Rabu, 08 Mei 2013

ALIRAN-ALIRAN DAN TOKOH UTAMA STRUKTURALISME HINGGA SEMIOTIK TEKS


BAB II
PEMBAHASAN
A.    Strukturalisme, Posstrukturalisme, dan Neostrukturalisme
1.   Strukturalisme dalam linguistik
Linguistik strukturalime memainkan peran patron general strukturalisme, suatu peran yang telah diprediksikan oleh Saussure bagi linguistik berkenaan dengan semilogi, dalam linguistik dibedakan dua strukturalisme, yaitu strukturalisme Eropa dan Amerika. Dasar-dasar strukturalisme Eropa dikemukakan oleh Saussure dan Hjemslev yaitu mengenai para ahli linguistik Praha.
Sebagai kelanjutan genealogi ini, strukturalis Perancis A. Martinet harus disebutkan disini tesisnya tentang pengartikulkasian bahasa secara ganda memainkan peran penting dalam perkembangan yang mengarah dari strukturalisme ke semiotik . Teori strukturalis bahasa yang dibawakan Jacobson membawa pengaruh perkembangan paling langsung pada perkembangan strukturalimse Perancis. Berbeda halnya dengan penganut strukturalisme yang murni, yakni Saussure dan Hjemslev, aliran Praha tetap menolak untuk menganggap bahwa sebagai suatu sistem sinkronis bentuk asli yang terpisah. Pendekatan mereka terhadap struktur bahasa didasarkan pada istilah-istilah kunci dan komunikasi.
Para ahli linguistik aliran praha seperti Vachek, Dudrot dan Todorof telah menetapkan pendekatan mereka sendiri sebagai strukturalisme fungsional. Inti kontribusi aliran praha terhadap linguistik terletak pada bidang fonologi. Penemuan ciri-ciri desain sebagai atom-atom bahasa dan prinsip-prinsip fungsional analisis fonologis memberikan kontribusi secara signifikan terhadap penelitian struktural sistem tanda, tetapi kontribusi aliran praha terhadap semiotik tidak terbatas pada lingusitik saja. Jacobsson, Mukadovsky, dan yang lain-lain merupakan orang-orang yang memberikan kontribusi yang berpengaruh terhadap estetika.
1.1  Fungsi, Komunikasi, dan Sistem
Diantara inovasi-inovasi progamatis para ahli linguistic aliran Praha merupakan upaya mereka untuk mengatasi perbedaan tajam antara statika dan dinamika dalam linguistik sinkronis dan diakronis. Bahasa dideskripsikan sebagai suatu sistem fungsional yang berguna untuk tujuan komunikasi. oleh karena itu, sistem bahasa tidak dapat tetap bersifat statis, tetapi harus mempertahanakan keseimbangan yang dinamis. Pendekatan dinamis terhadap bahasa juga diperluas untuk mengkaji sintaks (struktur kalimat) dan teks. Dalam teori perspektif kalimat fungsional, analisis dilakukan terhadap distribusi unsur-unsur informasi yang diberikan dan yang baru dalam kalimat dan teks. Dsitribusi dinamis dan kemajuan unsur-unsur dalam teks ini dideskripsikan sebagai dinamisme komunikasi.
1. 2Penemuan fonem
Penelitiannya dalam bidang fonologi, Turbetzkoy menjadi penemu struktur atom bahasa yang memperkenalkan perbedaan antara fonologi dan fonetik. Fonetik adalah kajian bunyi-bunyi materiil dan pengartikulasian dalam tuturan (parole) apapun sifat-sifat sistemiknya. Fonologi (para ahli linguistik Amerika lebih memilih fonemik) mengkaji bunyi-bunyi suatu bahasa sebagai unsur-unsur fungsional dalam sistem bentuk dan isi (langue). teori ini sependapat dengan Sasussure yang membedakan antara langue dan parole.
Dari sudut pandang fonetis, sejumlah perbedaan fonetis yang hamper tak terbatas dapat ditemukan dalam analisis terhadap bunyi-bunyi yang benar-benar diucapkan (yang kemudian yang disebut phone) fonologi mereduksi perbedan-perbedaan ini menjadi perbedaan-perbedaan yang memainkan peran fungsioanal dalam sistem tersebut, yakni apa yang disebut oposisi fonologis. Kriteria fungsionalitas merupakan efek perbedaan-perebedaan terhadap makna efek ini dites dengan menggunakan penggantian bunyi dalam konteksnya (tes komutasi) kelas-kelas bunyi yang komutasinya (saling bergantian) dalam kata-kata menyebabkan perbedaan makna disebut fonem, misalnya kata KUCING yaitu berasal dari fonem /K//U//C//I//N//G/ apabila fonem-fonem tersebut diubah akan menyebabkan perbedaan makna.
1. 3 Prinsip kejituan analisis etik ke analisis emik
Kejituan (relevansi) mengacu pada ciri keberbedaan dalam suatu sistem. Prinsip ini menuntut pembedaan tingkat-tingkat analisis yang berbeda. Relevansi pada sistemik pada tataran fonem dapat diputuskan hanya dengan mengacu pada tataran struktur linguistik yang lebih tinggi pada tataran morfem (morfologi, dan semantik), karena hanya perbedaan semantik dalam komutasi membuktikan relevansi sistemik perbedaan fonetis.
Pike (1967) dalam buku semiotik memperkenalkan istilah etik dan emik, etik dari kata fonetik bersifat nonstruktural dan mengkaji fenomena-fenomena dalam struktur lahirnya, sedangkan emik berasal dari fonemik dan akhirnya dari kata sistemik. Pendekatan emik dalam fenomena semiotik menganggap unsur-unsur sistem tanda dalam kaitannya dengan fungsinya dalam kode.
1. 4 Ciri-ciri yang berbeda dalam oposisi-oposisi biner
Jakobson mereduksi fonem-fonem menjadi sistem ciri-ciri yang berbeda dalam oposisi-oposisi biner. Di dalam sistem biner ciri-ciri yang berbeda, setiap fonem secara struktural dikarakterisasikan oleh ciri-ciri yang dimilikinya. Jakobson sendiri mengembangkan prinsip-prinsip analisis ciri yang berbeda terhadap morfologi.


