1.
PERBEDAAN
PUISI DENGAN PROSA
Puisi
|
Prosa
|
Melibatkan
perasaan
|
Melibatkan
pikiran
|
Bahasa
yang digunakan terikat
|
Bahasa
yang digunakan tidak terikat
|
Adanya
unsur-unsur bunyi yang mengikat
|
Tidak
adanya unsur-unsur bunyi yang mengikat
|
Terdiri
dari kesatuan yang disebut baris sajak
|
Berbentuk
wacana, atau paragraph-paragraf
|
Pencurahan
jiwa yang padat
|
Bersifat
naratif, informatif
|
Menyatakan
suatu yang langsung
|
Tidak
langsung
|
- PENGGALAN PUISI
A. Laksana
bintang berkilat cahaya,
Di
atas langit hitam kelam,
Sinar
berkilau cahaya matamu,
Menembus
aku ke jiwa dalam
(Sebagai Dahulu, Aoh Kartahadimadja)
a) Citraan
yang dominan
Citraan
yang dominan dalam penggalan puisi di atas yaitu jenis citraan visual. Dapat
dibuktikan pada baris pertama, kedua, dan ketiga. Laksana bintang berkilat cahaya, pada baris pertama ini telah
terlihat bahwa adanya citra penglihatan, karena seseorang mengetahui bintang
itu berkilat cahayanya dengan cara melihat. Begitu pula dengan Di atas langit hitam kelam, dan Sinar berkilau cahaya matamu, terlihat
jelas bahwa itu citraan visual. Seseorang bisa mengatakan di atas sana langit
hitam kelam dengan cara melihat. Seseorang bisa mengetahui cahaya yang berkilau
di mata seseorang juga karena melihat.
b) Gaya
bahasa
Gaya
bahasa yang digunakan pada penggalan puisi di atas yaitu majas perbandingan
berjenis simile dan personifikasi. Pada
baris pertama yang berbunyi Laksana
bintang berkilat cahaya, merupakan majas simile karena ditandai dengan
adanya kata laksana. Selain itu, pada
baris keempat dan kelima yang berbunyi Sinar
berkilau cahaya matamu, Menembus aku ke jiwa dalam, kata sinar berkilau seolah-olah hidup dan
dapat menembus jiwa seseorang padahal sinar merupakan benda mati yang hanya
bisa dilihat, tetapi tidak bisa dipegang, sedangkan berkilau merupakan kata sifat.
c) Diksi
Dalam
penggalan puisi di atas kata jiwa dalam pada baris ke keempat yang
berbunyi Menembus aku ke jiwa dalam
dimunculkan oleh penyair di akhir yang berkedudukan sebagai keterangan tempat. Hal ini berhubungan dengan pilihan kata yang digunakan
oleh penyair untuk memberikan kekuatan makna dan keindahan dalam
puisinya Dalam potongan bait di atas, pengarang ingin menunjukkan bahwa
jiwa dalam
yang dilukiskan dalam puisi tersebut menunjukkan
tempat berlabuhnya perasaan seseorang di dalam jiwa yang paling dalam. Selain itu, susunan dalam larik tersebut pun bisa diubah, misalnya dengan menaruh kata jiwa dibelakang, tetapi hal itu menjadikan puisi tersebut kehilangan makna
aslinya, karena yang ingin ditekankan maknanya adalah jiwa
dalam yang menunjukkan
suatu tempat. Tempat yang dimaksud bukan hanya di dalam jiwa saja, tetapi
tempat yang menunjukkan bagian jiwa yang paling dalam.
d) Feeling
dan tone
Feeling
dalam penggalan puisi tersebut menggambarkan penyair ingin mengungkapkan
perasaannya melalui pilihan kata yang bermakna, sedangkan tone yaitu penyair
tidak hanya menyampaikan perasaannya saja, tetapi penyair ingin menunjukkan
kepada pembaca bahwa dia sedang jatuh cinta pada seseorang.
e) Pokok
persoalan
Pokok
persoalan dalam penggalan puisi di atas yaitu masalah percintaan antara seorang
laki-laki yang sedang gundah dan akhirnya kegundahaannya sirna ketika melihat
seorang perempuan yang memancarkan aura ketenangan, keteduhan, bahkan keindahan
yang terpancar dari matanya di dalam diri laki-laki tersebut yang membuat
laki-laki itu jatuh cinta yang terbukti pada baris ketiga dan kelima, baris
pertama membuktikan aura ketenangan pada diri seseorang, sedangkan baris yang
kedua membuktikan adanya kegundahan yang dialami seseorang.
