Sabtu, 30 Maret 2013

Pemikiran Ludwing Wittgenstein tentang Positivisme Logis dalam Filsafat Analitik


Wittgenstein dikenal luas sebagai tokoh filsafat bahasa yang mengalami dua masa pergeseran filosofis, sehingga sering disebut sebagai Wittgenstein I dan Wittgenstein II. Jika pada masa Wittgenstein I, yang ditandai dengan karyanya Tractacus Logico-Philosophicus, Wittgenstein begitu ketat memaparkan apa yang diistilahkan sebagai “bahasa logika”, yang mengidealisasikan keharusan kesesuaian (uniformitas) logis antara struktur bahasa dengan stuktur realitas, agar bahasa dan maknanya dapat dipahami secara logis, maka pada Wittgenstein II, yang ditandai dengan karyanya Philosphical Investigations, Wittgenstein “seolah” membantah pemikirannya sendiri dengan menyatakan bahwa setiap kata dalam bahasa bisa memiliki keragaman (poliformitas) makna sesuai dengan keragaman konteks yang mendasari penggunaan kata tersebut. Inilah yang dikenal luas dengan filsafat bahasa biasa (ordinary language philosophy) yang berpuncak pada istilah “tata permainan bahasa” (language game).
A.Wittgenstein I dan Bahasa Logika
Dalam pengantar Tractacus, Wittgenstein menyoroti persoalan besar kekacauan bahasa sebagai biang kerok betapa sulitnya memahami persoalan-persoalan yang disajikan filsafat. Kekacauan bahasa itu disebabkan oleh kesalahpahaman dalam penggunaan bahasa logika, yang mengakibatnya tidak adanya “tolak-ukur” yang dapat menentukan apakah suatu ungkapan filsafat itu bermakna dan kosong belaka. Karena itu, menurut Wittgenstein, harus dibuat kerangka bahasa logika sebagai dasar dalam berfilsafat.
1.      Proposisi sebagai alat bahasa. Proposisi diterjemahkan sebagai “gambaran realitas.Proposisi  merupakan hal mutlak yang diperlukan untuk mendukung “sebuah ungkapan yang bermakna”) yang menunjuk pada suatu bentuk peristiwa atau pun keberadaan suatu peristiwa (states of affairs).
Dengan demikian, sebuah ungkapan baru bisa diterima sebagai proposisi bila berhasil menunjukkan pengertian tertentu dan terang tentang suatu realitas, sehingga seseorang yang dihadapkan pada proposisi itu akan bisa mengatakan “iya” atau tidak” untuk menyetujui realitas yang dikandungnya. Ini mengandung konsekuensi bahwa ungkapan atau penyataan filsafat apa pun yang tidak memenuhi syarat proposisi tersebut harus dinyatakan sebagai tidak bermakna karena gagal logika, bukan “benar atau salah”, lantaran menjadi upaya yang sia-sia belaka untuk memahami suatu ungkapan yang tidak logis. Inilah yang pungkasnya oleh Wittgenstein dinyatakan dengan tegas sebagai keharusan untuk membangun kesesuaian antara struktur bahasa dengan struktur realitas.
2.      Fakta yang dikandung realitas. Sebagaimana Russel yang mengenalkan istilah isomorfi (kesesuaian), Wittgenstein meyakini bahwa diperlukan hubungan mutlak antara bahasa (proposisi) dengan realitas atau dunia fakta. Suatu fakta realitas haruslah dikandung oleh obyek perbincangan dalam bahasa dengan pengertian yang jelas.
Di sinilah pentingnya untuk menggunakan bahasa logika yang sempurna, agar setiap pemakaian alat-alat bahasa (kata dalam kalimat) mempunyai suatu fingsi saja dan setiap kalimat hanya mewakili suatu keadaan faktual saja. Dan suatu bahasa baru bisa dinyatakan memenuhi bahasa logika yang sempurna apabila mengandung aturan sintaksis yang terang (proposisi) dan mempunyai simbol tunggal dengan makna terbatas (terang, fakta yang dikandung realitas).
Kesesuaian antara penggunaan alat bahasa (gramatikal) dan makna yang dikandung obyek realitas yang diperbincangkannya (semantik) akan memudahkan siapa pun dalam memahami sebuah ungkapan filsafat (proposisi), karena pengertian yang dinyatakannya menggambarkan dengan jelas fakta yang dikandung realitas itu. Ada tiga aspek yang ditulis Wittgenstein yaitu :
a.       Teori Gambar
Fungsi Teori Gambar terletak pada kesesuaian antara unsur-unsur gambar dengan sesuatu dalam realitas. Hal itulah yang sangat ditekankan oleh Wittgenstein, sehingga kita bisa saja membalik arti kiasannya (analogi), dengan mengatakan bahwa proposisi itu berfungsi seperti sebuah gambar karena ada hubungan yang sesuai antara unsur-unsur gambar itu dengan dunia fakta. Cara ini dilakukan dengan menggabungkan bagian-bagian proposisi, di mana struktur proposisi menggambarkan kemungkinan bagi kombinasi unsur-unsur dalam realitas: yaitu suatu kemungkinan mengenai keadaan faktual atau suatu bentuk peristiwa.”
Dari paparan Wright tersebut, bisa dipahami bahwa kata kunci dalam Teori Gambar Wittgenstein adalah tentang hubungan antara proposisi yang diungkapkan melalui bahasa dengan realitas keberadaan suatu peristiwa.
b.      Atomisme logis.
Untuk memahami konsep atomisme logis Wittgenstein, coba perhatikan ilustrasi ini. Sebuah pintu merupakan satu bagian dari beragam bagian dari sebuah rumah, mulai dari keberadaan dinding, jendela, kaca, atap, lantai, dan sebagainya. Setiap bagian atau obyek yang membentuk bangunan rumah itu saling berhubungan, memiliki interralasi. Maka memahami rumah sebagai sebuah realitas bukanlah terletak pada berapa obyek yang menopangnya, tapi bagaimana obyek-obyek kecil itu memiliki interrelasi dan keadaan hubungan kausalitas, kuantitas, dan kualitas dalam ruang dan waktu. Obyek-obyek pembangun realitas itulah yang dimaksudkan sebagai atomisme oleh Wittgenstein, atau ada juga yang mengistilahkannya sebagai “proposisi elementer”. Pintu, dalam ilustrasi tersebut, adalah fakta atomis.
Menurut Wittgenstein, dunia ini harus diterangkan dan dijelaskan dalam bagaimana obyek-obyek atomis itu berhubungan dan berada di antara satu dengan lainnya. Dunia ini terdiri dari fakta-fakta yang keseluruhannya saling berhubungan (totalitas fakta). Kompleksitas fakta itu jika diuraikan terus-menerus akan kian mengecil, hingga kemudian fakta terkecil, yang tidak bisa dipecah lagi, dan itulah fakta atomis.
c.       Konsep formal dan konsep nyata.
Pembeda paling terang antara konsep formal dan konsep nyata dalam filsafat Wittgenstein ialah pada struktur logikanya. Jika konsep nyata berhubungan langsung dengan sebuah realitas yang jelas, terarah, dan langsung terpahami, sebaliknya konsep formal menunjuk pada suatu variable yang baru akan terpahami jika “diisi” oleh konsep nyata. Cara mudah untuk menguji apakah sebuah ungkapan itu
B. Wittgenstein II: Bahasa Biasa dan Tata Permainan Bahasa (Language Game)
Wittgenstein II sangat terkenal dengan semboyannya: “Makna setiap kata tergantung penggunaannya dalam bahasa, dan makna sebuah bahasa tergantung penggunaannya dalam kehidupan.” Ada dua fase pokok dalam masa Wittgenstein II yang harus diperhatikan untuk mendapatkan pembedaan pemahaman dengan masa Wittgenstein I yaitu :
1.      Filsafat bahasa biasa (ordinary language philosophy).
Munculnya filsafat bahasa biasa dipicu oleh kebimbangan terhadap kegagalan bahasa logika dalam menjelaskan jubelan realitas. Wittgenstein menyadari bahwa kelemahan mendasar bahasa logika ialah tidak mampu menyentuh seluruh realitas yang tampak nyata dalam kehidupan sehari-hari. Wittgenstein mengalihkan perhatiannya pada keanekaraman bahasa biasa dan cara penggunaannya, yang memproduksi keragaman makna nyata. Jika dibandingkan dengan masa Wittgenstein I, era Wittgenstein II berubah haluan dalam tiga prinsip sekaligus yaitu :
·         Bahwa bahasa dipakai hanya untuk satu tujuan saja, yakni menetapkan keadaan faktualnya (state of affairs).
·         Bahwa kalimat mendapatkan maknanya dengan satu cara saja, yakni menggambarkan suatu keadaan faktual.
·         Setiap jenis bahasa dapat dirumuskan dalam bahasa logika yang sempurna, meskipun pada pandangan pertama barangkali sukar untuk dilihat. Wittgenstein telah meletakkan pondasi besar tentang filsafat bahasa biasa sebagai antitesis terhadap bahasa logikanya.

