, Fuadhiyah (2011:17).
Di dalam tembang dan kidung (doa) yang diciptakan Sunan Kalijaga memiliki simbol-simbol tertentu yang sangat menarik untuk diteliti makna yang terkandung didalamnya, karena simbol-simbol yang digunakan Sunan Kalijaga sangat dekat dengan masyarakat Jawa, sehingga makna simbolik dalam tembang dan kidung akan berpusat pada kehidupan masyarakat Jawa.
2.     Rumusan Masalah
1.      Apa yang dimaksud dengan makna simbolik?
2.      Bagaimanakah makna simbolik yang terdapat dalam Syiir Gundul-Gundul Pacul dan Kidung Rumekso Ing Wengi oleh Sunan Kalijaga?

3.     Data dan Teori
a.      Data yang diteliti

Data 1
Syiir Gundul-gundul Pacul
Gundul Gundul Pacul cul..Gembelengan
Nyunggi nyunggi wakul..kul Gembelengan
Wakul nggelimpang Segane dadi sak latar
Wakul nggelimpang Segane dadi sak latar

Terjemahan Lirik Lagu Gundul-gundul Pacul
Gundul Gundul Pacul cul. Gembelengan
Gundul ( kepala tanpa rambut ) pacul (cangkul) cul (dari kata ucul yang berarti lepas)
Gembelengan (sombong atau angkuh)
Nyunggi nyunggi wakul..kul Gembelengan
Nyunggi (membawa sesuatu di atas kepala) wakul ( tempat isi nasi) kul (penekanan dari kata wakul) Gembelengan (sombong atau angkuh)
Wakul nggelimpang segane dadi sak latar
Wakul (tempat isi nasi) nggelimpang (jatuh) segane (nasinya) dadi (jadi) sak latar (berantakan kemana-mana di tanah)
Wakul nggelimpang Segane dadi sak latar
Wakul (bakul) nggelimpang (jatuh) segane (nasinya) dadi (jadi) sak latar (berantaan kemana-mana di tanah)

Data 2
Syiir Kidung Rumeksa ing wengi
Ana kidung rumeksa ing wengi
Teguh hayu laputa ing lara
Luputa bilahi kabeh
Jim setan datan purun
Peneluhan tan ana wani
Miwah panggawe ala
Gunaning wong luput
Geni atemahan tirta
Maling adoh tan ana ngarah ing mami
Guna duduk pan sirna

Sakehing lara pan samya bali
Sakeh ngama pan sami miruda
Welas asih pandulune
Sakehing braja luput
Kadi kapuk tibaning wesi
Sakehing wisa tawa
Sato galak tutut
Kayu aeng lemah sangar
Songing landhak guwaning wong lemah miring
Myang pakiponing merak

Pagupakaning warak sakalir
Nadyan arca myang segara asat
Temahan rahayu kabeh
Apan sarira ayu
Ingideran kang widadari
Rineksa malaekat
Lan sagung pra rasul
Pinayungan ing Hyang Suksma
Ati Adam utekku baginda Esis
Pangucapku ya Musa

Napasku nabi Ngisa linuwih
Nabi Yakup pamiyarsaningwang
Dawud suwaraku mangke
Nabi brahim nyawaku
Nabi Sleman kasekten mami
Nabi Yusup rupeng wang
Edris ing rambutku
Bagindha Ngali kuliting wang
Abu Bakar getih daging Ngumar singgih
Balung baginda Ngusman

Sumsumingsun Patimah linuwih
Siti Aminah bayuning angga
Ayup ing ususku mangke
Nabi Nuh ing jejantung
Nabi Yunus ing otot mami
Netraku ya Muhamad
Pamuluku Rasul
Pinayungan Adam Kawa
Sampun pepak sakathahe para nabi
Dadya sarira tunggal

Terjemahan dalam bahasa indonesia:
Bait 1
Ada kidung rumekso ing wengi.
Yang menjadikan kuat selamat terbebas dari semua penyakit
Terbebas dari segala mala petaka.
Jin dan setan pun tidak mau
Segala jenis sihir tidak berani
Apalagi perbuatan jahat
Guna-guna tersingkir
Api menjadi air
Pencuri pun menjauh dariku
Segala bahaya akan lenyap
 Bait 2
Semua penyakit pulang ke tempat asalnya
Semua hama menyingkir
Dengan pandangan kasih
Semua senjata tidak mengena,
Bagai kapuk jatuh dari besi
Segenap racun menjadi tawar
Binatang buas menjadi jinak
Pohon ajaib, tanah angker
lubang landak, goa orang, tanah miring
Dan sarang merak

Bait 3
Kandangnya semua badak
Meskipun batu dan laut mongering
Pada akhirnya semua selamat
Sebab badannya selamat
Dikelilingi oleh bidadari
Yang dijaga oleh Malaikat
Dan semua rasul
Dalam lindungan Tuhan
Hatiku Adam dan otakku  Nabi Sis
Ucapanku ialah Nabi Musa

Bait 4
Napasku Nabi Isa yang sangat mulia
Nabi Ya’kub pendengaranku
Nanti Nabi Daud menjadi suaraku
Nabi Ibrahim sebagai nyawaku
Nabi Sulaiman menjadi kesaktianku
Nabi Yusup menjadi rupaku
Nabi Idris pada rambutku
Ali sebagai kulitku
Abu Bakar darahku dan Umar dagingku
Sedangkan Usman sebagai tulangku

Bait 5
Sumsumku adalah Fatimah yang sangat mulia
Siti Aminah sebagai kekuatan badanku
Nanti Nabi Ayub ada di dalam ususku
Nabi Nuh di dalam Jantungku
Nabi Yunus di dalam otakku
Mataku ialah Nabi Muhammad
Air mukaku rasul
Dalam lindungan Adam dan Hawa
Maka lengkaplah semua rasul
Yang menjadi satu badan

(Achmad Chodjim, 2013: 39)



b.      Teori yang digunakan
Menurut Aminuddin (2010:140) mengatakan bahwa simbol adalah apabila kata-kata itu mengandung makna ganda (makna konotatif), sehingga untuk memahaminya seseorang harus menafsirkannya (interpretatif) dengan melihat bagaimana hubungan makna kata tersebut dengan makna kata lainnya (analisis kontekstual), sekaligus berupaya menemukan fitur semantisnya lewat kaidah proyeksi , mengembalikan kata atau bentuk larik (kalimat) ke dalam bentuk yang lebih sederhana lewat pendekatan parafrastis.
Menurut Aminuddin (2010:41), Pendekatan Parafrasis adalah strategi pemahaman kandungan makna dalam satuan cita sastra dengan jalan mengungkapkan kembali gagasan yang disampaikan pengarang dengan menggunakan kata-kata maupun kalimat yang berbeda dengan kata-kata dan kalimat yang digunakan pengarangnya. Tujuan akhir dari penggunaan parafrasis itu adalah untuk menyederhanakan pemakaian kata atau kalimat seorang pengarang, sehingga pembaca lebih mudah memahami kandungan makna yang terdapat dalam suatu cipta sastra.
Prinsip dasar dari penerapan Pendekatann Parafratis pada hakikatnya berangkat dari pemikiran bahwa (1) gagasan yang sama dapat disampaikan lewat bentuk yang berbeda, (2) simbol-simbol yang bersifat konotatif dalam suatu cipta sastra dapat diganti dengan lambang atau bentuk lain yang tidak mengandung makna, (3) kalimat-kalimat atau baris dalam suatu cipta satra yang mengalami pelepasan dapat dikembalikan lagi kepada bentuk dasarnya, (4) pengungkapan kembali suatu gagasan yang sama dengan menggunakan media atau bentuk yang tidak sama oleh seorang pembaca akan mempertajam pemahaman gagasan yang diperoleh pembaca itu sendiri, (5) pengungkapan kembali suatu gagasan yang sama dengan menggunakan media atau bentuk yang tidak sama oleh seorang pembaca akan mempertajam pemahaman gagasan yang diperoleh pembaca itu sendiri.
Menurut Aminuddin (2010:140) membagi symbol menjadi tiga jenis, yaitu:
1.      Blank simbol, yaitu apabila simbol itu acuan maknanya bersifat konotatif, pembaca tidak perlu menafsirkannya karena acuan maknanya sudah bersifat umum.
2.      Natural simbol, yaitu apabila simbol itu memggunakan realitas alam.
3.      Private simbol, yaitu simbol itu secara khusus diciptakan dan digunakan penyairnya.
4.     Hipotesis Temuan
Makna Simbolik Pada Syiir Gundhul-Ghundul Pacul
Syiir Gundul-Gundul Pacul terdiri dari 22 kata dan hanya mempunyai 5 simbol yang terdiri atas 4 simbol berjenis Blank Simbol (gundhul, pacul, wakul, sega), dan 1 simbol berjenis Natural Simbol (latar) yang ditafsirkan sebagai berikut:
Pada baris pertama yang berbunyi Gundhul-gundul pacul cul gembelengan terdapat 1 simbol yaitu pada kata gundhul. Apabila diartikan makna tersebut tidak hanya merupakan kepala yang tidak memiliki rambut/mahkota, dengan kata lain dalam bahasa Indonesia disebut botak. Kepala merupakan bagian anggota tubuh manusia yang berada paling atas, sehingga makna kata gundhul tersebut merupakan simbol pemimpin yang telah kehilangan kehormatan atau kekuasaan. Kekuasaan disimbolkan dengan rambut/mahkota karena mahkota tersebut berada di kepala.
Achmad Chodjim (2013:342) mengatakan bahwa pacul yang berasal dari bahasa Jawa yang berarti cangkul dalam bahasa Indonesia mengungkapkan suatu makna yaitu mapak barang kang mecungul (meratakan tanah yang menggunduk), dan melalui pacul pula Sunan Kalijaga menyebarkan ajaran makrifat kepada  petani.
Sependapat dengan Achmad Chodjim bahwa kata pacul tidak hanya memiliki makna sebuah alat kerja yang digunakan untuk menggali tanah atau membalik tanah. Bagian bawah tanah yang subur dibalik dan ditempatkan dibagian atas tanah yang kurang subur, sedangkan bagian atas yang sudah gersang ditempatkan di bagian bawah. Sunan Kalijaga dengan sengaja menggunakan simbol-simbol yang sekiranya dapat diterima dikalangan petani yang pada masa munculnya tembang ini, bahwa masyarakatnya kebanyakan bekerja sebagai petani. Simbol pacul yang digunakan Sunan Kalijaga ini bermakna seperti fungsi pacul itu sendiri, yaitu bahwa hidup ini harus bisa menggali bagian dalam yang masih subur untuk menggantikan bagian lahiriah yang sudah gersang dan rawan penyakit ini. Apabila dikaitkan dengan kata gundhul pada baris pertama yang merupakan simbol pemimpin, yaitu bahwa sebagai seorang pemimpin harus menengok bagian dalam kehidupan (hubungan dengan Allah), dan bersedia melihat ke bawah (rakyatnya), sehingga sama-sama bisa hidup nyaman dan tentram dengan tetap mengingat ajaran dan syariat Islam. Apabila dihubungankan dengan kata gembelengan yang bermakna congak atau seenaknya sendiri, bahwa seorang pemimpin tidak boleh seenaknya sendiri,  seharusnya bijaksana dan merakyat. Namun, sebaliknya cul masih pada baris pertama yang berasal dari kata ucul, dalam bahasa Indonesia yang berarti lepas mempunyai sebuah wejangan (nasihat) Sunan Kalijaga bahwa apabila seseorang tidak memiliki jiwa pemimpin seperti pada makna yang terdapat dalam kata pacul, seorang pemimpin itu akan hancur kepemimpinannya dan tidak akan dipercaya oleh rakyatnya.
Hal itu menunjukkan bahwa pacul memiliki makna yang mendalam apabila dianalisis dari bagian-bagian yang mengikat. Bagian lingkaran di pangkal pacul, tempat salah satu ujung batang pegangan dipasakkan atau tangkai pacul disebut bawak. Bagi orang Jawa kata bawak bisa dimaknai sebagai obahing awak (geraknya badan) menurut Chodjim (2013:344). Gerak yang dimaksud di sini adalah menggerakkan badan secara teratur dengan cara berdzikir, pada zaman sekarang dikenal dengan sebutan senam. Dengan berdzikir jiwa akan merasa tenang dan pikiran yang sehat, dengan kata lain pandangan hidup akan semakin luas, fanatisme akan semakin lenyap. Fanatisme yang dimaksud adalah keyakinan atau kepercayaan yang berlebih-lebihan terhadap ajaran politik maupun agama menurut Wiyono (2007:160). Selain itu, dengan pikiran yang tenang akan bisa menghargai dan menghormati orang lain termasuk seorang yang dipimpin.
Menurut Chodjim (2013:345), menyatakan bahwa gagang atau pegangan pacul disebut doran oleh Sunan Kalijaga. Kata doran dapat dimaknai dongo marang pangeran (berdoa kepada Allah). Jadi, dengan simbol pacul, Sunan Kalijaga mengajari orang Jawa khususnya petani dan pimpinannya untuk pandai introspeksi dan mawas diri, berperilaku dengan syariat Islam dan tentunya ingat pada Allah, tidak menyombongkan diri.
Pada baris kedua yang berbunyi Nyunggi nyunggi wakul..kul Gembelengan terdapat makna simbolik yang berupa kata wakul. Kata wakul tidak semerta-merta dimaknai dengan tempat yang berisi nasi yang digunakan oleh orang Jawa. Akan tetapi, apabila dikaitkan dengan kata sebelumnya yaitu  nyunggi merupakan simbol sebagai tempat menampung aspirasi rakyat. Kata nyunggi berarti membawa sesuatu di atas kepala, sedangkan wakul biasanya digunakan orang Jawa. Begitu pula dikaitkan dengan kata segane pada baris ketiga yang disimbolkan dengan amanat rakyat, sedangkan latar merupakan tanah lapang yang biasanya menjadi halaman orang Jawa dan disimbolkan tempat yang mudah diketahui oleh orang. Namun, apabila dikaitkan dengan simbol-simbol sebelumnya, syiir Gundhul-gundhul pacul ini memiliki makna simbolik yang sangat mendalam yaitu bahwa seorang pemimpin harus hati-hati dalam membawa amanat rakyat dan tidak lupa dengan syariat Islam yang salah satunya tercermin dalam makna simbol pacul. Jika semua hal itu tidak terpenuhi (ucul/lepas), maka amanat itu akan sia-sia.
Purwadi (2005:158-159) mengatakan bahwa pacul memiliki arti ngipatek sing muncul (membuang apa yang timbul). Maksudnya, dalam menjalankan sesuatu yang baik, tentu timbul godaan-godaan, kesulitan-kesulitan. Godaan tersebut harus dibuang jauh-jauh.
Untuk tetap menjadi pemimpin yang disegani, Sunan Kalijaga ingin agar seorang pemimpin nantinya menjahui sifat congak dan takabur, sebab sifat-sifat itu akan menjatuhkan orang ke dalam jurang kehinaan seperti pada syiir wakul ngglimpang segane dadi sak latar.

Makna Simbolik Pada Syiir Kidung Rumekso Ing Wengi
Lain halnya dengan Syiir di atas, bahwa Kidung Rumekso Ing Wengi terdiri dari 167 kata dan hanya mempunyai 37 simbol yang terdiri atas 25 simbol berjenis Blank Simbol (wengi, jim, setan, geni, senjata, besi, ati, utek, napas, suwara, nyawa, kasekten, rupeng, rambut, kuliting, getih, daging, balung, sungsumingsun, angga, usus, jejantung, otot, netra, pamulu), dan 13 simbol berjenis Natural Simbol (tirta, hama, kapuk, sato, kayu, lemah sangar, songing landhak, guwaning wong, lemah miring, pakiponing merak, warak, arco) yang ditafsirkan sebagai berikut:
Menurut Chodjim (2013:42), menyatakan bahwa kidung dalam bahasa Jawa bisa bermakna sabda suci atau firman. Dengan demikian, kidung ini merupakan sabda suci yang dimaksudkan untuk menjaga diri pada malam hari. Menurut Wiyono (2007:382), menyatakan bahwa malam adalah waktu antara terbit dan terbenamnya matahari yang ditandai dengan suasana gelap. Nah, pada kata wengi yang terdapat pada bait pertama baris pertama merupakan sebuah simbol bahwa banyak kejahatan yang dilakukan pada malam hari. Siang hari juga terjadi kejahatan, tetapi tidak sebanyak pada malam hari. Adanya kejahatan tersebut sulit diketahui karena dilakukan secara tidak terang-terangan dan pada malam hari seorang penjahat lebih leluasa melakukan aksinya karena malam yang identik dengan kata gelap, sepi. Jika dihubungkan dengan kata kidung, maka Sunan Kalijaga bernasihat agar pada malam hari yang penuh dengan suasana yang gelap memungkinkan adanya banyak kejahatan dan seseorang diajarkan untuk berdoa agar terlindung dari marabahaya. Kejahatan yang dimaksud di sini bukan hanya kejahatan dari hasil perbuatan orang, tetapi juga menyangkut hal ghoib seperti sihir , teluh, santen dan lain sebagainya yang akan menyingkir secara sendirinya dengan doa yang suci.
Pada baris ke empat bait pertama juga terdapat simbol yaitu kata jim dan setan. Kata jim dan setan merupakan simbol keburukan atau kemungkaran yang menandakan bahwa adanya roh-roh jahat yang mengganggu keimanan seseorang. Sependapat dengan hal itu, orang Jawa mengatakan bahwa jin dan setan mulai datang pada saat pergantian waktu antara sore dan malam, tepatnya pada saat menjelang sholat Maghrib. Jika dihubungkan dengan kata kidung, maka simbol jim dan setan merupakan sebuah wejangan (nasihat) bahwa adanya roh-roh jahat dalam kehidupan manusia yang akan mengganggu, sehingga Sunan Kalijaga dalam tembangnya ingin mengingatkan dan menganjurkan kepada umat untuk berdoa agar terhindar dari kejahatan yang bersifat fisik maupun batiniah (ghoib) pada malam hari. Semua kejahatan itu akan menyingkir dengan sendirinya karena adanya doa-doa yang diucapkan.
Pada baris kedelapan pada bait pertama juga terdapat makna simbolik pada kata geni dan tirta. Dalam bahasa Indonesia, geni adalah api, sedangkan tirta adalah air, Chodjim (2013:39). Ini ada hubungannya dengan simbol jim dan setan. Jin dalam Al-Qur’an (Surat Ar-Rahman juz 27 ayat 15) menerangkan bahwa dan dia menciptakan jin dari nyala api. Air itu simbol dari kedamaian, dan kedamaian itu akan terwujud melaui doa-doa tertentu yang akan memadamkan api, maksudnya dengan doa yang diucapkan akan mengalahkan jin dan setan yang terbuat dari api yang menyala. Dalam kehidupan ini hanya dengan air yang ampuh untuk memadamkan api. Oleh karena itu, Sunan Kalijaga memunculkan simbol-sombol air dan api yang sebenarnya kata tersebut dekat dengan kehidupan masyarakat.
