Wittgenstein dikenal luas
sebagai tokoh filsafat bahasa yang mengalami dua masa pergeseran filosofis,
sehingga sering disebut sebagai Wittgenstein I dan Wittgenstein II. Jika pada
masa Wittgenstein I, yang ditandai dengan karyanya Tractacus
Logico-Philosophicus, Wittgenstein begitu ketat memaparkan apa yang
diistilahkan sebagai “bahasa logika”, yang mengidealisasikan keharusan
kesesuaian (uniformitas) logis antara struktur bahasa dengan stuktur realitas,
agar bahasa dan maknanya dapat dipahami secara logis, maka pada Wittgenstein
II, yang ditandai dengan karyanya Philosphical Investigations, Wittgenstein
“seolah” membantah pemikirannya sendiri dengan menyatakan bahwa setiap kata
dalam bahasa bisa memiliki keragaman (poliformitas) makna sesuai dengan
keragaman konteks yang mendasari penggunaan kata tersebut. Inilah yang dikenal
luas dengan filsafat bahasa biasa (ordinary language philosophy) yang berpuncak
pada istilah “tata permainan bahasa” (language game).
A.Wittgenstein
I dan Bahasa Logika
Dalam pengantar Tractacus,
Wittgenstein menyoroti persoalan besar kekacauan bahasa sebagai biang kerok
betapa sulitnya memahami persoalan-persoalan yang disajikan filsafat. Kekacauan
bahasa itu disebabkan oleh kesalahpahaman dalam penggunaan bahasa logika, yang
mengakibatnya tidak adanya “tolak-ukur” yang dapat menentukan apakah suatu
ungkapan filsafat itu bermakna dan kosong belaka. Karena itu, menurut
Wittgenstein, harus dibuat kerangka bahasa logika sebagai dasar dalam
berfilsafat.
1.
Proposisi
sebagai alat bahasa. Proposisi diterjemahkan sebagai “gambaran realitas.Proposisi merupakan hal mutlak yang diperlukan untuk
mendukung “sebuah ungkapan yang bermakna”) yang menunjuk pada suatu bentuk peristiwa
atau pun keberadaan suatu peristiwa (states of affairs).
Dengan demikian, sebuah ungkapan
baru bisa diterima sebagai proposisi bila berhasil menunjukkan pengertian
tertentu dan terang tentang suatu realitas, sehingga seseorang yang dihadapkan
pada proposisi itu akan bisa mengatakan “iya” atau tidak” untuk menyetujui
realitas yang dikandungnya. Ini mengandung konsekuensi bahwa ungkapan atau
penyataan filsafat apa pun yang tidak memenuhi syarat proposisi tersebut harus
dinyatakan sebagai tidak bermakna karena gagal logika, bukan “benar atau
salah”, lantaran menjadi upaya yang sia-sia belaka untuk memahami suatu
ungkapan yang tidak logis. Inilah yang pungkasnya oleh Wittgenstein dinyatakan
dengan tegas sebagai keharusan untuk membangun kesesuaian antara struktur
bahasa dengan struktur realitas.
2.
Fakta
yang dikandung realitas. Sebagaimana Russel yang mengenalkan istilah isomorfi
(kesesuaian), Wittgenstein meyakini bahwa diperlukan hubungan mutlak antara
bahasa (proposisi) dengan realitas atau dunia fakta. Suatu fakta realitas
haruslah dikandung oleh obyek perbincangan dalam bahasa dengan pengertian yang
jelas.
Di
sinilah pentingnya untuk menggunakan bahasa logika yang sempurna, agar setiap
pemakaian alat-alat bahasa (kata dalam kalimat) mempunyai suatu fingsi saja dan
setiap kalimat hanya mewakili suatu keadaan faktual saja. Dan suatu bahasa baru
bisa dinyatakan memenuhi bahasa logika yang sempurna apabila mengandung aturan
sintaksis yang terang (proposisi) dan mempunyai simbol tunggal dengan makna terbatas
(terang, fakta yang dikandung realitas).
Kesesuaian antara penggunaan alat
bahasa (gramatikal) dan makna yang dikandung obyek realitas yang
diperbincangkannya (semantik) akan memudahkan siapa pun dalam memahami sebuah
ungkapan filsafat (proposisi), karena pengertian yang dinyatakannya
menggambarkan dengan jelas fakta yang dikandung realitas itu. Ada tiga aspek
yang ditulis Wittgenstein yaitu :
a.
Teori Gambar
Fungsi Teori Gambar terletak pada
kesesuaian antara unsur-unsur gambar dengan sesuatu dalam realitas. Hal itulah
yang sangat ditekankan oleh Wittgenstein, sehingga kita bisa saja membalik arti
kiasannya (analogi), dengan mengatakan bahwa proposisi itu berfungsi seperti
sebuah gambar karena ada hubungan yang sesuai antara unsur-unsur gambar itu
dengan dunia fakta. Cara ini dilakukan dengan menggabungkan bagian-bagian
proposisi, di mana struktur proposisi menggambarkan kemungkinan bagi kombinasi
unsur-unsur dalam realitas: yaitu suatu kemungkinan mengenai keadaan faktual
atau suatu bentuk peristiwa.”
Dari paparan Wright tersebut, bisa
dipahami bahwa kata kunci dalam Teori Gambar Wittgenstein adalah tentang
hubungan antara proposisi yang diungkapkan melalui bahasa dengan realitas
keberadaan suatu peristiwa.
b.
Atomisme logis.
Untuk memahami konsep atomisme logis
Wittgenstein, coba perhatikan ilustrasi ini. Sebuah pintu merupakan satu bagian
dari beragam bagian dari sebuah rumah, mulai dari keberadaan dinding, jendela,
kaca, atap, lantai, dan sebagainya. Setiap bagian atau obyek yang membentuk
bangunan rumah itu saling berhubungan, memiliki interralasi. Maka memahami
rumah sebagai sebuah realitas bukanlah terletak pada berapa obyek yang
menopangnya, tapi bagaimana obyek-obyek kecil itu memiliki interrelasi dan
keadaan hubungan kausalitas, kuantitas, dan kualitas dalam ruang dan waktu. Obyek-obyek
pembangun realitas itulah yang dimaksudkan sebagai atomisme oleh Wittgenstein,
atau ada juga yang mengistilahkannya sebagai “proposisi elementer”. Pintu,
dalam ilustrasi tersebut, adalah fakta atomis.
Menurut Wittgenstein, dunia ini harus
diterangkan dan dijelaskan dalam bagaimana obyek-obyek atomis itu berhubungan
dan berada di antara satu dengan lainnya. Dunia ini terdiri dari fakta-fakta
yang keseluruhannya saling berhubungan (totalitas fakta). Kompleksitas fakta itu
jika diuraikan terus-menerus akan kian mengecil, hingga kemudian fakta
terkecil, yang tidak bisa dipecah lagi, dan itulah fakta atomis.
c. Konsep
formal dan konsep nyata.
Pembeda paling terang antara konsep
formal dan konsep nyata dalam filsafat Wittgenstein ialah pada struktur
logikanya. Jika konsep nyata berhubungan langsung dengan sebuah realitas yang
jelas, terarah, dan langsung terpahami, sebaliknya konsep formal menunjuk pada
suatu variable yang baru akan terpahami jika “diisi” oleh konsep nyata. Cara
mudah untuk menguji apakah sebuah ungkapan itu
B. Wittgenstein II: Bahasa Biasa dan Tata Permainan
Bahasa (Language Game)
Wittgenstein
II sangat terkenal dengan semboyannya: “Makna setiap kata tergantung
penggunaannya dalam bahasa, dan makna sebuah bahasa tergantung penggunaannya
dalam kehidupan.” Ada dua fase pokok dalam masa Wittgenstein II yang harus
diperhatikan untuk mendapatkan pembedaan pemahaman dengan masa Wittgenstein I
yaitu :
1. Filsafat
bahasa biasa (ordinary language philosophy).
