Malam
itu ku dengar pertengkaran antara mama dan papa. Lagi-lagi seperti itu. Bukan
main rasa sakit yang aku rasakan melihat orang tuaku tak pernah bisa akur.
Celoteh tetanggapun mengiris-iris kupingku.
Saat itu aku berusia 19 tahun. Namaku Mawar. Aku kuliah di Universitas
Gajah Mada. Orang tuaku selalu bilang kalau aku sudah dewasa . Dan aku seharusnya berpikir lebih dewasa dalam
menghadapi sebuah masalah. Tapi itu semua omong kosong buatku. Mama dan papa
selalu bilang begitu. Tapi kelakukan mereka ibarat kucing dan tikus . Dan
menurutku pikiran mereka sungguh kekanak-kanakan.
“Aku
ingin cerai Pa. Terserah apa katamu, pokoknya aku ingin cerai”
“Kamu
itu bisanya minta cerai, cerai, dan cerai. Tanpa berpikir panjang”
“Papa
egois, tak pernah mikirin perasaan mama”
“Kamu
yang egois, tak penah tahu akan kebutuhan laki-laki. Mana kewajibanmu sebagai
seorang istri. Kamu selalu sibuk dengan urusanmu sendiri. Itukah yang dinamakan
istri yang baik?”
“Aku
punya karir sendiri dan itu tak bisa aku tinggalkan. Mana pengertianmu sebagai
seorang suami pa?”
“Kurangkah
kekayaan, hidup mewah, yang selama ini aku berikan padamu dan Mawar?”
“Itu
yang hanya bisa kamu katakan. Aku punya penghasilan sendiri. Dan aku tidak
butuh uangmu. Aku hanya ingin kamu mengerti akan karirku. Itu saja, apa sich
susahnya!!!”
“Tugas
seorang istri adalah mengurus anak. Melayani suami. Tapi apa, apa pernah kamu
seperti itu? Jangan salahkan aku kalau meniduri perempuan lain yang bisa
memuaskan kebutuhan batinku”
“Terserahlah
papa mau bicara apa, aku tak perduli. Ceraikan aku pa”
“Kamu
tidak mikirin bagaimana perasaan Mawar jika ia tahu kalau mama dan papanya
bercerai gara-gara masalah seperti ini”
“Mawar
lebih baik tidak punya papa dari pada punya papa yang suka meniduri perempuan
lain. Kalau kita sudah cerai, Mawar akan tinggal bersamaku”
“Tidak
bisa. Ok aku setuju kita CERAI, tapi Mawar akan aku bawa. Mawar tidak pantas
tinggal bersama ibu macam kamu. Ibu yang tidak bisa memberikan kasih sayang.
Ibu yang tidak bisa memberikan perhatian kepada anaknya”
“OHHHHHHHHHHHHHHHH,
begitu rupanya. Papa pikir kelakuan papa sangat benar sebagai seorang ayah.
Ayah yang suka gonta-ganti pasangan. Dan tidak perduli sama sekali dengan
perasaan istrinya”
Setelah
perdebatan panjang itu, mereka pergi
entah ke mana. Sejak malam itu mereka tak pernah tidur satu ranjang.
Mama tidur di kamarnya sendiri. Dan papa tidur di ruang khusus untuk tamu.
Mama
dan papa selalu sibuk dengan ususannya sendiri. Jarang aku melihat mereka
berada di rumah. Apalagi duduk berdua dan kumpul denganku. Itu hanya sebuah
mimpi belaka bagiku karna mama dan papaku bukan seperti orang tua lain yang
selalu memperhatikan anaknya. Untung saja aku ini anak satu-satunya. Dan hanya
aku yang menjadi korban keegoisan mereka. Entah apa jadinya jika aku mempunyai
saudara. Mungkin saja aku akan pergi diam-diam bersama saudaraku untuk mencari
sosok orang tua yang kami inginkkan. Orang tua yang benar-benar sayang anaknya.
Aku
bisa dikatakan anak yang paling beruntung. Hidup mewah. Apa yang aku minta
selalu dituruti. Sudah jelas jika suatu saat orang tuaku mati, warisannya akan
jatuh ke tangan ku. Bukan maksudku untuk menyumpahi, tapi lebih
berandai-andai. Hidupku serba
berkecukupan. Tapi aku sebenarnya orang yang paling miskin se dunia. Itulah
yang sering aku katakan pada si mbok Inem dan pak Weryo suaminya. Mereka yang
selalu ada buatku. Bahkan mereka yang hadir di saat aku ada acara di kampus.
Padahal mereka hanya pembantu di rumah. Sedangkan papa dan mama hanya bertanya
sudahkah habis uangku. Jika sudah, aku bisa meminta ke kantor. Sama halnya
dengan papa.
“Pa
minggu depan ada seminar bagus di kampusku. Papa dan mama hadir ya J”
“Papa
sibuk sayang. Coba sana tanya mamamu?”