Lain halnya dengan bait pertama, bait kedua pada baris kedua juga ditemukan makna simbolik pada kata ngama yang berarti hama dalam bahasa Indonesia, Chodjim (2013:39). Menurut Wiyono (2007:209), kata hama artinya penyebab kerusakan, benih penyakit, dan hewan penggangu tanaman. Yang dimaksud dalam tembang Kidung Rumekso Ing Wengi bukan dalam artian seperti itu, melainkan ada hubungannya dengan simbol-simbol yang diuraikan di atas yaitu hama di sini dapat disimbolkan dengan penyakit. Penyakit yang dimaksud adalah godaan-godaan dari jin dan setan. Selain itu, juga terdapat makna simbolik lain diantaranya pada kata braja, kapuk, wesi, sato, kayu, lemah sangar, landhak, guwaing wong, lemah miring, pakiponing merak. Kata braja yang berarti senjata dalam bahasa Indonesia merupakan simbol dari adanya sebuah serangan. Makna simbolik pada kata kapuk, dan wesi yaitu hal yang sia-sia, kapuk atau kapas yang mempunyai sifat ringan, sedangkan wesi atau besi bersifat keras, sehingga kapas yang jatuh di besi tidak akan terasa atau tidak mempan. Sebenarnya kata senjata, binatang buas memiliki makna simbolik niat jahat yang pada dasarnya bisa dicegah dengan mengamalkan doa-doa dan meminta perlindungan kepada sang pencipta.
Lain halnya dengan kata kayu, lemah sangar, songing landhak, guwaing wong, lemah miring, pakiponing merak, mereka semua memiliki makna simbolik bagian organ perempuan bagi tempat berseminya janin. Kayu/pohon ajaib merupakan simbol rahim. Rahim di dalam tubuh perempuan berukuran kecil, tetapi dapat menampung janin sebesar itu dan memang bentuknya menyerupai pohon. Kata lemah sangar, songing landhak, guwaing wong, lemah miring, pakiponing merak, secara spesifik memiliki makna simbolik bagian organ intim perempuan. Perempuan disimbolkan sebagai merak, sedangkan laki-laki disimbolkan badak. Merak adalah burung yang cantik dan mempunyai keindahan pada bagian tubuhnya, sedangkan badak memiliki cula.
Pada bait ketiga baris pertama, Warak mempunyai makna simbolik sel telur. Warak yang dalam bahasa Indonesia berarti batu dan sel telur apabila diamati berbentuk seperti batu-batu kecil yang bulat. Arca mempunyai makna simbolik sperma, karena arca sendiri berarti laut. Kata ati memiliki makna simboik daya Nabi Adam. Nabi adam sebagai manusia pertama dalam kepercayaan Islam, dayanya dihadirkan sebagai hati. Kata utekku merupakan simbol dari kebijaksanaan dan daya cipta kuat yang dimiliki Nabi Sis dan dalam kidung dinyatakan sebagai otak bagi manusia yang mengamalkan kidung. Pangucapan merupakan simbol bercakap-cakap, yang dalam syiiir dilakukan oleh Nabi Musa dengan Allah. Ucapan yang mengandung daya dan kekuatan luar biasa. Sunan Kalijaga tidak semerta-merta menyebut nama nabi dan rasul Allah dalam kidung, tetapi menempatkan nabi sebagai perantara (wasilah) dalam kehidupan.