Munculnya
filsafat bahasa biasa dipicu oleh kebimbangan terhadap kegagalan bahasa logika
dalam menjelaskan jubelan realitas. Wittgenstein menyadari bahwa kelemahan
mendasar bahasa logika ialah tidak mampu menyentuh seluruh realitas yang tampak
nyata dalam kehidupan sehari-hari. Wittgenstein mengalihkan perhatiannya pada
keanekaraman bahasa biasa dan cara penggunaannya, yang memproduksi keragaman
makna nyata. Jika dibandingkan dengan masa Wittgenstein I, era Wittgenstein II
berubah haluan dalam tiga prinsip sekaligus yaitu :
·
Bahwa bahasa dipakai
hanya untuk satu tujuan saja, yakni menetapkan keadaan faktualnya (state of
affairs).
·
Bahwa kalimat
mendapatkan maknanya dengan satu cara saja, yakni menggambarkan suatu keadaan
faktual.
·
Setiap jenis bahasa
dapat dirumuskan dalam bahasa logika yang sempurna, meskipun pada pandangan
pertama barangkali sukar untuk dilihat. Wittgenstein telah meletakkan pondasi
besar tentang filsafat bahasa biasa sebagai antitesis terhadap bahasa
logikanya.
2. Tata
permainan bahasa (language game).
Wittgenstein
menjelaskan tentang tata permainan bahasa melalui ilustrasi berikut: “Suatu
permainan haruslah ditentukan oleh aturan. Kemudian jika dalam permainan catur
telah ditentukan sebelumnya bahwa “buah raja” memegang peranan yang sangat
penting, maka tentu jelas itu merupakan bagian yang esensial dalam permainan
tersebut. Apakah kita boleh menyalahi aturan yang telah ditentukan di sini?
Pelanggaran itu hanya menunjukkan bahwa kita tidak mengetahui petunjuk yang
sebenarnya tentang aturan permainan itu. Barangkali kita juga tidak dapat
memahami dengan baik petunjuk permainan yang menggariskan agar kita berpikir
tiga kali (berpikir tiga langkah ke depan) sebelum menggerakkan setiap biji
catur. Jika kita melihat penerapan peraturan ini di atas papan catur, maka
tentu kita akan merasa kagum dan tahu maksud atau tujuan suatu aturan
permainan…” Permainan catur baru akan menemukan maknanya sebagai sebuah
permainan jika seperangkat aturannya diindahkan. Tanpa mengikatkan diri pada
tata aturan permainan itu, maka permainan catur, dan segala permainan lainnya,
akan kehilangan maknanya. “Tata aturan”, begitulah poinnya, seperangkat aturan
yang melingkari sebuah permainan, termasuk dalam bahasa. Bahasa pun memiliki
seperangkat tata aturannya yang darinya kemudian lahir makna yang terang dan
jelas tentangnya. Jika tata permainan bahasa ini diabaikan, maka bahasa akan
kehilangan makna terangnya. Karena itulah, untuk mendapatkan makna yang terang,
bahasa tidak boleh dilepaskan dari tata aturan permainnanya. Wittgenstein
mengistilahkan hal ini sebagai tata permainan bahasa (language game).
Oleh karena itu,
mustahil untuk membangun dan menerapkan sebuah tata aturan permainan bahasa
tunggal dan umum. Inilah prinsip utama pemikiran Wittgenstein II, yang sangat
bertentangan dengan pemikiran utama Wittgenstein I.Wittgenstein menguraikannya
dalam peta berikut:
Pertama, pola
penggunaan istilah atau ungkapan dalam bahasa filsafat yang tidak sesuai dengan
tata aturan permainan bahasa.
Kedua, kecenderungan
untuk mencari pengertian yang bersifat umum dengan merangkum pelbagai gejala
yang diperkirakan mencerminkan sifat keumumannya. Wittgenstein mengistilahkannya
sebagai “craving for generality” (ketunggalan dalam kamajemukan), yaitu
kecenderungan mencari sesuatu yang umum pada semua satuan konkret yang
dihimpunkan di bawah suatu istilah umum, atau, mencari satu kesatuan pengertian
dalam keanekaragaman, kesamaan dalam perbedaan, dan ketunggalan dalam
kamajemukan.
Ketiga, kecenderungan
melakukan penyamaran pengertian atau pengertian yang terselubung dalam
istilah-istilah yang tidak dapat dipahami. Ini semestinya dihindari untuk
digunakan agar pemikiran yang dimaksudkan tidak terkungkung dalam
keterselubungan maknanya sehingga tidak menjadi sebuah ungkapan yang sia-sia
belaka.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar