Di siang yang terik matahari bersinar dengan panasnya. Jalanan dipenuhi kendaraan dan lalu lalang orang-orang yang pulang setelah bekerja. Di trotoar tampak seorang cewek berseragam SMP sedang berlari tanpa mempedulikan sekitar. Rambutnya yang hitam panjang terurai lembut. Terlihat beberapa butir keringat membasahi dahinya. Tepat di bawah pohon beringin dia berhenti, membungkuk, meletakkan kedua tangannya diatas lutut. Sambil terengah-engah dia mengatur nafasnya, kemudian menoleh ke belakang. Tampak seorang cowok yang berseragam sama dengannya, juga berlari menuju ke arahnya.
“Jan,
kamu cepet banget sih larinya. Capek tahu ngejar kamu..” Kata cowok itu sembari
menyeka keringat di dahi dengan punggung tangannya.
Jani
menoleh cuek, “Nggak ada yang nyuruh kamu buat ngikutin aku.” Dia mengamati
Radit, jijik. Rambut cowok itu tampak begitu lepek, seragam putihnya terlihat
kumal dan berantakan. Dia mulai berbalik melanjutkan jalan, pulang.
“Jan...
aku kan udah bilang aku mau nganterin kamu. Kenapa sih kamu nggak pernah mau
ngasih kesempatan ke aku?” Radit bertanya putus asa. Tangannya dengan cepat
menahan lengan Jani, namun dengan cepat juga Jani menepisnya.
“Apa
sih, Dit? Aku bisa pulang sendiri.” Kali ini Jani tidak peduli lagi. Dia
benar-benar berbalik pergi meninggalkan Radit yang masih terdiam membisu.
“Jan....
Yaudah, hati-hati ya!”
* * *
Keesokan
harinya di dalam kelas, saat jam istirahat Radit memamerkan hasil gambarnya
kepada teman-temannya, gambar Jani sedang tersenyum, manis.
“Cieeee
Radit, kayaknya beneran jatuh cinta nih
sama Jani.. ehem... buruan tembak deh! Pasti dterima kok..” Kata Santi
menggoda.
“Cieee
ehem pajak jadiannya dong!” Fedi menimpali ikut menggoda Radit.
Radit
diam saja, tapi bibirnya tidak bisa berhenti menyunggingkan senyum. Jani yang
baru saja masuk kelas dan berniat duduk di bangkunya kemudian berjalan ke arah
Radit, Santi, dan Fedi. Mukanya merah padam karena marah.
“Dit,
denger yaa! Aku nggak suka kalau kamu ngejar-ngejar aku. Kamu ngaca deh! Kamu
itu nggak pantes buat aku. Aku nggak suka sama kamu.” Jani mengatakan itu semua
tepat di depan Radit.
Fedi
kaget mendengar ucapan Jani. “Aku nggak ikutan deh.” Katanya kemudian berlalu
pergi.
Radit
sendiri hanya diam, sama dengan Fedi, diapun kaget. Dia menghela napas panjang
dan menunduk.
Melihat
reaksi Radit, Jani agak heran. “Kok dia diam aja? Kenapa dia nggak bilang
sesuatupun?” Tanyanya dalam hati.
Santi,
tidak jauh berbeda dengan Fedi dan Radit, Jani kok dengan gampangnya bilang
kayak gitu ke Radit. “Jan, kamu serius? Radit kan beneran suka sama kamu, bukan
salah dia juga!” Katanya kemudian dengan nada kesal.
“Udahlah
San! Kamu nggak ngerti sih... Radit ini nggak ada baiknya sama sekali. Aku
males sama dia. Kalau kamu suka sama Radit, kamu aja yang jadian sama dia.” Jani
melirik Radit, penasaran bagaimana reaksi cowok itu. Tapi kenyataannya Radit
masih sama, diam menunduk. Jani susah menebak apakah cowok itu akan marah
dengan kata-katanya atau bagaimana.
“Terserah
deh!” Kata Santi jengkel. Dia berjalan ke arah Radit, menepuk pundaknya, “Sabar
yaaa, Dit!” kemudian pergi meninggalkan mereka.
Jani
agak kikuk ditinggal berdua saja dengan Radit. Sebenarnya hatinya agak nggak
enak dengan Radit, dalam hatinya ia mengakui bahwa sebenarnya Radit cowok yang
baik. Dia ingin minta maaf, tapi gengsi sudah menguasainya. Kemudian dia
berbalik, berniat meninggalkan Radit. Baru beberapa langkah berjalan dia
mendengar Radit memanggilnya.
“Jan...
tunggu!”
Jani
berhenti, dia menoleh. Hatinya dag dig dug ingin tahu apa yang akan diucapkan
Radit.
“Aku
udah salah nilai kamu. Maaf. Selama ini aku mnganggap, kamu itu lembut, baik,
pintar... itulah kenapa aku begitu mengagumimu. Sangat mengagumimu.” Radit diam
beberapa saat. Dia menghela napas panjang, mengangkat wajahnya menatap lurus ke
mata Jani. “Tapi ternyata kamu beda. Beda banget.”
Jani
tidak mengerti apa maksud ucapan Radit. Dia juga bingung dengan cara Radit
menatapnya. Tatapan itu terasa asing, berbeda dengan cara biasanya Radit
menatap Jani. Alisnya berkerut bingung, “Maksudmu apa?”
“Kamu
sombong, angkuh, kasar. Jauh dari penilaianku selama ini. Kamu, nggak lebih
dari cewek Stasiun.” Radit berdiri, berbalik meninggalkan Jani, begitu saja.
Mendengar
itu semua, Jani kaget. Seperti ada petir menggelegar menghantam kepalanya.
Sakit. Seperti ada ribuan paku menusuk tepat ke ulu hatinya. Saat itu juga
matanya basah air mata. Dia sama sekali tidak menyangka cowok yang selama dua
semester ini secara terang-terangan mengejarnya bisa berkata seperti itu. Cowok
yang rajin membuatkannya puisi, cowok yang tak pernah absen mengiriminya SMS
“Selamat tidur” setiap malam, cowok yang dulunya mengaku begitu mengaguminya,
bisa dengan gampang mengatakan bahwa dia nggak lebih dari cewek Stasiun.
Beberapa
menit kemudian Jani mendengar langkah kaki mendekatinya. Dengan cepat dia
menyeka air matanya.
“Jan,
kamu baik-baik aja kan? Maaf yaa tadi aku...” Santi tidak meneruskan
kalimatnya. Dia kaget melihat mata Jani yang basah.
Jani
berbalik, “Nggak apa-apa, San. Kamu benar. Radit benar. Aku nggak lebih dari
cewek Stasiun.” Jani tersenyum, beranjak pergi meninggalkan Santi yang bingung
tidak mengerti. Di balik senyumnya, dia sudah menyadari kesalahannya. “Dasar
cewek Stasiun!” Umpatnya dalam hati, menertawakan dirinya sendiri.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar