Jumat, 12 April 2013

CINTAKU KANDAS DI PAPUA


“ kurang dua hari lagi ” gumamku lirih. Ku pandangi kalender yang tertempel di dindingku. Kulihat tanggal spesial yang kulingkari menggunakan spidol warna merah. Hari Sabtu tanggal 9 September. Kulihat lagi kalender bulan – bulan yang telah berlalu pada tahun ini. Dari kalender bulan Juni hingga Agustus kulihat banyak lingkaran – lingkaran spidol warna merah tepat pada tanggal yang bertepatan dengan  hari Sabtu. Hari Sabtu memang hari yang spesial bagiku. Bukan karena hari Sabtu adalah hari yang tepat buat jalan berdua sama pacar. Bukan pula karena hari Sabtu merupakan hari yang tepat buat begadang sampai pagi. Tapi karena hanya pada hari Sabtu lah aku bisa mendengar suara dari kekasihku tercinta. Karena pada hari sabtulah aku bisa meluangkan beberapa jam hanya untuk bertelfon dengan kekasih ku tercinta. Ya , susah memang punya pacar seorang prajurit Negara. Apalagi kalau mereka belum setahun mengabdi menjadi seorang prajurit Negara.
“ Selly…..cepat bersihkan rumahnya. Kamu tahu ini sudah jam setengah lima sore tapi kamu masih saja berdiam diri di dalam kamar! ” . Suara teriakan ibuku tergiang – ngiang di kepalaku. Menyadarkan aku bahwa sudah dari jam tiga tadi aku belum sempat keluar kamar, bahkan hanya untuk pergi ke kamar kecil.
  Iyaaa buu , sebentar lagi Selly bersih – bersih rumah kok ” , jawabku dengan suara agak malas. Dengan langkah yang berat aku pergi meninggalkan kamarku dan mengambil sebuah sapu untuk mulai membersihkan rumah.
“ Bersihkan tuh rumah sampai bersih, jangan hanya ngelamunin prajurit Negara yang nggak jelas gitu ” . Suara ocehan kakak perempuanku membuat aku geram. Telingaku rasanya menganga menahan amarah yang terpendam.
  Sialan tuh orang , bisanya cuma ngolok – ngolok saja. Bantu aku bersih – bersih rumah kek, nggak cuma bisa ngomong saja. Talk more Do less ! ” , batinku dalam hati. Dengan emosi yang tertahan – tahan aku menyapu seluruh area rumahku yang penuh dengan debu. Angin sore berhembus kencang setiap kali aku menyapu halaman rumahku. Sial !
~*****~
Sudah sejak sore tadi aku sering mengawasi ponselku , aku berharap telfonku segera berdering  dan tertulis nama “ Wo de Airen ” di panggilan masukku. “ Wo de Airen ” adalah bahasa Mandarin yang berarti kekasihku. Hari ini adalah hari Sabtu, hari yang sangat kutunggu – tunggu dalam setiap minggu. Semua pekerjaan rumahku sudah aku selesaikan sejak jam tiga tadi. Kakak perempuanku yang biasanya marah – marah karena aku malas membersihkan rumah sudah tidak bisa memarahiku lagi. Dia hanya malas melihat tingkah laku ku yang sedari tadi tidak bisa lepas dari benda elektronik bernama ponsel. Terkadang ia kesal melihat aku senyum – senyum sendiri dihadapan ponselku. Melihat aku berimajinasi  tentang saat – saat indah saat aku bercengkrama dengan kekasihku. Ah tapi aku tak peduli. “ Biarlah orang berkata apa , yang penting aku bahagia ” , itu adalah prinsip kokohku yang selalu aku letakkan di dasar hatiku.
Baby you light up my world like nobody else. The way that you flip your hair gets me overwhelmed. But when you smile at the ground it aint hard to tell. You don't know Oh Oh. You don't know you're beautiful ”.  Alunan lagu dari One Direction memberi  tanda bahwa ada sebuah panggilan masuk. Dengan tergopoh – gopoh kuambil ponsel yang aku letakkan di meja belajar kamarku. Kubiarkan novel “ Memoirs of Geisha” ku tergeletak begitu saja di ranjangku. Segala perhatianku ku alihkan pada pangilan masuk di ponselku. Novel “ Memoirs of Geisha”  yang sedari tadi kubaca demi membunuh sang waktu tak dapat mencuri perhatianku lagi. Kulihat sebuah nama “ Wo de Airen ” di panggilan masuk. Tanpa banyak waktu segera ku angkat ponselku yang berdering.
“ Hallo? Andi ?”
“ Iya Selly . Bagaimana kabarnya seminggu ini? ”
“ Baik kok. Bagaimana kabar kamu? ” tanyaku kepada kekasihku yang sudah empat bulan tak bertemu.
 Baik juga. Kamu sudah makan? ” . Andi bertanya kepadaku. Suara lembut Andi membuat hatiku luluh. Ingin rasanya aku melonjak – lonjak diatas kasurku yang empuk. Hal inilah yang selalu aku inginkan setiap kali ditelfon sama Andi. Aku bahagia walau hanya mendengar suaranya. Meski sudah empat bulan kita tak bertemu tapi aku percaya bahwa selama kita masih melihat bulan bersinar dilangit yang sama , sejauh apapun jarak yang memisahkan, pasti terasa dekat. Karena kita masih berpijak pada bumi yang sama dan melihat bulan yang sama.
“ Sell , tanggal 30 September ini aku dapat libur beberapa hari sebelum aku dipindah tugaskan. Aku ingin pulang dan bertemu sama kamu. Kamu bisa kan meluangkan beberapa jam waktu kamu demi bertemu aku? ”. Kali ini aku bahkan tidak dapat mempercayai apa yang baru saja aku dengarkan. Ah aku mungkin sedang berhalusinasi, pikirku. Nggak mungkin pada bulan ini Andi pergi menemui aku. Tapi keraguanku pupus saat Andi mengulang lagi pertanyaanya.
“ Sell bagaimana ? Bulan ini aku pulang”
“ Sungguh? Kamu sungguh tidak membohongiku? Kamu yakin pada bulan ini kamu pulang?”
“ Iya, ada sesuatu yang ingin aku bicarakan dengan kamu. Sesuatu itu sangat penting sehingga tidak memungkinkan aku untuk berbicara melalui telfon. Kamu bisa kan meluangkan sedikit waktumu untuk berbicara denganku? ”
“ Iya, bisa kok. Dimana kita bisa bertemu? ”. Tanpa perlu berfikir lama aku menyanggupi permintaan Andi. Rasanya perasaanku sudah membuncah pada ujungnya. Aku ingin berteriak, ingin melonjak –lonjak , bahkan ingin berlari mengitari halaman rumahku. Aku bagaikan petasan yang ingin meledak. Aku tak sanggup, tak sanggup menahan rasa bahagia yang terlalu penuh menyumbat dadaku.
Seusai telfon , aku segera berlari kearah kalender di dalam kamarku. Ku ambil spidol berwarna merah dan mulai mencoret – coret kalenderku . Ku lingkari tanggal 31 pada bulan ini. Pada tanggal itu aku dapat bertemu Andi di kafe Chokoreto. Kafe itu hanya berjarak beberapa langkah dari SMA ku dulu . Di dalam kafe itu pertama kalinya aku dan Andi dipertemukan oleh Tuhan.
~****~
Hari yang kunanti – nanti tiba juga, sedari tadi pagi aku bingung memilih baju apa yang akan kukenakan saat berjumpa dengan Andi. Aku ingin tampil menawan dihadapannya. Andi yang selalu didinaskan di daerah  kehutanan  pasti sudah haus ingin melihat wanita cantik. Aku tidak ingin menimbulkan rasa kecewa dihatinya pada sore nanti. Sudah dari kemarin aku terus berkomunikasi dengan Andi. Dua hari ini Andi tidak perlu takut untuk menelfonku. Tidak perlu lagi menunggu izin dari seniornya. Hari ini waktu terasa cepat berlalu, jam sudah berdenting tiga kali, menandakan sudah pukul tiga sore.  Sedari tadi  aku bagaikan penyihir dalam dongeng putri Salju. Penyihir yang selalu ingin bertanya pada cermin ajaib tentang siapa wanita paling cantik di dunia. Berkali – kali aku berkaca pada cermin apakah penampilanku sudah maksimal. Tapi sayang cermin tidak bisa menjawab pertanyaan bodohku. Cermin hanya diam. Mematung. Dengan tekad dan rasa kangen yang menggebu – gebu, aku pergi meninggalkan  rumahku. Beberapa menit kemudian aku sudah melaju diatas jalan raya dengan menggunakan motorku yang berwarna ungu. Berharap Andi sudah menungguku di dalam kafe Chokoreto.
~****~
Hawa dingin menyibak tubuhku saat pertama aku membuka pintu kafe Chokoreto. Udara dingin yang dikeluarkan oleh AC di dalam kafe tidak dapat mengalahkan dinginnya hatiku yang semakin berdegup kencang. Disudut utara kafe kulihat sesorang dengan raut muka yang sudah tak asing lagi bagiku. Dia masih tetap sama. Masih saja menawan. Seperti saat terakhir kali kita bertemu. Potongan rambutnya yang khas seorang prajurit ditambah dengan postur tubuhnya yang tinggi gagah membuat aku ingin bertekuk lutut dihadapannya bak seorang perampok yang tertangkap polisi. Aku berjalan dengan gugup menuju ke arahnya.