B. Dua puluh tiga matahari
Bangkit dari pundakmu
Tubuhmu menguapkan bau tanah
(Nyanyian Suto untuk Fatima, Rendra)
a) Citraan
yang dominan
Citraan
yang dominan pada penggalan puisi diatas yaitu jenis citra visual dan penciuman.
Pada baris pertama dan kedua merupakan citra visual. Dua puluh tiga matahari Bangkit
dari pundakmu, dari baris itu terlihat bahwa seseorang mengetahui dua puluh
tiga matahari bangkit dari undak seseorang karena adanya penglihatan. Berbeda
dengan Tubuhmu menguapkan bau tanah,
baris tersebut menunjukkan citra penciuman karena adanya kata menguapkan bau.
b) Gaya
bahasa
Gaya
bahasa yang digunakan yaitu majas personifikasi yang terbukti pada baris
pertama Dua puluh tiga matahari, dan
baris kedua Bangkit dari pundakmu.
Matahari pada baris tersebut seolah-olah merupakan benda hidup, padahal
faktanya matahari merupakan benda mati dan mustahil dapat bangkit dari pundak
seseorang.
c) Diksi
Dalam
penggalan puisi di atas, alasan penyair memilih kata pundakmu karena adanya makna tertentu yang ingin disampaikan dan
tidak bisa digantikan dengan organ tubuh yang lain. Pundak memiliki makna yang
kuat dalam islam, yaitu sebagai tempat pencatatan amal baik dan buruk oleh
malaikat yang kelak akan dipetik seseorang di akhirat. Hubungannya dengan Dua puluh tiga matahari, yaitu penyair
ingin menyampaikan pesan bahwa di padang mahsar kelak matahari akan sedekat
dengan manusia yang berjarak 2 mil, sehingga suhunya sangat panas dan akan
membakar tubuh seseorang. Hanya amal baik yang dicatat di pundak sebelah kanan,
yang dapat menolong seseorang kelak di padang mahsar, sebaliknya catatan buruk
di pundak sebelah kiri akan menjerumuskan seseorang ke dalam sengatan matahari
yang begitu panasnya.
d) Feling
dan tone
Feeling dalam penggalan puisi tersebut
menggambarkan bahwa penyair menggungkapkan perasaannya dengan penuh makna melalui pilihan kata matahari dan pundak yang
menunjukkan adanya keterkaitan antar keduanya. Tone pada penggalan puisi di atas
yaitu penyair tidak hanya menunjukan panasnya betapa panasnya matahari ketika
di padang masyar yang diibaratkan dua puluh tiga kali panas dunia, tetapi
penyair juga ingin menyampaikan pesan agama kepada pembaca bahwa kelak amal
baik dan buruk akan dipetiknya saat di akhirat.
e) Pokok
persoalan
Pokok persoalan dalam penggalang puisi di atas yaitu membahas tentang
kematian tepatnya di tempat padang masyar yaitu sebuah tempat berkumpulnya roh
ketika hari pembangkitan di akhirat.
Saat itu tiba, matahari berjarak 2 mil dari kepala manusia, sehingga
penyair ingin memberikan pesan bahwa apabila ingin selamat dari panasnya
matahari saat itu, mereka harus melakukan amal baik yang akan dicatat malaikat,
begitu pula dengan amal buruk yang akan membinasakan seseorang kelak dan
penyair mengibaratkan bahwa panasnya matahari di padang masyar, dua puluh tiga
kali panas matahari ketika di dunia.
C. Gerimis
mempercepat kelam. Ada juga kelepak elang
Menyinggung
muram, desir hari lari benerang
Menemu
bujuk pangkal akanan. Tidak bergerak
Dan
kini, tanah, air tidur, hilang ombak
(Senja di Pelabuhan Kecil, Chairil Anwar)
a) Citraan
yang dominan
Citraan yang dominan pada penggalan puisi di
atas yaitu visual yang terbukti pada baris pertama pada syair Ada juga kelepak elang, pada baris
ketiga dan keempat yang melibatkan indera penglihatan. Selain itu, juga
terdapat citra auditif yang terbukti pada syair desir
hari lari benerang yaitu adanya suara desiran, dan juga
citraan kinestetik yang terbukti pada kata lari
yang merupakan aktifitas, sedangkan kata benerang
melibatkan indera penglihatan.
b) Gaya
bahasa
Gaya bahasa pada penggalan puisi di atas
yaitu majas personifikasi. Kelepak elang menyinggung muram, desir hari lari berenang, dan kini
tanah dan air tidur hilang ombak. Penyair seolah-olah menghidupkan juga
kelepak elang yang mampu menyinggung perasaan orang yang sedang muram. Hari pun
dikatakan penyair seakan berlari dan berenang menjauhi dia, sehingga dia tidak
bisa memutar balik waktu itu. Dia juga berusaha menidurkan tanar dan air
sehingga merasa dalamlah kebekuan hati seseorang yang digambarkan. Semuanya ini
menyebabkan hanya sendu yang bisa dia peluk bukan orangnya.
c) Diksi
Pilihan kata dalam puisi ini terlihat biasa
dan terkesan kata-kata yang digunakan dalam kesehariaannya. Tetapi arti katanya
bukan arti yang sebenarnya. Walaupun dengan kata-kata yang biasa tapi Chairil
memberikannya sebaagai kata-kata yang mengandung makna konotasi. Seperti kata
gudang, rumah tua pada cerita, tiang serta temali, mempercaya mau berpaut kata-kata
ini bermakna sebuah kedukaan. Bagi penyair gudang dan rumah tua dianggap
sebagai sesuatu yang tak berguna seperti dirinya yang dianggap tiada berguna
lagi. Kata ”mempercaya mau berpaut” itu sebenarnya juga berarti harapan Chairil
akan kekasihnya.
Pilihan
kata seperti kelam dan muram juga memberi kesan pada makna kesedihan yang
dirasakan. Kata menemu bujuk pangkal akanan juaga merupakan harapan penyair.
Sedangkan kata tanah dan air yang tidur juga menyatakan suatu kebekuan.
Chairil
mampu mengolah pilihan katanya sebaik mungkin walaupun dengan bahasa percakapan
tapi mampu menghadirkan makna yang dalam. Hanya ada satu kata yang tidak biasa
diucapkan dalam kehidupan sehari-hari yaitu akanan.
d) Feeling
dan tone
Feeling pada penggalan puisi di atas yaitu merupakan
luapan hati penyair yang sedih setelah orang yang dicintainya tidak lagi
besamanya. Hal itu membuat penyair terpukul, sehingga ia hanya bisa meratapi
nasibnya. tone ada penggalan puisi di atas yaitu penyair tidak hanya melukiskan
luapan hatinya, tetapi penyair juga ingin menyampaikan kepada pembaca bahwa
tidak selamanya diri penyair bisa menjadi orang yang tegar dan selalu optimis
pada segala hal. Akan tetapi penyair juga bisa merasakan kesedihan yang dalam,
sehingga pembaca seakan-akan ikut terbawa di dalamnya.
e) Pokok
persoalan
Pokok persoalan dalam penggalan
puisi di atas yaitu kesedihan karena kegagalan cinta yang dirasakan penyair,
terbukti adanya kata kelam, muram pada syair tersebut yang menandakan bahwa
penyair sedih karena cintanya yang kandas.
D.
Betsyku bersih dan putih sekali
Lunak
dan halus bagaikan karet busa
Rambutnya
merah tergerai
Bagai
berkas benang-benang rayon warna emas
Dan
kakinya sempurna Singsat dan licin Bagaikan ikan salmon
(Rick dari Corona, Rendra)
a) Citraan
yang dominan
Citraan yang dominan pada penggalan
puisi di atas yaitu jenis citraan visual yang terbukti pada baris pertama,
ketiga, keempat, dan kelima. Kata bersih dan putih pada baris pertama
menandakan adanya indera penglihatan, begitu pula dengan baris ketiga, keempat,
dan kelima. Seolah-olah pembaca ikut melihat sosok seseorang yang digambarkan
dalam puisi tersebut adalah seorang yang berkulit bersih, putih, berambut merah
tergerai, dan kakinya kencang serta mulus.
b) Gaya
bahasa
Gaya
bahasa yang digunakan penyair pada penggalan puisi tersebut yaitu majas
perbandingan berjenis simile yang ditandai dengan kata bagai, bagaikan, pada
baris kedua, keempat, dan kelima. Selain itu, ada juga majas berjenis hiperbola
yaitu terlihat pada baris kelima Dan
kakinya sempurna, potongan syair itu melebih-lebihkan karena manusia tidak
ada yang sempurna termasuk dalam hal organ yang dimilikinya.
c) Diksi
Dalam
penggalan puisi di atas kata Betsyku
memang sengaja diletakkan penyair di awal karena merupakan sebuah nama
seseorang wanita yang menjadi sorotan atau inti dari puisi tersebut atau
sebagai pelaku yang dibicarakan. Ws. Rendra sangat piawai dalam mengolah kata,
seperti pada kata karet busa, dan ikan salmon. Karet busa merupakan benda
yang lunak, halus, elastis, empuk dan penyair mengibaratkan salah satu bagian
tubuh wanita selayaknya karet busa yang halus dan lunak. Ikan salmon merupakan
ikan yang mahal, mewah, bagus, dan kebanyakan hanya dibeli oleh orang yang
kaya. Nah, penyair menggunakan ikan salmon karena ingin mengibaratkan seorang
wanita panggilan yang dibeli oleh seorang yang mempunyai uang.
d) Feeling
dan tone
Feelingnya yaitu penyair menunjukkan
keindahan yang dimiliki seorang wanita panggilan. Tonenya yaitu penyair tidak
hanya menunjukkan adanya keindahan pada diri wanita pangilan, tetapi penyair
juga menunjukkan bahwa wanita panggilan dibeli oleh seorang yang mempunyai
banyak uang alias tidak sembarang orang dapat membelinya.
e) Pokok
persoalan
Pokok
persoalan dalam penggalan puisi di atas yaitu penyair mengungkap kisah
kehidupan seorang wanita panggilan yang sering dibeli dengan harga tertentu
karena memiliki keindahan dalam dirinya yang berupa kulit bersih dan putih,
memiliki rambut berwarna merah alias bule, serta memiliki kaki yang indah.
E. Tetapi
istriku terus berbiak
Seperti
rumput di pekarangan mereka
Seperti
lumut di tembok mereka
Seperti
cendawan di roti mereka
Sebab
bumi hitam milik kami
Tambang
intan milik kami
Gunung
natal milik kami
(Afrika Selatan, Subagio Sastrowardjoyo)
a)
Citraan yang dominan
Citraan
yang dominan dalam penggalan puisi tersebut yaitu jenis citraan visual yang terlihat
pada baris kedua seperti rumput di
pekarangan mereka, pada baris ketiga seperti
lumut di tembok mereka, dan baris keempat seperti cendawan di roti mereka. Baris-baris itu menunjukkan adanya
pengelihatan. Seseorang mengetahui kata rumput,
lumut, dan cendawan di tempat yang berbeda karena keterlibatan indera mata.
