Jika boleh
aku bersyukur dan berkata, mungkin aku orang paling beruntung. Aku memang
berasal dari keluarga yang sangat sederhana, tetapi keberuntungan selalu
menyertaiku. Ayahku seorang pemabuk. Dia bekerja menjual minuman keras. Orang
Jawa khususnya daerah Tuban dan Lamongan menyebutnya Toak. Minuman ini terbuat dari Jatu
dan Wolo. Jatu adalah kulit pohon
kejaran yang diiris tipis, sedangkan wolo adalah buah dari pohon rotan yang
gennya laki-laki. Ayahku menyetorkan toaknya ke warung-warung di pinggiran
jalan maupun di pelosok desa. Dia selalu pulang dalam keadaan mabuk. Ibukku
seorang buruh di sebuah kios kecil di Pasar Baru. Aku hidup dari jerih payah
ayah dan ibuku sampai aku lulus di sebuah sekolah ternama di kota ku. Kalau
boleh aku jujur, aku malu mempunyai ayah yang bekerja keras mendapatkan uang
haram, tetapi hanya dengan itu aku bisa bersekolah. Ejekan demi ejekan kuanggap
sebagai angin belaka, karena itu hanya bisa melukaiku dan orangtuaku.
Saat aku
lulus SMA, aku tidak mempunyai tujuan akan ke mana diriku melangkah. Orangtuaku
sudah bersyukur bisa menyekolahkanku sampai tamat SMA, sehingga aku tidak punya
keberanian tuk katakan apa maksudku. Sebenarnya mereka ingin aku melanjutkan
pendidikanku, tetapi apalah daya ekonomi menjadi masalah terbesar dalam
hidupku. Semakin hari aku semakin bingung. Saat berada di sekolah,
teman-temanku mondar-mandir mengurus ini dan itu untuk mempersiapkan
pendaftaran di universitas yang diinginkan, sementara aku hanya bisa melihat, meratapi,
membayangkan bagaimana senangnya hatiku seandainya aku bisa seperti mereka.
Pukul 13.00 WIB aku pulang ke rumah dan mengatakan apa yang ku rasa pada ayah
dan ibuku. Jawaban pahit telah mencabik-cabik hatiku. Mereka tak sanggup
menguliahkanku.
Beberapa
hari berikutnya, guruku yang sering memperhatikanku datang menemuiku. Aku
disuruh untuk mendaftarkan diri melalui jalur beasiswa bagi siswa yang kurang
mampu. Hatiku terasa hidup kembali mendengar ada kesempatan buat si miskin
seperti aku. Aku pulang dengan wajah semringah penuh semangat yang membara,
tetapi ayah dan ibuku tidak mengizinkanku karena mereka takut akan biaya
kuliahku. Mendengar diriku tak dapat izin dari orangtuaku, semangatku kian hari
kian pupus. Sahabat-sahabatku yang setia tidak ingin melihat aku menangis,
mereka ingin berjuang bersama dalam suka dan duka. Tiyem dan Titik tak
henti-hentinya menasehatiku. Selain Tiyem dan Tatik, ada seorang yang paling
aku sayangi. Menjadi kekasih sekaligus seorang kakak. Dia adalah pacarku,
namanya Sholeh. Dia anak dari keluarga kyai, dan dia lulusan dari universitas
swasta di kota ku.
Tekatku kian
bulat, tanpa izin ayah dan ibuku, aku pergi mendaftar di sebuah universitas
ternama di Indonesia. Aku dan sahabatku hidup klontang-klantung di jalanan selama
tiga hari. Tak tahu arah ke mana harus membaringkan sejenak tubuh yang tlah
lelah ini. Tak ada satupun sanak saudara. Bunyi perut menjadi teman setia.
Lagi-lagi keberuntungan datang padaku. Aku tlah diterima di universitas yang
aku inginkan. Aku tak menyangka hal itu terjadi. Aku tak pandai, dan aku bukan
orang yang kaya, tetapi keberuntungan berkali-kali menghampiriku. Orangtuaku
akhirnya ikut senang atas usahaku. Kini aku telah menikmati betapa bersyukurnya
aku dapat kuliah ditengah-tengah kemewahan orang-orang di sekitarku.
Waktu tlah
tiba di mana aku akan diperkenalkan pada orangtuanya. Pukul 15.00 WIB aku
dijemput olehnya menuju rumah pacarku. Sambutan orangtuanya tak terduga. Mereka
senang dengan kedatanganku. Akupun malu saat mereka mengajak berbicara dan
bergurau. Hari-hariku terasa sempurna, aku bisa kuliah dan aku bisa bertemu
dengan keluarga pacarku.
Ternyata
kebahagiaan hanya berlangsung sekejab. Seminggu berikutnya, keberuntungan tak
berpihak padaku. Bukan karna orangtuannya tak menyukai ku. Keluargakulah
menjadi korbannya. Mereka tak tahu apa-apa, tapi mereka jadi bahan cemoohan.
Keluarganya memang orang terpandang, terhormat, dan berderajat. Aku bagaikan
pungguk merindukan bulan. Keluargaku memang miskin. Aku terlahir dari keluarga
pemabuk. Dan aku bukan lulusan dari madrasah. Ulama’ melawan pemabuk, itu
kata-kata sindiran yang terbiasa terlontar. Aku sakit hati olehnya, aku muak
dengan keadaan yang mengombang-ambingkan perasaanku. Jika orangtuaku tahu,
mereka kan murka. Tapi aku tak sanggup katakan hal itu.
“Tak
pantaskah aku memilikinya Tuhan?”
“Tak
pantaskah aku menjadi menantunya Tuhan?”
“Tak
pantaskan anak seorang pemabuk bersanding dengan anak kyai Tuhan?”
Biarkanlah
aku menanggung semua derita ini. Jangan ayah dan ibuku.Oh Tuhan apa yang harus
ku lakukan. Berilah aku petunjukmu. . . . . . . . . .
Tidak ada komentar:
Posting Komentar