Pada bait yang keempat baris pertama, napasku merupakan simbol daya kekuatan Nabi Isa. Dalam bahasa kidung Sunan, daya Nabi Isa ini dibangkitkan sebagai napasnya orang yang membaca kidung. Nabi Isa dalam Islam diyakini sebagai seorang yang mampu menghidupkan kembali orang mati. Hal itu bisa terjadi karena Nabi Isa diperkuat dengan napas Roh Kudus atau Jibril, Chodjim (2013:63). Jika napas berhenti total, maka matilah badan jasmani. Berhenti total artinya berhenti yang tidak memungkinkan bergerak kembali. Kekuatan napas mempengaruhi daya dan kekuatan jasmani. Pamiyarsaningwong merupakan simbol kekuatan magis Nabi Yakup dan Daud. Nabi Daud dikenal sebagai nabi yang memiliki suara merdu, siapapun yang mendengarakan akan terpesona, sedangkan Nabi Yakup suka mendengarkan sasmita (suara ghoib) dari Tuhan. Dengan mendengarkan suara dari pembaca kidung, seseorang yang akan berbuat jahat akan terpesona (menjadi berbelas kasih). Nyawaku merupakan simbol dari kekuatan Nabi Ibrahim yang kata orang Jawa memiliki nyawa rangkap karena setelah dibakar, ia selamat. Kesakten merupakan simbol daya Nabi Sulaiman yang menguasai angin dan bahasa binatang. Begitu pula dengan rupeng yang merupakan simbol daya Nabi Yusuf. Dengan membaca kidung, pancaran auranya berubah yang diibaratkan selayaknya ketampanan Nabi Yusuf. Kata rambutku merupakan simbol daya Nabi Idris, kuliting, getih, daging merupakan simbol sahabat Nabi Muhammad (Ali, Abu Bakar, Umar, dan Ustman).
Pada bait kelima juga ditemukan makna simbolik pada kata sungsumingsun, angga, ususku, jejantung, otot, netraku, pamuluku, pinayungan, sarira. Kata sungsumingsun simbol kehalusan/kelembutan Siti Fatimah. Kata angga simbol kekuatan jasmani Siti Aminah. Kata ususku merupakan simbol kesabaran Nabi Ayub. Kata  jejantung merupakan simbol kehidupan. Jika detak jantung berhenti, maka seseorang akan mati, sehingga jatung setiap harinya selalu berdenyut seperti halnya Nabi Ayub yang tidak pernah putus asa dalam menunaikan tugas, dan tidak pernah membangkang dalam mengemban amanat. Kata otot simbol dari kekuatan Nabi Yunus. Kata netraku merupakan simbol kewaspadaan disekeliling seperti halnya Nabi Muhammad yang tajam sorot matanya membuat ia menyadari keadaan di sekelilingnya, dan yang terakhir kata pamuluku merupakan simbol perantara. Sudah dijelaskan di atas bahwa Sunan Kalijaga tidak semerta-merta menyebut nama nabi dan rasul, tetapi dengan daya/kekuatan yang dimilik setiap nabi dan rasul tersebut bisa menjadi kekuatan bagi pembaca Kidung Rumekso Ing Wengi.





DAFTAR PUSTAKA

Aminuddin. 2010. Pengantar Apresiasi Karya Sastra. Bandung: Sinar Baru Algensindo.
Chodjim, Achmad. 2013. Sunan Kalijaga (Mistik dan Makrifat). Jakarta: PT. SERAMBI ILMU SEMESTA.
Fuadhiyah, Ucik. 2011. SIMBOL DAN MAKNA KEBANGSAAN DALAM LIRIK LAGU-LAGU DOLANAN DI JAWA TENGAH DAN IMPLEMENTASINYA DALAM DUNIA PENDIDIKAN. Lingua Jurnal Bahasa dan Sastra Volume VII. Semarang: IKIP Semarang Press.
Hadi Wijoyo, Eko. 2007. KAMUS BAHASA INDONESIA LENGKAP. Jakarta: Palanta.
Purwadi. 2005. SUFISME SUNAN KALIJAGA (Menguak Takbir Ilmu Sejati di Tanah Jawa). Yogyakarta: Sadasiva.
Tohaputra, Ahmad. 2001. AL-QURAN DAN TERJEMAHAN  (Transliterasi Arab-Latin) MODEL KANAN KIRI. Semarang: CV. Asy-Syifa’.





Tidak ada komentar:

Posting Komentar