Sitti Nurbaya (Kasih Tak Samapai) karya Marah Rusli
merupakan salah satu roman yang paling populer di antara roman-roman dan novel
yang pernah terbit di Indonesia.
Romannya penuh dengan gagasan yang mendahului zaman saat pengarangnya masih
hidup dan berani
menggugat kekolotan kaum bangsawan, keburukan poligami, serta masalah-masalah
sosial lain dalam lingkungannya guna melahirkan sebuah reformasi sosial. Buku ini pertama kali terbit tahun
1922 oleh Balai Pustaka dan pada masanya dekenal dengan zaman Sitti Nurbaya.
JAKARTA,KOMPAS—Marah Halim bin Sutan Abubakar yang
dikenal dengan Marah Rusli lahir pada tanggal 07 Agustus 1889 di Padang,
Sumatera Barat. Ia berasal dari keluarga yang terpandang. Ayahnya bernama Abu
Bakar, seorang bangsawan dengan gelar Sultan Pangeran. Beliau bekerja sebagai
Demang. Ibunya berasal dari Jawa dan
keturunan Sentot Alibasyah, salah seorang panglima perang Pangeran Diponegoro.
Pendidikan pertama yang ditempuh yaitu Sekolah Dasar
Rakyat di Padang dengan menggunakan Bahasa Belanda sebagai pengantar, dan lulus pada tahun 1904. Setelah lulus, ia
melanjutkan studinya di Sekolah Raja yang berada di Bukittinggi, dan lulus pada tahun 1909. Marah rusli
menikah dengan seorang gadis keturunan sunda kelahiran Buitenzonrg (Bogor) pada
tahun 1911. Mereka mempunyai tiga orang anak, dua diantaranya laki-laki dan
satu perempuan. Perkawinan Marah Rusli dengan gadis sunda bukanlah perkawinan
yang diinginkan oleh orang tua Marah Rusli. Namun, Marah Rusli tetap kokoh pada
sikapnya, dan ia tetap mempertahankan perkawinannya.
Ia melanjutkan
studinya lagi di Sekolah Dokter Hewan yang berada di Bogor, dan lulus pada
tahun 1915. Pada tahun 1915-1922, ia menjadi dokter hewan di berbagai tempat di
Nusa Tenggara Barat dan Jawa Barat. Ia pernah dijadikan sebagai Ajung Dokter
Hewan. Pada tahun 1916, ia menjadi Kepala Peternakan. Pada tahun 1920, Marah
Rusli diangkat sebagai asisten dosen Dokter Hewan Wittkamp di Bogor. Karena
berselisih dengan atasannya, ia diskors selama setahun. Selama menjalani
skorsing itulah ia menulis novel Sitti
Nurbaya (Kasih Tak Sampai) pada tahun 1921.
Karirnya sebagai dokter hewan membawanya berpindah-pindah
ke berbagai daerah. Pada tahun 1923-1945, ia menjadi dokter hewan di Semarang. Tahun
1945-1949, ia menjadi dokter hewan di zaman pengungsian di Sala dan Klaten.
Marah Rusli pun bergabung dengan Angkatan Laut di Tegal dengan pangkat terakhir
Mayor. Kemudian ia kembali ke Semarang dan pensiun tahun 1951.
Tahun 1952-1960, ia dipekerjakan kembali sebagai dokter
hewan di Pusat Pendidikan Peternakan Bogor. Di tengah-tengah kesibukan bekerja,
ia menggauli dunia sastra. Kesukaanya dalam dunia kesusastraan sudah tumbuh
sejak kecil. Ia sangat senang mendengarkan cerita-cerita dari tukang dongeng di
Sumatra Barat yang berkeliling kampung menjual ceritanya, dan membaca buku-buku
sastra.
Dalam sejarah sastra Indonesia, Marah Rusli tercatat
sebagai pengarang roman yang pertama dan diberi gelar oleh H.B Jassin sebagai
Bapak Roman Modern Indonesia. Sebelum muncul bentuk roman Indonesia, bentuk
prosa yang biasanya digunakan adalah hikayat.
Marah Rusli berpendidikan sangat tinggi dan buku-buku
bacaannya banyak yang berasal dari luar negeri yang menggambarkan kemajuan
zaman. Kemudian dia melihat bahwa adat yang melingkupinya tidak sesuai dengan
perkembangan zaman. Oleh karena itu muncullah pemberontakan dalam hatinya yang
dituangkan kedalam karyanya, Sitti
Nurbaya (Kasih Tak Sampai). Ia ingin melepaskan masyarakat dari belenggu
adat yang tidak memberi kesempatan bagi yang muda untuk menyatakan pendapat
atau keingginannya.
Dalam cerita Sitti
Nurbaya (Ksih Tak Sampai), telah diletakkan landasan pemikiran yang
mengarah pada emansipasi wanita. Cerita itu membuat wanita mulai memikirkan akan
hak-haknya. Apakah ia hanya menyerah karena tuntutan adat bahkan tuntutan orang
tua ataukah ia harus mempertahankan yang diinginkannya? Cerita ini menggugah
dan meninggalkan kesan yang mendalam kepada pembacanya. Kesan itulah yang terus
melekat hingga sampai sekarang.
Marah Rusli meninggal dunia pada tanggal 17 Januari 1968,
dimakamkan di Bogor. Selain mengarang, Marah Rusli juga mempunyai hobi
berolahraga, musik, melukis, dan sandiwara. Karya-karyanya yang lain
diantaranya Anak Dalam Kemenakan, La
Hami, Memang Jodoh, dan Gadis Yang Malang (terjemahan dari novel Charles
Dickens).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar