Transformasi
dari karya sastra ke bentuk film dikenal dengan istilah ekranisasi. Istilah ini
berasal dari bahasa Prancis, écran yang berarti layar. Selain ekranisasi yang
menyatakan proses transformasi dari karya sastra ke film ada pula istilah lain,
yaitu filmisasi.
Ekranisasi adalah pelayarputihan atau pemindahan sebuah novel ke dalam film. Eneste menyebutkan bahwa ekranisasi adalah suatu proses pelayarputihan atau pemindahan atau pengangkatan sebuah novel ke dalam film. Eneste juga menyebutkan bahwa pemindahan dari novel ke layar putih mau tidak mau mengakibatkan timbulnya berbagai perubahan. Oleh karena itu, ekranisasi juga bisa disebut sebagai proses perubahan bisa mengalami penciutan, penambahan (perluasan), dan perubahan dengan sejumlah variasi.
Ekranisasi adalah pelayarputihan atau pemindahan sebuah novel ke dalam film. Eneste menyebutkan bahwa ekranisasi adalah suatu proses pelayarputihan atau pemindahan atau pengangkatan sebuah novel ke dalam film. Eneste juga menyebutkan bahwa pemindahan dari novel ke layar putih mau tidak mau mengakibatkan timbulnya berbagai perubahan. Oleh karena itu, ekranisasi juga bisa disebut sebagai proses perubahan bisa mengalami penciutan, penambahan (perluasan), dan perubahan dengan sejumlah variasi.
Pada Kuliah
wawasan ilmu sosial dan budaya, Sapardi Djoko Damono memiliki istilah alih
wahana untuk membicarakan transformasi dari satu ke yang lain. Istilah ini
hakikatnya memiliki cakupan yang lebih luas dari ekranisasi. Ekranisasai
merupakan perubahan ke atau menuju layar putih, sedangkan alih wahana seperti
yang dijelaskan Sapardi bisa dari berbagai jenis karya seni ke jenis karya seni
lain. Akan tetapi, istilah ini tidak bertentangan dengan makna dan konsep dasar
yang dimiliki oleh ekranisasi sebagai proses pengubahan dari satu wahana ke
wahana lain.
Sapardi Djoko
Damono menjelaskan bahwa alih wahana adalah perubahan dari satu jenis kesenian
ke dalam jenis kesenian lain. Alih wahana yang dimaksudkan di sini tentu saja
berbeda dengan terjemahan. Terjemahan dan penerjemahan adalah pengalihan karya
sastra dari satu bahasa ke bahasa yang lain, sedang alih wahana adalah
pengubahan karya sastra atau kesenian menjadi jenis kesenian lain. Sapardi
Djoko Damono mencontohkan cerita rekaan diubah menjadi tari, drama, atau film.
Bukan hanya itu, alih wahana juga bisa terjadi dari film menjadi novel, atau
bahkan puisi yang lahir dari lukisan atau lagu dan sebaliknya. Alih wahana
novel ke film misalnya, tokoh, latar, alur, dialog, dan lain-lain harus diubah
sedemikian rupa sehingga sesuai dengan keperluan jenis kesenian lain.
Di dalam
ekranisasi, pengubahan wahana dari karya sastra ke wahana film, berpengaruh
pula pada berubahnya hasil yang bermediumkan bahasa atau kata-kata, ke dalam
film yang bermediumkan gambar audiovisual. Jika di dalam novel ilustrasi dan
penggambaran atau pelukisan dilakukan dengan menggunakan media bahasa atau
kata-kata, dalam film semua itu diwujudkan melalui gambar-gambar bergerak atau
audiovisual yang menghadirkan suatu rangkaian peristiwa.
Perbedaan media
dua genre karya seni, memiliki karakteristik yang berbeda pula. Bahasa sebagai
medium karya sastra memiliki sifat keterbukaan pada imajinasi pengarang. Proses
mental lebih banyak terjadi dalam hal ini. Bahasa yang digunakan memungkinkan memberi
ruang yang luas bagi pembaca untuk menafsir dan mengimajinasi tiap-tiap yang
ditontonnya. Faktor lain yang berpengaruh adalah durasi waktu dalam penikmatan
film. Terbatasnya waktu memberikan pengaruh tersendiri dalam proses penerimaan
dan pembayangan.
Selain
transformasi bentuk, ekranisasi juga merupakan transformasi hasil kerja. Dalam
proses penciptaan, novel merupakan kerja atau kreasi individu, sedangkan film
merupakan kerja tim atau kelompok. Novel merupakan hasil kerja perseorangan
yang melibatkan pengalaman, pemikiran, ide, dan lain-lain. Maka dengan
demikian, ekranisasi juga dapat dikatakan sebagai proses perubahan dari sesuatu
yang dihasilkan secara individual menjadi sesuatu yang dihasilkan secara
bersama-sama atau gotong royong.
Dalam sastra
Indonesia, karya yang mengalami bermacam-macam alih wahana, direka ulang oleh
pengarang lain dengan perubahan sudut pandang, diposisikan sebagai sebuah
legenda atau cerita rakyat, dipentaskan berulang-ulang oleh sejumlah kelompok
teater tradisional maupun modern, disalin ke dalam bentuk naskah atau
manuskrip, atau juga dimanfaatkan sebagai nama bagi sejumlah jenis minuman dan
makanan, dapat dikatakan sebagai tidak banyak jumlahnya. Transformasi,
adaptasi, atau peralihan rupa yang paling lazim adalah perubahan dari novel
menjadi film, atau sebaliknya, yaitu dari film diwujudkan menjadi sebuah novel.
Utamanya pada dekade terakhir ini, pada awal tahun 2000-an misalnya, tercatat
cukup banyak novel atau film yang mengalami perubahan bentuk itu, khususnya
pada karya-karya yang cenderung dikategorikan sebagai karya populer.
DAFTAR RUJUKAN
Asrul Sani. 1991. Transformasi
Novel ke dalam Film. Jakarta: IKIP Jakarta
Sapardi Djoko Damono.
2005. Pegangan Penelitian Sastra Bandingan. Jakarta: Pusat Bahasa
Laelasari dan
Nurlailah. 2006. Kamus Istilah Sastra. Bandung: Nuansa Aulia
Tidak ada komentar:
Posting Komentar