2.      Tata permainan bahasa (language game).

Wittgenstein menjelaskan tentang tata permainan bahasa melalui ilustrasi berikut: “Suatu permainan haruslah ditentukan oleh aturan. Kemudian jika dalam permainan catur telah ditentukan sebelumnya bahwa “buah raja” memegang peranan yang sangat penting, maka tentu jelas itu merupakan bagian yang esensial dalam permainan tersebut. Apakah kita boleh menyalahi aturan yang telah ditentukan di sini? Pelanggaran itu hanya menunjukkan bahwa kita tidak mengetahui petunjuk yang sebenarnya tentang aturan permainan itu. Barangkali kita juga tidak dapat memahami dengan baik petunjuk permainan yang menggariskan agar kita berpikir tiga kali (berpikir tiga langkah ke depan) sebelum menggerakkan setiap biji catur. Jika kita melihat penerapan peraturan ini di atas papan catur, maka tentu kita akan merasa kagum dan tahu maksud atau tujuan suatu aturan permainan…” Permainan catur baru akan menemukan maknanya sebagai sebuah permainan jika seperangkat aturannya diindahkan. Tanpa mengikatkan diri pada tata aturan permainan itu, maka permainan catur, dan segala permainan lainnya, akan kehilangan maknanya. “Tata aturan”, begitulah poinnya, seperangkat aturan yang melingkari sebuah permainan, termasuk dalam bahasa. Bahasa pun memiliki seperangkat tata aturannya yang darinya kemudian lahir makna yang terang dan jelas tentangnya. Jika tata permainan bahasa ini diabaikan, maka bahasa akan kehilangan makna terangnya. Karena itulah, untuk mendapatkan makna yang terang, bahasa tidak boleh dilepaskan dari tata aturan permainnanya. Wittgenstein mengistilahkan hal ini sebagai tata permainan bahasa (language game).
Oleh karena itu, mustahil untuk membangun dan menerapkan sebuah tata aturan permainan bahasa tunggal dan umum. Inilah prinsip utama pemikiran Wittgenstein II, yang sangat bertentangan dengan pemikiran utama Wittgenstein I.Wittgenstein menguraikannya dalam peta berikut:
Pertama, pola penggunaan istilah atau ungkapan dalam bahasa filsafat yang tidak sesuai dengan tata aturan permainan bahasa.
Kedua, kecenderungan untuk mencari pengertian yang bersifat umum dengan merangkum pelbagai gejala yang diperkirakan mencerminkan sifat keumumannya. Wittgenstein mengistilahkannya sebagai “craving for generality” (ketunggalan dalam kamajemukan), yaitu kecenderungan mencari sesuatu yang umum pada semua satuan konkret yang dihimpunkan di bawah suatu istilah umum, atau, mencari satu kesatuan pengertian dalam keanekaragaman, kesamaan dalam perbedaan, dan ketunggalan dalam kamajemukan.
Ketiga, kecenderungan melakukan penyamaran pengertian atau pengertian yang terselubung dalam istilah-istilah yang tidak dapat dipahami. Ini semestinya dihindari untuk digunakan agar pemikiran yang dimaksudkan tidak terkungkung dalam keterselubungan maknanya sehingga tidak menjadi sebuah ungkapan yang sia-sia belaka.





Tidak ada komentar:

Posting Komentar