“Mama
minggu depan ada arisan di kantor cabang. Papamu hanya sibuk main-main
perempuan, pasti bica dicancel kesibukkannya”
“Gak
usah dengerin apa kata mamamu. Ya udah nanti sama si mbok dan pak Weryo saja
ya. Maafkan papa sayang, mungkin lain kali papa usahakan”
“Itu
tuh yang hanya bisa dikatakan papamu. Tapi kali ini papamu benar Mawar. Untuk
sementara kamu sama mereka saja. Mama juga minta maaf”
“Kalian
berdua memang jahat. Benar-benar jahat. Tak tahu apa yang aku rasakan. Pa, Ma,
aku ingin kalian lebih memperhatikan aku. Aku tidak Cuma butuh kemewahan. Aku
butuh waktu papa dan mama. Hanya itu Pa, ma”
“Sayang,
mama buru-buru. Nanti malam saja disambung lagi”
“Papa
juga ada meeting dengan klien yang
penting. Papa berangkat ya”
Itulah
mama papa ku yang tidak pernah mendengarkan apa yang aku inginkan. Aku merasa
hidup seperti ini tak ada gunanya. Hidup tanpa kasih sayang orang tua. Hidup
tanpa perhatian orang tua.
“Mbok
aku tak tahan menghadapi semua ini”
“Sabar
cuah ayu, pasti dibalik ini semua ada hikmahnya”
“Si
mbok dan pak Weryo akan selalu menemani cuah ayu”
Si
mbok memang paling jago menenangkan pikiranku. Apa yang dikatakan si mbok
menancap kuat dalam memoriu. Aku nyaman sekali ketika si mbok memelukku.
Menciumi rambutku. Dan terkadang memegang pipiku. Aku sangat menyayangi si
mbok. Ya Tuhan andai saja mama dan papa bisa seperti si mbok dan suaminya.
Pasti hidupku akan terasa menyenangkan. Pasti aku akan menemukan yang namanya
keluarga harmonis, seperti yang dikatakan temannku.
Aku
tahu ini hanya karna jabatan dan kedudukan, bahkan hanya gensi saja. Aku ingin
semua kekayaan yang ada pada keluargaku lenap. Aku ingin hidup miskin tapi kaya
akan kasih sayang dan perhatian. Aku ingin papa bangkrut. Aku ingin karirnya
mama hancur. Orang boleh menganggapku sebagai anak yang tidak tahu diri.
Mendoakan papa dan mamanya seperti itu. Tapi memang hanya itu yang bisa aku
katakan. Aku sungguh muak.
Suatu
ketika saat mama pulang dan istirahat di kamarnya. Aku meminta mama untuk
sejenak mendengar apa yang aku katakan. Dan kali itu mama mau mendengarkan apa
yang ingin aku katakan. Tapi saat itu mama hanya memberi waktu 15 menit. Buatku
itu sudah cukup dan jarang kami lakukan.
“Mawar
kamu sudah dewasa, itu kan kata mama. Ma apa aku ini anak kandungmu?”
“Iya
dunk sayang, kamu ya jelas anak mama dan papa”
“Tapi
kenapa mama dan papa selalu bertengkar tiap hari. Bahkan jarang pulang”
“Ini
kesalahan papamu, masak disaat mama lagi cape-capeknya disuruh melayani dia.
Kamu kan tahu sendiri mama banyak kerjaan”
“Tapi
itukan kewajiban mama sebagai istri”
“Kamu
itu sama saja dengan papa bisanya hanya menyalahkan mama”
“Papa
kan sudah bekerja. Alangkah baiknya mama di rumah saja. Memperhatikan aku dan
mengurus rumah”
“Di
rumah kan sudah ada si mbok dan pak Weryo yang jagain kamu Mawar”
“Orang
tuaku mama atau si mbok dan pak Weryo? Aku butuh mama”
“Sudah-sudah,
mama ngantuk, mama capek. Tinggalin mama sendiri, mama butuh istirahat”
“JAHATTTTTTTTTTTTTTTTTTTTTTTTTTTTTTT”
Betapa
marahnya aku mendengar kata-kata mama yang menyakitkan hatiku. Menyayat-nyayat
perasaanku. Aku berlari menuju kamarku dan mebuang tubuhku ke ranjang. Aku
menangis sekencang-kencangnya. Ku lemparkan semua yang ada di kamarku. Aku
pecahkan kaca besar di almari. Tanganku berdarah, tapi sakitnya masih melebihi
sakit hatiku sama orang tuaku. Mendengar suara teriakanku, akhirnya si mbok
datang dan memelukku, mengusapair mataku, dan menangis ketika melihat wajahku.
Si mbok juga bersedia mengobati tanganku yang kena pecahan kaca. Meniupi
tanganku dengan kehangatan seorang ibu. Sangat terlihat kalau si mbok
mencemaskanku.
