“ kurang dua hari lagi ” gumamku lirih. Ku pandangi kalender yang tertempel di dindingku. Kulihat tanggal spesial yang kulingkari menggunakan spidol warna merah. Hari Sabtu tanggal 9 September. Kulihat lagi kalender bulan – bulan yang telah berlalu pada tahun ini. Dari kalender bulan Juni hingga Agustus kulihat banyak lingkaran – lingkaran spidol warna merah tepat pada tanggal yang bertepatan dengan hari Sabtu. Hari Sabtu memang hari yang spesial bagiku. Bukan karena hari Sabtu adalah hari yang tepat buat jalan berdua sama pacar. Bukan pula karena hari Sabtu merupakan hari yang tepat buat begadang sampai pagi. Tapi karena hanya pada hari Sabtu lah aku bisa mendengar suara dari kekasihku tercinta. Karena pada hari sabtulah aku bisa meluangkan beberapa jam hanya untuk bertelfon dengan kekasih ku tercinta. Ya , susah memang punya pacar seorang prajurit Negara. Apalagi kalau mereka belum setahun mengabdi menjadi seorang prajurit Negara.
“ Selly…..cepat bersihkan
rumahnya. Kamu tahu ini sudah jam setengah lima sore tapi kamu masih saja
berdiam diri di dalam kamar! ” . Suara teriakan ibuku tergiang – ngiang di
kepalaku. Menyadarkan aku bahwa sudah dari jam tiga tadi aku belum sempat
keluar kamar, bahkan hanya untuk pergi ke kamar kecil.
“ Iyaaa buu , sebentar lagi Selly bersih –
bersih rumah kok ” , jawabku dengan suara agak malas. Dengan langkah yang berat
aku pergi meninggalkan kamarku dan mengambil sebuah sapu untuk mulai
membersihkan rumah.
“ Bersihkan tuh rumah sampai
bersih, jangan hanya ngelamunin prajurit Negara yang nggak jelas gitu ” . Suara
ocehan kakak perempuanku membuat aku geram. Telingaku rasanya menganga menahan
amarah yang terpendam.
“ Sialan tuh orang , bisanya cuma ngolok –
ngolok saja. Bantu aku bersih – bersih rumah kek, nggak cuma bisa ngomong saja.
Talk more Do less ! ” , batinku dalam
hati. Dengan emosi yang tertahan – tahan aku menyapu seluruh area rumahku yang
penuh dengan debu. Angin sore berhembus kencang setiap kali aku menyapu halaman
rumahku. Sial !
~*****~
Sudah sejak sore tadi aku
sering mengawasi ponselku , aku berharap telfonku segera berdering dan tertulis nama “ Wo de Airen ” di
panggilan masukku. “ Wo de Airen ” adalah bahasa Mandarin yang berarti
kekasihku. Hari ini adalah hari Sabtu, hari yang sangat kutunggu – tunggu dalam
setiap minggu. Semua pekerjaan rumahku sudah aku selesaikan sejak jam tiga
tadi. Kakak perempuanku yang biasanya marah – marah karena aku malas
membersihkan rumah sudah tidak bisa memarahiku lagi. Dia hanya malas melihat
tingkah laku ku yang sedari tadi tidak bisa lepas dari benda elektronik bernama
ponsel. Terkadang ia kesal melihat aku senyum – senyum sendiri dihadapan
ponselku. Melihat aku berimajinasi tentang
saat – saat indah saat aku bercengkrama dengan kekasihku. Ah tapi aku tak
peduli. “ Biarlah orang berkata apa , yang penting aku bahagia ” , itu adalah
prinsip kokohku yang selalu aku letakkan di dasar hatiku.
“ Baby you light up my world like
nobody else. The way that you flip your hair gets me overwhelmed. But when you
smile at the ground it aint hard to tell. You don't know Oh Oh. You don't know
you're beautiful ”. Alunan lagu dari One Direction memberi tanda bahwa ada sebuah panggilan masuk.
Dengan tergopoh – gopoh kuambil ponsel yang aku letakkan di meja belajar
kamarku. Kubiarkan novel “ Memoirs of Geisha” ku tergeletak begitu saja di
ranjangku. Segala perhatianku ku alihkan pada pangilan masuk di ponselku. Novel
“ Memoirs of Geisha” yang sedari tadi
kubaca demi membunuh sang waktu tak dapat mencuri perhatianku lagi. Kulihat
sebuah nama “ Wo de Airen ” di panggilan masuk. Tanpa banyak waktu segera ku
angkat ponselku yang berdering.
“ Hallo? Andi ?”
“ Iya Selly . Bagaimana kabarnya seminggu ini? ”
“ Baik kok. Bagaimana kabar kamu? ” tanyaku kepada kekasihku yang
sudah empat bulan tak bertemu.
