“ I have died everyday waiting for you, Darling don’t be afraid I have loved you for a thousand years …” .
Lagu a Thousand Years dari Christina Perri mengalun lembut dari
ponselku, memberi isyarat bahwa ada sebuah pesan masuk. Tergopoh – gopoh ku
ambil ponsel yang sedari tadi tergeletak di meja rias. Kulihat sebuah nama “
Vino ” muncul dilayar ponsel nokia C2 – 06 ku. Tanpa banyak waktu ku touch tulisan view dilayar ponsel itu .
“ Nanti sore kita jadi pergi ke toko
buku kan ? Aku jemput didepan rumah kamu pukul lima ”.
Wajahku sumringah membaca sebuah pesan
singkat itu. Gara – gara acara nanti sore seharian ini aku bingung memilah –
milah baju apa yang akan aku kenakan. Ya , walau acara itu hanya acara pergi ke
sebuah toko buku, tetapi bagiku itu merupakan acara yang spesial. Nanti sore
untuk pertama kalinya aku pergi hanya berdua saja bersama dia tanpa adanya
gangguan dari sahabat – sahabatku. Ya ,
inilah resiko tumbuh sebuah perasaan cinta diantara persahabatan. Sebuah
persahabatan sebenarnya tidaklah pantas untuk terkontaminasi perasaan cinta.
Tapi siapa yang tahu ? Cinta datang dimanapun tanpa kita sadari, tanpa kita
duga dan tanpa meminta ijin terlebih dahulu.
Sudah setahun lebih aku mengenal dia dan sudah
setahun lebih aku bersahabat baik dengan dia. Dia merupakan pribadi yang unik
diantara lima orang sahabat laki – lakiku. Aku tidak tahu sejak kapan aku mulai
berniat untuk menunggunya, bahkan aku juga tidak menyadari kapan perasaan cinta
itu muncul. Yang aku tahu, semuanya terasa indah saat sedang bersamanya, walau
hanya dalam diam.
~****~
Berkali – kali kupandangi wajahku di
depan cermin. Ingin sekali aku bertanya pada cermin tentang dandananku pada
sore ini. Tapi aku masih waras, cermin tidak akan pernah bisa menjawab
pertanyaan konyolku. Aku berlari keluar kamar dan bergegas menemui ibuku yang
lagi asyik melihat gosip – gosip terbaru dari artis Indonesia saat ini.
“ Bu, apakah ada yang salah dengan penampilanku? ”
“ Enggak kok, memangnya kamu mau pergi kemana? Tumben peduli soal
penampilan? ”. Pertanyaan itu membuat aku bingung untuk menjawabnya. Aku
bingung harus menjawab apa, tidak mungkin aku berkata jujur kepada ibuku. Aku
akan sangat malu jika ibu mengetahui bahwa aku menyimpan perasaan pada
sahabatku sendiri.
“ Lho, kok diam saja, kamu mau pergi kemana? ”. Ibu mengulang lagi
pertanyaanya, membuat aku sadar bahwa daritadi aku belum menjawab pertanyaan
itu.
“ Oh, mau pergi ke toko buku kok. Bareng – bareng sama teman – teman, tapi
nanti aku dijemput sama Vino ”. Dengan sedikit berbohong aku menjawab
pertanyaan ibuku. Ada rasa mengganjal dihatiku saat aku menjawabnya. Sebenarnya
aku pantang berkata bohong pada ibuku,
tetapi bagaimana lagi? Aku juga belum sanggup menjelaskan hal yang sesungguhnya
kurasakan kepada ibu.
Beberapa menit kemudian kudengar suara bunyi sepeda motor berhenti di depan
rumahku. Kulihat dari kaca jendela tampak sosok seorang Vino telah bertengger
diatas sepeda kawasakinya. Meski wajahnya tertutup oleh helm yang ia kenakan,
tapi dari pawakan tubuhnya aku dapat mengenalinya dengan jelas. Aku bergegas pamit kepada ibu dan pergi
kearah Vino.
“ Hai Vin, apakah kita mau pergi sekarang? ”
“ Iya dong, mumpung masih sore. Biar nanti kita pulangnya nggak kemalaman
”.
“ Ok ! ”
Lampu – lampu kota mulai berkelap-kelip menghiasi jalan
raya. Angin sore yang sejuk menghantam tubuhku. Sebersit keinginan konyol
timbul dipikiranku. Melihat punggungnya yang lebar, ingin sekali aku memeluk
tubuhnya. Menikmati kehangatan dalam pelukannya dan membiarkan hembusan angin
sore terbengkalai karena rasa kehangatan yang melingkupi tubuhku. Tapi pikiran
itu segera lenyap setiap kali aku sadar bahwa Vino bukanlah kekasihku. Dia
hanya salah satu dari sahabat laki – lakiku yang lain. Dia hanya seseorang
sahabat yang selalu bersikap baik kepadaku.
~****~
Begitu banyaknya buku dan novel tak dapat menyita perhatianku. Aku lebih
suka mengamati gerak – geriknya tiap kali melihat ia mengambil dan membolak –
balikkan sebuah buku.
“ Ra, kamu sudah menemukan bukunya? ”. Suara Vino menyadarkan aku dari imajinasi indahku tentang dirinya.
“ Ah belum, sepertinya bukunya ada di rak sebelah sana ”. Sahutku spontan.
Aku bingung. Aku tidak ingin ia menyadari bahwa sedari tadi aku hanya mengikuti
kearah mana ia berjalan. Mengikuti dan memperhatikannya sudah dapat membuat
kedua ujung bibirku membentuk sebuah senyuman.
“ Oh kalau begitu mari kita mencari di rak sana ”. Sebuah tangan
menggandeng tanganku yang sedari tadi tak memegang satu buku pun. Jari jemari
tangan Vino bersentuhan dengan jari jemariku yang kecil . Hatiku membuncah,
ingin aku berteriak teriak didalam toko buku yang lumayan besar itu. Ini
sungguh terlalu bahagia. Memang benar kata orang, segala yang pada umumnya
biasa – biasa saja dapat menjadi luar biasa jika di rasakan oleh orang yang
sedang jatuh cinta.
“ Kamu mencari buku yang berhubungan dengan kesusastraan China klasik kan?
”. Suara Vino mengagetkanku yang lagi sibuk memilah – milah buku.
“ Iya , kamu menemukannya? ”. Vino tersenyum sembari menyodorkan sebuah
buku yang berjudul “ Kesusastraan China
Pada Masa Dinasti Song ”. Kuhentikan aktivitasku dan menerima buku
tersebut. Kubalik bagian belakang dari buku tersebut dan aku mulai membaca
sinopsisnya.
“ Ini memang buku yang tepat, apalagi kamu yang membantu aku menemukannya ”
, batinku dalam hati.
“ Vino selamat ya kamu sudah
membantu aku menemukan buku yang tepat ”. Aku berkata kepada Vino sambil
menepuk – nepuk bahunya yang lebih tinggi dari bahuku. Kulihat tampak sebuah
tawa ceria di wajahnya yang lembut. Sejurus kemudian ia membalas sikapku dengan
mengacak – acak rambutku yang sudah kutata rapi, samar – samar kudengar ia
berucap sebuah kata – kata yang membuatku ingin sekali terbang kelangit
ketujuh.
“ Kamu itu lucu sekali ya
Ra, apalagi tingkahmu itu ”. Kudengar kata – kata itu mengalir begitu saja dari
bibirnya. Jari jemari Vino masih asyik bertengger di kepalaku. Mengacak – acak
rambutku yang sudah tak rapi lagi.
~****~
Satu persatu cahaya bintang mulai bermunculan di langit. Cahaya yang putih
itu sangat kontras jika disandingkan dengan cahaya bulan yang menenangkan. Di
dalam sebuah tempat bernama “ warung sate Pak Mat ” aku gelisah dengan
perasaanku. Ingin sekali kuutarakan semua persaan yang tersimpan selama ini
kepada Vino, tapi bagiku itu sungguh tidak mungkin. Mengingat aku adalah
seorang perempuan. Yang bagiku sungguh tidak pantas seorang perempuan
mengutarakan perasaannya terlebih dahulu kepada seorang laki – laki. Bagiku
yang dapat dilakukan seorang perempuan hanya menunggu, berharap dan berdoa
semoga harapannya terkabulkan. Jadi aku hanya bisa diam, diam menahan perasaan
yang terlalu memenuhi setiap ruang dihatiku.
“ Ra, sudah aku pesankan kok apa yang kamu minta ”. Vino datang dan duduk
di kursi depanku. Aku berharap semoga ia tidak menyadari apa yang kurasakan
saat ini. Tidak menyadari hatiku yang gelisah ingin mengutarakan perasaan cinta
tapi terhalang oleh aturanku sendiri, aturan yang melarang seorang perempuan
pantang mengutarakan cintanya terlebih dahulu.
“ Vin, terima kasih ya hari ini kamu bersedia menemaniku pergi ke toko
buku dan menemukan buku yang aku cari. Selain itu kamu tahu kalau aku lagi
lapar dan mengantarkanku ke warung sate ini ”. Aku tersenyum memandang wajah
Vino. Aku berusaha menyembunyikan segala perasaanku dibalik senyumku itu.
“ Nggak apa – apa kok. Aku juga dapat ini ”. Vino menunjukkan sebuah komik Naruto Shippuden kepadaku. Komik yang
sudah dari sejak dulu ia kumpulkan satu persatu serinya. Terkadang aku berfikir
bahwa ada beberapa sikap Vino yang seperti anak kecil. Dia yang sangat menyukai
anime Naruto. Dia yang sangat menyukai permen Yupi, bahkan dia selalu membawa
beberapa permen Yupi didalam tasnya dan dia yang hobi mengoleksi mobil –
mobilan. Ya , bagiku dia adalah seorang pribadi yang unik. Tapi dibalik
beberapa sikap kekanak – kanakannya itu, dia juga menyimpan sikap seorang laki
– laki pada umumnya, yang lebih senang begadang demi melihat sebuah
pertandingan sepak bola dan sikap yang rela membiarkan tubuhnya babak belur
demi membela sahabatnya.
“ Ra, kamu sadar nggak kalau kamu itu
satu –satunya teman perempuan yang paling dekat dengan aku. Teman perempuan
yang sangat tepat kuajak bicara setiap kali aku ada masalah. Teman perempuan
yang paling bisa memahami aku dan mengerti apa mauku. Ya kamu itu orangnya ”.
Aku tak menyangka Vino akan berkata seperti itu kepadaku. Aku senang. Sungguh
sangat senang. Aku berfikir bahwa dugaanku selama ini benar, bahwa sebenarnya
Vino juga menyimpan suatu perasaan yang sama seperti apa yang kini kurasakan.
Perasaan bahwa sebenarnya dia juga menyukaiku tapi tidak bisa ia ungkapkan.
“ Sungguh? Mungkin karena kita sering
jalan bareng dan kita adalah sahabat dekat sehingga kamu merasa nyaman denganku
”. Aku pura – pura tidak mengerti. Aku berusaha sekuat mungkin untuk menutupi
perasaanku kepadanya.
“ Iya mungkin. Ra kenapa kita tidak
dipertemukan dari dulu ya? Kenapa waktu telat mempertemukan kita? Andai saja
kita dapat bertemu dari dulu, mungkin sekarang kamulah perempuan nomer tiga
yang paling aku cintai di dunia ini, selain ibuku dan adikku ”. Aku tersentak
mendengar penjelasan Vino. Aku masih tidak begitu memahami apa maksud
perkataannya tadi.
“ maksud kamu apa Vin? ”
“ Iya, andai saja dulu aku dipertemukan dengan kamu terlebih dahulu
dan tidak dipertemukan dengan Keke terlebih dahulu, pasti sekarang yang aku
cintai adalah kamu, bukan Keke. Tapi ini tidak dapat diulang. Aku juga bingung
mengapa hingga saat ini aku masih berharap agar Keke masih menympan perasaanya
untukku. Aku juga bingung mengapa hingga saat ini aku masih tidak dapat
berpaling dari bayangannya. Bahkan aku rela melakukan apa saja agar ia dapat
kembali lagi kepadaku dan mengakhiri hubungan dengan kekasihnya sekarang ”. Aku
kaget bukan main mendengar penjelasan Vino. Hatiku remuk seketika mendengar
penjelasan pahit itu. Sekali lagi aku menelan pil pahit atas ketidakjelasan
kisah cintaku. Sekali lagi aku mencintai orang yang sering memberi harapan
palsu kepadaku. Sekilas muncul satu persatu kenangan – kenangan ku dengan Vino
yang sudah berlalu. Kenangan saat dia rela mengerjakan semua tugas – tugas
kuliahku saat aku terbaring di rumah sakit, kenangan saat dia rela menemaniku
malam – malam ke perpustakaan kampus demi mencari sebuah buku dan kenangan saat
ia rela melewati hujan lebat demi menjemputku yang sedang sendirian di sebuah
stasiun. Air mataku ingin sekali menetes menerpa meja kecil dihadapanku. Tapi
aku harus kuat. Aku tidak boleh memperllihatkan perasaan yang sesungguhnya di
depan Vino.
“ Keke? Dia mantan kekasih kamu yang
telah berpacaran dengan orang lain itu ? ”. Dengan perasaan yang tertekan aku
berusaha merespon cerita Vino.
“ Iya Ra, daridulu hingga sekarang aku
tidak dapat move on , aku masih
berharap padanya ”. Kata – kata Vino semakin menjatuhkan perasaanku yang
berusaha sekuat tenaga untuk bangkit. Sesaat aku berfikir “ Apa yang salah pada
diriku? ” , mengingat dari dulu kisah cintaku tak dapat berjalan mulus.
Mengingat beberapa kali aku gagal berpacaran kerena mengenal laki – laki yang
suka berbohong, suka berselingkuh, laki – laki yang tak pernah lepas dari bayang
– bayang mantannya dan laki – laki yang hobi memberi harapan palsu kepada
setiap wanita. Oh Tuhan, mengapa kisah cintaku selalu Ma to the Tekk alias
Matek. Aku mengepalkan jari jemariku, berusaha menahan amarah dan berusaha
menutupi ratapan akan nasib kisah cintaku.
“ Mbak mas, ini satenya sudah datang
”. Suara pelayan warung menyadarkan pikiranku. Aku tak berani menatap wajah
Vino. Aku takut. Aku benci. Aku malu. Kucoba hilangkan kegalauanku dengan mulai
menyantap satu persatu sate yang bagiku terasa pahit.
“ Wah, bagaimana satenya Ra? Enak kan?
Gede – gede lagi ”.
Sial ! batinku. Sepertinya Vino sama
sekali tidak menyadari hancurnya perasaanku. Dia larut dalam dunianya sendiri,
menikmati satu persatu sate kambing yang masih hangat. Dia sama sekali tidak peduli,
tidak ada niatan untuk masuk kedalam duniaku yang sedang carut marut malam itu.
Oleh : Rafita Apriliana
Tidak ada komentar:
Posting Komentar