“ Hai ! Sudah empat bulan lebih tak bertemu ” . Aku menyapa Andi dengan suara agak gugup.
Andi hanya tersenyum tanapa membalas sapaanku. Sejurus kemudian dia menarik tanganku dan merengkuh tubuhku yang kecil ke dalam pelukannya. Hangat. Kehangatan kurasakan saat aku berada dalam pelukannya. Pelukan yang hangat  pada dadanya yang bidang. Direngkuhnya aku sejenak. Kudengar samar- samar ia mengucap kata kangen kepadaku. Bahkan aku sempat lupa bahwa saat itu kita lagi berada di dalam sebuah kafe umum.
“ Sell aku ingin berbicara tentang suatu hal dengan kamu, tapi aku harap kamu sanggup mendengarkan ini. Percayalah bahwa ini memang rencana Tuhan yang telah diatur untuk kita ”. Andi berkata dengan nada serius kepadaku. Aku bingung. Otakku mulai menerka - nerka perkataan apa yang ingin Andi ucapkan kepadaku. Otakku berimajinasi terlalu tinggi.
“Mungkin saja Andi ingin melamar aku hari ini dan pada saat aku lulus kuliah nanti ia akan menikahiku” , batinku dalam hati. Aku tersenyum – senyum membayangkan ada sebuah cincin di dalam segelas kopi yang telah aku pesan tadi. Andi yang menyadari sikapku segera memegang tanganku dan berusaha menenangkanku dengan tatapannya yang serius.
“ Sell, sebelumnya aku minta maaf atas segala kesalahan yang telah aku perbuat selama ini kepada kamu. Aku minta maaf telah membuat kamu menunggu aku dan tidak membiarkanmu berpaling pada laki – laki lain selain aku. Terima kasih kamu sudah mencintaiku. Terima kasih atas cinta yang telah kamu berikan kepada aku. Tapi maaf, aku tidak bisa melanjutkan kisah cinta ini dengan kamu. Orangtua ku telah memilih calon istri untukku. Aku tidak bisa berbuat apa  -apa lagi. Selama ini orangtuaku sudah bersusah payah membesarkan dan merawat aku. Sebagai anak yang berbakti aku tidak boleh egois. Aku harus menurut sama keinginan mereka. Percayalah hingga detik ini aku masih sayang sama kamu. Tapi maaf,aku tidak bisa mempertahankan kisah kita. Biarlah semuanya berakhir sampai disini. Mungkin Tuhan yang telah mengatur ini semua. Aku harap kamu dapat menemukan laki – laki yang lebih baik dari aku dan aku harap aku bisa hidup tanpa bayang – bayang kamu lagi di hatiku ”.
Aku tak percaya dengan apa yang baru saja aku dengar. Aku berfikir mungkin pendengaranku yang salah sehingga aku tidak bisa membedakan mana yang nyata dan mana yang halusinasiku. Sejenak kemudian mataku menangkap sosok Andi yang perlahan menjauh dari meja tempatku berada. Apakah mataku mulai rabun juga sehingga aku tidak dapat secara jelas melihat keadaan ? pikirku.
“Mbak, ini kopi pesanannya ”.  Suara pelayan kafe Chokoreto segera menyadarkanku. Kini aku mulai sadar bahwa apa yang baru saja terjadi adalah nyata. Kulihat kursi di depanku telah kosong. Tak ada sosok seorang Andi di depanku. Dia benar – benar telah pergi mennggalkan aku. Otakku rasanya penuh. Bingung. Impian – impian yang selama ini kubangun serasa musnah diterpa badai. Aku tak dapat berkata – kata lagi. Hanya air mata yang perlahan – lahan jatuh membasahi pipiku.
~****~
Sudah dua hari ini aku malas makan. Malas untuk melakukan apapun. Aku lebih suka berdiam diri didalam kamar sambil mendengarkan lagu – lagu sedih. Lagu penambah kesedihan orang yang sedang patah hati. Kakak ku yang biasanya cerewet dan selalu memarahiku tiap aku malas tampaknya mengerti apa yang kini aku rasakan. Kini ia yang untuk sementara menggantikan tugasku dalam membersihkan rumah. Aku sebenarnya malas dengan keadaanku yang seperti ini. Aku ingin terus hidup normal dan meninggalkan kisah masa lalu dengan Andi. Aku lelah dan sampai pada titik jenuhku. Aku berlari pergi meninggalkan kamarku dan pergi meluncur kerumah Andi dengan sepeda motor unguku. Aku tak peduli cuaca saat itu yang mulai gerimis. Kudengar suara – suara gerimis jatuh menerpa helmku. Aku tak peduli. Yang aku inginkan saat ini hanya segera sampai dirumah Andi dan berharap ia ada dirumahnya. Aku ingin mendengar sekali lagi penjelasan darinya  tentang berakhirnya hubungan kami.