“ Baik juga. Kamu sudah
makan? ” . Andi bertanya kepadaku. Suara lembut Andi membuat hatiku luluh.
Ingin rasanya aku melonjak – lonjak diatas kasurku yang empuk. Hal inilah yang
selalu aku inginkan setiap kali ditelfon sama Andi. Aku bahagia walau hanya
mendengar suaranya. Meski sudah empat bulan kita tak bertemu tapi aku percaya
bahwa selama kita masih melihat bulan bersinar dilangit yang sama , sejauh
apapun jarak yang memisahkan, pasti terasa dekat. Karena kita masih berpijak
pada bumi yang sama dan melihat bulan yang sama.
“ Sell , tanggal 30 September ini aku dapat libur beberapa hari
sebelum aku dipindah tugaskan. Aku ingin pulang dan bertemu sama kamu. Kamu
bisa kan meluangkan beberapa jam waktu kamu demi bertemu aku? ”. Kali ini aku
bahkan tidak dapat mempercayai apa yang baru saja aku dengarkan. Ah aku mungkin
sedang berhalusinasi, pikirku. Nggak mungkin pada bulan ini Andi pergi menemui
aku. Tapi keraguanku pupus saat Andi mengulang lagi pertanyaanya.
“ Sell bagaimana ? Bulan ini aku pulang”
“ Sungguh? Kamu sungguh tidak membohongiku? Kamu yakin pada bulan
ini kamu pulang?”
“ Iya, ada sesuatu yang ingin aku bicarakan dengan kamu. Sesuatu itu
sangat penting sehingga tidak memungkinkan aku untuk berbicara melalui telfon.
Kamu bisa kan meluangkan sedikit waktumu untuk berbicara denganku? ”
“ Iya, bisa kok. Dimana kita bisa bertemu? ”. Tanpa perlu berfikir
lama aku menyanggupi permintaan Andi. Rasanya perasaanku sudah membuncah pada
ujungnya. Aku ingin berteriak, ingin melonjak –lonjak , bahkan ingin berlari
mengitari halaman rumahku. Aku bagaikan petasan yang ingin meledak. Aku tak
sanggup, tak sanggup menahan rasa bahagia yang terlalu penuh menyumbat dadaku.
Seusai telfon , aku segera berlari kearah kalender di dalam kamarku.
Ku ambil spidol berwarna merah dan mulai mencoret – coret kalenderku . Ku
lingkari tanggal 31 pada bulan ini. Pada tanggal itu aku dapat bertemu Andi di
kafe Chokoreto. Kafe itu hanya berjarak beberapa langkah dari SMA ku dulu . Di
dalam kafe itu pertama kalinya aku dan Andi dipertemukan oleh Tuhan.
~****~
Hari yang kunanti – nanti tiba juga, sedari tadi pagi aku bingung
memilih baju apa yang akan kukenakan saat berjumpa dengan Andi. Aku ingin
tampil menawan dihadapannya. Andi yang selalu didinaskan di daerah kehutanan
pasti sudah haus ingin melihat wanita cantik. Aku tidak ingin menimbulkan
rasa kecewa dihatinya pada sore nanti. Sudah dari kemarin aku terus
berkomunikasi dengan Andi. Dua hari ini Andi tidak perlu takut untuk
menelfonku. Tidak perlu lagi menunggu izin dari seniornya. Hari ini waktu
terasa cepat berlalu, jam sudah berdenting tiga kali, menandakan sudah pukul
tiga sore. Sedari tadi aku bagaikan penyihir dalam dongeng putri
Salju. Penyihir yang selalu ingin bertanya pada cermin ajaib tentang siapa
wanita paling cantik di dunia. Berkali – kali aku berkaca pada cermin apakah
penampilanku sudah maksimal. Tapi sayang cermin tidak bisa menjawab pertanyaan
bodohku. Cermin hanya diam. Mematung. Dengan tekad dan rasa kangen yang
menggebu – gebu, aku pergi meninggalkan
rumahku. Beberapa menit kemudian aku sudah melaju diatas jalan raya
dengan menggunakan motorku yang berwarna ungu. Berharap Andi sudah menungguku
di dalam kafe Chokoreto.
~****~
Hawa dingin menyibak tubuhku saat pertama aku membuka pintu kafe
Chokoreto. Udara dingin yang dikeluarkan oleh AC di dalam kafe tidak dapat
mengalahkan dinginnya hatiku yang semakin berdegup kencang. Disudut utara kafe
kulihat sesorang dengan raut muka yang sudah tak asing lagi bagiku. Dia masih
tetap sama. Masih saja menawan. Seperti saat terakhir kali kita bertemu.
Potongan rambutnya yang khas seorang prajurit ditambah dengan postur tubuhnya
yang tinggi gagah membuat aku ingin bertekuk lutut dihadapannya bak seorang
perampok yang tertangkap polisi. Aku berjalan dengan gugup menuju ke arahnya.
“ Hai ! Sudah empat bulan lebih tak bertemu ” . Aku menyapa Andi
dengan suara agak gugup.
Andi hanya tersenyum tanapa membalas sapaanku. Sejurus kemudian dia
menarik tanganku dan merengkuh tubuhku yang kecil ke dalam pelukannya. Hangat.
Kehangatan kurasakan saat aku berada dalam pelukannya. Pelukan yang hangat pada dadanya yang bidang. Direngkuhnya aku
sejenak. Kudengar samar- samar ia mengucap kata kangen kepadaku. Bahkan aku
sempat lupa bahwa saat itu kita lagi berada di dalam sebuah kafe umum.
“ Sell aku ingin berbicara tentang suatu hal dengan kamu, tapi aku
harap kamu sanggup mendengarkan ini. Percayalah bahwa ini memang rencana Tuhan
yang telah diatur untuk kita ”. Andi berkata dengan nada serius kepadaku. Aku
bingung. Otakku mulai menerka - nerka perkataan apa yang ingin Andi ucapkan
kepadaku. Otakku berimajinasi terlalu tinggi.
“Mungkin saja Andi ingin melamar aku hari ini dan pada saat aku
lulus kuliah nanti ia akan menikahiku” , batinku dalam hati. Aku tersenyum –
senyum membayangkan ada sebuah cincin di dalam segelas kopi yang telah aku
pesan tadi. Andi yang menyadari sikapku segera memegang tanganku dan berusaha
menenangkanku dengan tatapannya yang serius.
“ Sell, sebelumnya aku minta maaf atas segala kesalahan yang telah
aku perbuat selama ini kepada kamu. Aku minta maaf telah membuat kamu menunggu
aku dan tidak membiarkanmu berpaling pada laki – laki lain selain aku. Terima
kasih kamu sudah mencintaiku. Terima kasih atas cinta yang telah kamu berikan
kepada aku. Tapi maaf, aku tidak bisa melanjutkan kisah cinta ini dengan kamu.
Orangtua ku telah memilih calon istri untukku. Aku tidak bisa berbuat apa -apa lagi. Selama ini orangtuaku sudah
bersusah payah membesarkan dan merawat aku. Sebagai anak yang berbakti aku
tidak boleh egois. Aku harus menurut sama keinginan mereka. Percayalah hingga
detik ini aku masih sayang sama kamu. Tapi maaf,aku tidak bisa mempertahankan
kisah kita. Biarlah semuanya berakhir sampai disini. Mungkin Tuhan yang telah
mengatur ini semua. Aku harap kamu dapat menemukan laki – laki yang lebih baik
dari aku dan aku harap aku bisa hidup tanpa bayang – bayang kamu lagi di hatiku
”.
Aku tak percaya dengan apa yang baru saja aku dengar. Aku berfikir
mungkin pendengaranku yang salah sehingga aku tidak bisa membedakan mana yang
nyata dan mana yang halusinasiku. Sejenak kemudian mataku menangkap sosok Andi
yang perlahan menjauh dari meja tempatku berada. Apakah mataku mulai rabun juga
sehingga aku tidak dapat secara jelas melihat keadaan ? pikirku.
“Mbak, ini kopi pesanannya ”.
Suara pelayan kafe Chokoreto segera menyadarkanku. Kini aku mulai sadar
bahwa apa yang baru saja terjadi adalah nyata. Kulihat kursi di depanku telah
kosong. Tak ada sosok seorang Andi di depanku. Dia benar – benar telah pergi
mennggalkan aku. Otakku rasanya penuh. Bingung. Impian – impian yang selama ini
kubangun serasa musnah diterpa badai. Aku tak dapat berkata – kata lagi. Hanya
air mata yang perlahan – lahan jatuh membasahi pipiku.
~****~
Sudah dua hari ini aku malas makan. Malas untuk melakukan apapun.
Aku lebih suka berdiam diri didalam kamar sambil mendengarkan lagu – lagu
sedih. Lagu penambah kesedihan orang yang sedang patah hati. Kakak ku yang
biasanya cerewet dan selalu memarahiku tiap aku malas tampaknya mengerti apa
yang kini aku rasakan. Kini ia yang untuk sementara menggantikan tugasku dalam
membersihkan rumah. Aku sebenarnya malas dengan keadaanku yang seperti ini. Aku
ingin terus hidup normal dan meninggalkan kisah masa lalu dengan Andi. Aku
lelah dan sampai pada titik jenuhku. Aku berlari pergi meninggalkan kamarku dan
pergi meluncur kerumah Andi dengan sepeda motor unguku. Aku tak peduli cuaca
saat itu yang mulai gerimis. Kudengar suara – suara gerimis jatuh menerpa
helmku. Aku tak peduli. Yang aku inginkan saat ini hanya segera sampai dirumah
Andi dan berharap ia ada dirumahnya. Aku ingin mendengar sekali lagi penjelasan
darinya tentang berakhirnya hubungan
kami.