Tak
lama kemudian papa pulang. Pak Weryo mengadu tentang kelakuanku. Tapi papa
hanya tersenyum dan berkata itu hanya emosi dan kekesalan Mawar sesaat.
“Sudah
Yo biarkan saja, toh nanti dia akan membaik sendiri. Kemana mamanya?”
“Sudah
tidur tuan. Tadi non Mawar mengamuk setelah
keluar dari kamar nyonya”
“Sudah
lanjutkan pekerjaanmu, aku akan memberi pelajaran pada istriku”
“Baik
tuan”
Ku
lihat papa menuju kamar mama dan membuka pintu kamar dengan keras. Aku, si
mbok, dan pak Weryo ikut mengintip dari tangga sebelah kamar mama. Ku dengar
dan ku lihat mereka saling menyalahkan satu sama lain. Papa memukul mama hingga
mulut mama berdarah. Mama berteriak dan juga memukul balik papa. Aku hanya bisa
diam. Aku ingin memisah mereka, tapi lagi-lagi si mbok yang melarangku. Tak lama
kemudian mereka saling pandang, saling berdiam diri. Mereka pun merebahkan
tubuhnya ke ranjang. Mereka menatap atap rumah kami, seolah-olah ada titik temu
di sana.
“Cukup
ini semua harus berakhir” kata mama pada papa”
“Aku
juga berpikir demikian. Kasihan Mawar menjadi korban keegoisan kita”
“Apa
yang akan kamu lakukan selanjutnya. Setujuhkah kamu dengan gugatan cerai yang
aku ajukan sebelumnya?”
“TIDAK.
Itu sama halnya melukai Mawar. Aku ingin kamu berhenti bekerja jika kamu masih
menghargai aku sebagai suamimu. Aku masih sanggup menafkahi kamu dan Mawar”
“Tidak
semudah itu. Aku akan memikirkannya lagi. Aku juga memintamu untuk tidak lagi
meniduri wanita lain”
“OK
OK OK fine. Aku tidak akan lagi meniduri wanita lain, tapi kamu juga harus
berhenti bekerja”
“Aku
akan memikirkannya besok”
Setelah
itu papa keluar dari kamar mama lalu berbaring di kamarnya sendiri. Si mbok dan
pak Weryo pun tidur di kamar pembantu. Dan akupun ke kamarku. Saat itu dadaku
sesak, aku sungguh kehabisan nafas. Aku jatuh dari tempat tidur. Aku mencoba
memanggil si mbok, tapi suaraku tak sampai. Nafasku tersenggal-senggal, dadaku
sakit, badanku dingin, mataku berkunang-kunang, semua jadi gelap, serba gelap.
Esok
harinya, kata si mbok aku ditemukan tergeletak di lantai dengan keadaan yang
memprihatinkan. Aku dibawa ke rumah sakit Medika Utama. Dokter mengklaim bahwa
aku terkena penyakit jantung. Saat itu pula aku merasakan kehancuran dalam
hidupku. Papa dan mamaku memelukku dan menangis. Aku meronta-ronta, aku benci
dengan semua ini. Si mbok dan pak Weryo pun ikut menangis.
“Kenapa
kalian menangis? Kenapa baru sekarang kalian memelukku? Kenapa ma, kenapa pa?
Kenapa kalian baik disaat aku akan mati. Apa perduli kalian? Aku tak butuh
dikasihani”
“Maafkan
mama dan papa sayang. Kami tahu kami orang tua yang egois. Kami berdua
dibutakan dengan kesibukkan masing-masing. Kami tak pantas disebut orang tua.
Kamu boleh menghukum mama dan papa”
“Papa
pun rela memberikan jantung papa untuk kamu Mawar asal kamu sembuh. Papa tidak
mau melihat kamu sakit. Selama ini kamu sudah cukup merasakan betapa pedihnya
melihat kelakuan kami. Mawar izinkan papa dan mama untuk menebus kesalahan
kami. Kami berdua rela lakukan apa saja agar kamu bisa sembuh, termasuk memberikan
nyawa papa dan mama buat kesembuhan kamu. Kami menyesal sayang”
“Kenapa
baru sekarang ma, pa. Kenapa.....kenapa.....?”
“Maafkan
kami sayang. Hati mama dan papa telah buta karena keadaan. Kami janji akan
memperbaiki semua itu. Kamu maukan Mawar memaafkan kami?”
“Aku
ingin kalian bersatu. Kumpul satu keluarga. Membina keluarga yang harmonis
seperti teman-temanku yang lain. Aku tidah butuh kemewahan. Yang aku butuhkan
perhatian dan kasih sayang mama dan papa. Terima kasih karena telah
mewujudkannya kali ini. Dan aku meminta papa untuk jagain mama walaupun tidak
besama aku lagi. Aku sangat senang. Akan aku kenang moment ini di surga. Kelak
semoga kita bahagia di sana. Aku sayang papa. Aku sayang mama..................
Tidak ada komentar:
Posting Komentar