b) Gaya
bahasa
Gaya bahasa yang terdapat pada penggalan puisi di
atas yaitu majas perbandingan berjenis simile. Dapat dibuktikan dengan adanya
kata seperti pada baris kedua seperti
rumput di pekarangan mereka, ketiga seperti
lumut di tembok mereka dan keempat seperti
cendawan di roti mereka.
c)
Diksi
Penyair memilih kata berbiak ingin menggambarkan bahwa seorang wanita dalam puisi itu
merasa tertekan karena kehidupannya diusik oleh ras berkulit putih. Rumput, lumut, cendawan merupakan
benalu, dan ras kulit putih diibaratkan seperti benalu itu yang tidak pernah
menganggap bahwa ras kulit hitam berhak hidup di daerah Afrika yang memiliki
gunung natal dan tambang intan. Ras kulit putih mengangap bahwa Afrika pantas
di huni oleh ras kulit putih, sehingga muncullah deskriminasi yang dialami ras
berkulit hitam. Penyair sangat pandai dalam pemilihan kata yang tepat untuk
menunjukkan adanya ketidak adilan yang dialami ras kulit hitam dengan
menggunakan kata sehari-hari sepperti berbiak, rumput, lumut, cedawan, tetapi
memiliki makna yang kuat.
d)
Feeling dan tone
Feelingnya yaitu bahwa penyair menunjukkan adanya
deskriminasi ras kulit putih terhadap ras kulit hitam. Tonenya yaitu penyair
tidak hanya menunjukkan adanya deskriminasi terhadap kulit hitam, tetapi
penyair ingin menyampaikan bahwa bumi ini milik kita semua, entah itu ras
berkulit hitam maupun ras berkulit putih, bahwa dihadapan Tuhan semuannya sama
dan perlunya menghargai satu sama lain.
e)
Pokok persoalan
Pokok
persoalannya yaitu adanya deskriminasi yang dilakukan oleh ras berkulit putih
terhadap ras berkulit hitam. Ras putih menganggap bahwa ras kulit hitam
dianggap tidak pantas menduduki wilayah Afrika.
F.
Seruling di pasir tipis, merdu
Antara
gundukan pepohonan pina
Tembang
menggema di dua kaki
Burangrang-Tangkubanperahu
(Tanah Kelahiran, Ramadhan KH)
a) Citraan
yang dominan
Citra
yang dominan pada puisi di atas yaitu jenis citra visual yang terdapat pada
syair Seruling di pasir tipis, merdu.
Seseorang mengetahui adanya seruling di pasir tipis karena melihat, dan juga
adanya citra auditif yang ditandai adanya kata merdu, berarti suara yang
didengar. Antara gundukan pepohonan pina,
syair ini juga merupakan citra visual karena adanya penglihatan, begitu pula
dengan Tembang menggema di dua kaki
dan Burangrang-Tangkubanperahu. Lain
halnya dengan Tembang menggema, ini
merupakan citra auditif yaitu adanya
suatu tembang yang mengeluarkan suara menggema dan didengar oleh seseorang.
b) Gaya
bahasa
Gaya
bahasa yang terdapat pada penggalan puisi di atas yaitu majas personifikasi
yang terlihat pada ketiga yang berbunyi Tembang
menggema di dua kaki, yaitu kaki tidak bisa mengeluarkan suara dengan cara
hentakan, tetapi kaki tidak bisa menembang.
c) Diksi
Pilihan
katanya sulit dipahami oleh pembaca seperti pada kata di pasir tipis yang menunjukkan makna yang tersembunyi.
d) Feeling
dan tone
Feelingnya
yaitu bahwa penyair menunjukkan keindahan Burangrang Tangkubanperahu, sedangkan
tonenya penyair tidak hanya ingin menunjukkan keindahan di tanah kelahirannya,
tetapi lebih ingin membawa pembaca turut serta merasakan keindahan di tempat
tersebut.
e) Pokok
persoalan
Pokok
persoalan dalam penggalan puisi di atas yaitu keindahan di tangkuban perahu.
terimakasih ya.... mampir jga di http://ghofar1.blogspot.com
BalasHapussama2 pecinta gomihoo hehehe