Beberapa kali kuketuk pintu rumah Andi, tapi tak kudengar ada
sahutan dari dalam. Aku kecewa dan memutuskan untuk menunggu di kursi teras
rumahnya. Namun, belum sempat aku merelaksasikan tubuhku dikursi kudengar ada
seseorang membuka pintu rumah Andi.
“ Oh ternyata Selly. Ada apa Sell? ”. Suara seorang wanita
mengagetkanku. Dia adalah kakak perempuan dari Andi. Dulu semenjak aku dan Andi
masih berpacaran, Andi mengenalkannya kepadaku.
“ Oh nggak kak, Andinya ada dirumah ? Aku ingin berbicara sebentar
dengan Andi ”.
“ Ah sayang sekali Sell, Andi tadi pagi baru saja pamit untuk pergi
ke markasnya. Dia sebentar lagi akan dipindah tugaskan ”. Jujur aku sangat
kecewa menerima kenyataan ini. Aku juga sempat menyesali diriku sendiri yang
datang terlambat kerumahnya. “ Mengapa tidak sedari tadi pagi saja aku datang
kerumahnya! ” , batinku.
“ kak, maaf kalau aku lancang. Tapi dengan siapakah Andi akan
dijodohkan ? Apa kakak mengenal perempuan itu? ”. Dengan rasa sakit hati yang
terpendam aku berusaha menguatkan batinku untuk bertanya kepada kakak perempuan
Andi.
“ Dijodohkan ? Selly asal kamu tahu saja, sebenarnya hingga detik
ini Andi masih sangat mencintai kamu. Sebenarnya ia tidak dijodohkan dengan
siapa pun. Di dalam hatinya hanya ada kamu. Kamu seorang. Andi sebentar lagi
akan dipindah tugaskan di Papua. Disana ia akan menetap beberapa tahun. Kamu
tahu kan kalau di Papua sering terjadi konflik ? Jadi Andi tidak ingin kamu
sering khawatir tentang dia. Andi tidak ingin menyakiti perasaan kamu. Andi
tidak ingin membuat kamu menunggu seorang prajurit Negara yang nggak jelas
nasibnya. Dia takut apakah ia dapat kembali untuk memenuhi janjinya menikahi kamu atau ia akan
meninggalkan luka dalam di hati kamu karena ia hanya dapat mengirimkan sebuah
surat perpisahan yang berisi tentang kabar kematiannya karena gagal dalam
berperang ”. Aku bingung, aku seakan tidak mempercayai apa yang baru saja aku
dengarkan. Sesaat aku berfikir bahwa semua yang baru saja dikatakan kakak
perempuan Andi hanyalah omong kosong belaka. Tapi dari jarak yang tidak begitu
jauh ini, aku bisa melihat butir – butir air mata jatuh membasahi pipi kakak
perempuan Andi. Ia terisak. Aku tercekat. Aku masih bingung membedakan apakah
ini nyata atau hanya omong kosong belaka. Dengan penuh rasa kebingungan aku
berusaha bertanya lagi kepada kakak perempuannya.
“ Jadi semua yang kakak katakan ini adalah kenyataan? Kakak tidak
berbohong kepadaku kan ? ”
“ Sumpah Selly, maafkan kakak yang terlambat memberitahu kamu.
Sebenarnya Andi juga tidak mengijinkan kakak untuk memberitahukan ini semua
kepada kamu. Tapi kakak sungguh tidak tega melihat kamu. Menurutku sungguh
tidak adil jika kamu tidak mengetahui kenyataan yang sebenarnya ”
Kali ini aku menyadari kenyataan yang sebenarnya. Ada rasa senang
bercampur dengan kesedihan dihatiku. Aku senang mengetahui kenyataan bahwa Andi
masih mencintaiku. Namun aku juga sedih,
aku sedih melihat kenyataan bahwa Papua yang memisahkan kita. Jarak
antara Papua dan rumahku sungguh terlalu jauh bagiku. Papua merupakan suatu
provinsi yang untuk saat ini tidak dapat aku tuju. Mengingat sekarang aku masih
berumur 18 tahun dan masih tinggal bersama kedua orangtuaku. Tapi suatu saat
nanti dengan semakin dewasanya aku, aku berharap dapat mengejar cintaku ke
Papua. Disana aku berharap bahwa Andi masih menjaga hatinya untukku.
Oleh : Rafita Apriliana
Tidak ada komentar:
Posting Komentar