Beberapa kali kuketuk pintu rumah Andi, tapi tak kudengar ada sahutan dari dalam. Aku kecewa dan memutuskan untuk menunggu di kursi teras rumahnya. Namun, belum sempat aku merelaksasikan tubuhku dikursi kudengar ada seseorang membuka pintu rumah Andi.
“ Oh ternyata Selly. Ada apa Sell? ”. Suara seorang wanita mengagetkanku. Dia adalah kakak perempuan dari Andi. Dulu semenjak aku dan Andi masih berpacaran, Andi mengenalkannya kepadaku.
“ Oh nggak kak, Andinya ada dirumah ? Aku ingin berbicara sebentar dengan Andi ”.
“ Ah sayang sekali Sell, Andi tadi pagi baru saja pamit untuk pergi ke markasnya. Dia sebentar lagi akan dipindah tugaskan ”. Jujur aku sangat kecewa menerima kenyataan ini. Aku juga sempat menyesali diriku sendiri yang datang terlambat kerumahnya. “ Mengapa tidak sedari tadi pagi saja aku datang kerumahnya! ” , batinku.
“ kak, maaf kalau aku lancang. Tapi dengan siapakah Andi akan dijodohkan ? Apa kakak mengenal perempuan itu? ”. Dengan rasa sakit hati yang terpendam aku berusaha menguatkan batinku untuk bertanya kepada kakak perempuan Andi.
“ Dijodohkan ? Selly asal kamu tahu saja, sebenarnya hingga detik ini Andi masih sangat mencintai kamu. Sebenarnya ia tidak dijodohkan dengan siapa pun. Di dalam hatinya hanya ada kamu. Kamu seorang. Andi sebentar lagi akan dipindah tugaskan di Papua. Disana ia akan menetap beberapa tahun. Kamu tahu kan kalau di Papua sering terjadi konflik ? Jadi Andi tidak ingin kamu sering khawatir tentang dia. Andi tidak ingin menyakiti perasaan kamu. Andi tidak ingin membuat kamu menunggu seorang prajurit Negara yang nggak jelas nasibnya. Dia takut apakah ia dapat kembali untuk  memenuhi janjinya menikahi kamu atau ia akan meninggalkan luka dalam di hati kamu karena ia hanya dapat mengirimkan sebuah surat perpisahan yang berisi tentang kabar kematiannya karena gagal dalam berperang ”. Aku bingung, aku seakan tidak mempercayai apa yang baru saja aku dengarkan. Sesaat aku berfikir bahwa semua yang baru saja dikatakan kakak perempuan Andi hanyalah omong kosong belaka. Tapi dari jarak yang tidak begitu jauh ini, aku bisa melihat butir – butir air mata jatuh membasahi pipi kakak perempuan Andi. Ia terisak. Aku tercekat. Aku masih bingung membedakan apakah ini nyata atau hanya omong kosong belaka. Dengan penuh rasa kebingungan aku berusaha bertanya lagi kepada kakak perempuannya.
“ Jadi semua yang kakak katakan ini adalah kenyataan? Kakak tidak berbohong kepadaku kan ? ”
“ Sumpah Selly, maafkan kakak yang terlambat memberitahu kamu. Sebenarnya Andi juga tidak mengijinkan kakak untuk memberitahukan ini semua kepada kamu. Tapi kakak sungguh tidak tega melihat kamu. Menurutku sungguh tidak adil jika kamu tidak mengetahui kenyataan yang sebenarnya ”
Kali ini aku menyadari kenyataan yang sebenarnya. Ada rasa senang bercampur dengan kesedihan dihatiku. Aku senang mengetahui kenyataan bahwa Andi masih mencintaiku. Namun aku juga sedih,  aku sedih melihat kenyataan bahwa Papua yang memisahkan kita. Jarak antara Papua dan rumahku sungguh terlalu jauh bagiku. Papua merupakan suatu provinsi yang untuk saat ini tidak dapat aku tuju. Mengingat sekarang aku masih berumur 18 tahun dan masih tinggal bersama kedua orangtuaku. Tapi suatu saat nanti dengan semakin dewasanya aku, aku berharap dapat mengejar cintaku ke Papua. Disana aku berharap bahwa Andi masih menjaga hatinya untukku.

                                    Oleh : Rafita Apriliana

Tidak ada komentar:

Posting Komentar