STRUKTURALISME AMERIKA
Dasar-dasar strukturalisme Amerika telah dikemukakan oleh Bloomfield (1933) dan dengan Haris (1951) pada buku semiotic, metodologi strukturalis dalam linguistik Amerika mencapai puncaknya. Dua karakteristik utama pendekatan-pendekatan terhadap bahasa ini adalah deskriptivisme, antimentalistik dan distribusionalisme .
DESKRIPTIFISME ANTIMENTALISTIK
Aliran linguistik Bloomfield bersisat antimentalistik dan lebih memilih pendekatan behavioristik terhadap bahasa tidak ada fakta-fakta mental internal seperti gagasan, konsep, atau niat yang harus dipertimbangkan dalam analisis semiotik.
DISTRIBUSIONALISME
Merupakan pendekatan kaum strukturalis Amerika terhadap aspek-aspek system bahasa. Distribusi adalah kejadian unsur-unsur bahasa dalam lingkungan linguistiknya yang pas. Unsur-unsur ini ditentukan menurut tipe-tipe konteksnya.
Antropologi Struktural Levi Strauss
Fonologi sebagai paradigm ilmu manusia
Levi straus menemukan fonologi strucKtural dan menjadi yakin bahwa linguistik struktural harus menjadi patron general ilmu tentang manusia. Ia berpendapat bahwa sesungguhnya linguistik struktural dapat memainkan peran yang sama berkenaan dalam kaitannya dengan ilmu-ilmu sosial. Levi Strauss memperoleh keempat prinsip analisis berikut: (1) perubahan dari kajian terhadap fenomena-fenomena kesadaran ke kajian infrastruktur bawah sadar, (2) perubahan dari istilah-istilah tersebut ke hubungan-hubungan antara istilah-istilah tersebut, (3) kajian terhadap sistem tersebut secara keseluruhan, dan (4) penemuan hukum-hukum yang bersifat umum di dalam sistem. Levi Strauss menekankan karakter inovatif pendekatan struktural dalam berbagai ilmu pengetahuan tentang manusia. Tema yang selalu muncul dalam berbagai kajiannya adalah analogi struktural antara bahasa dan kebudayaan.
Struktur-struktur kekerabatan
Sistem-sistem kekerabatan mengungkapkan aturan-aturan perkawinana terlarang. Dalam sistem-sistem ini, Levi staruss memisahkan unit-unit kekerabatan terkecil sebagai struktur-struktur dasar suatu masyarakat. Namun, struktur-struktur ini tidak diberikan secara biologis, tetapi mewakili simbolisme kulturalisme.
FORMALISME RUSIA, ALIRAN PRAHA DAN SEMIOTIK SOVIET
-          Formalism Russia
Tujuan kalangan formalis adalah untuk mengembangkan suatu pendekatan ilmiah terhadap sastra dan seni. Para penentang kalangan Formalis menuduh aliran ini hanya menaruh perhatian terhadap bentuk dan mengabaikan dimensi isi. Seni dan puisi dikaji sebagai sistem-sistem yang otonom yang menarik perhatian terhadap dirinay sendiri dan tidak dapat direduksi pada isinya. Menurut Sklovskij (1916), piranti seni memiliki fungsi sentral untuk “membuat aneh”, menyebabkan pembaruan persepsi terhadap latar belakang proses otomatisasi di mana kita menjadi terbiasa dengan tindakan-tindakan dan persepsi-persepsi sehari-hari. Berbagai pertimbangan pragmatis dan fungsional terhadap seni ini menunjukkan bahwa kalangan Formalisme mengembangkan analisis mereka di luar tataran ekspresi bentuk. Dalam kontribusi mereka terhadap narativitas, kalangan formalism bahkan tertarik pada struktur-struktur isi. Salah satu konsep yang paling berpengaruh dalam bidang ini adalah pembedaan antara cerita dan alur cerita yang diajukan Sklovkijj.
-          Semiotik teks aliran praha
Para ilmuwan seperti B. Havranek, R. Jakobson, J. Veltrusky, F. Vodicka, dan sebagai tokoh utama, Jan Mukarovsky, mengembangkan sebuah teori estetika dan sastra dengan unsure-unsur semiotic khusus.  Strukturalis Praha mengembangkan konsep struktur yang dinamis, struktualis praha menekankan pendekatan fungsional terhadap kebudayaan, Strukturalis Praha mengembangkan analisis mereka dari ekspresi linguistic ke struktur-struktur isi
-          Semiotik Soviet
Dua pusat penelitian yang dominan di Soviet adalah Moskow dan Tartu, Estonia. Pusat-pusat penelitian ini juga dikenal sebagai Moscow-Tartu Semiotics School. Semiotik Soviet berkembang dari proyek-proyek sebelumnya dalam terjemahan mesin. Proyek ini terus mengembangkan semiotic dengan landasan yang kuat dalam informasi, komunikasi, dan teori system. Karakteristik penelitian semiotic Soviet adalah semantisasi bentuk ekspresi. 
Semiotik Teks Barthes
  1. Konotasi dan metabahasa
Barthes (1957; 1964a; 1967b) mendefiniskan tanda sebagai suatu sistem yang terdiri atas hurf E, expression= ekspresi (atau signifier= penanda), in relation (R) to (dalam hubungannya dengan) C, content = isi (atau signified =petanda) : ERC. Sistem tanda primer semacam ini dapat menjadi unsur sistem tanda yang lebih komprehensif jika perluasan tersebut adalah perluasan isi, tanda primer (E1R1C1) menjadi ekspresi tanda sekunder: E2 (=E1R1C1) R2C2  (Barthes 1964a: 89). Dalam hal ini, tanda premier tersebut adalah tanda semiotik denotatif sedangkan tanda sekundernya adalah tanda semiotik konotatif. (dalam Noth, 2006: 315)


 







Ekspresi2
 
Isi 2
Ekspresi1                                                                     isi1
 
metabahasa
 
Tanda sekunder
 
Gambar B 2. Model Konotasi Barthes sebagai perluasan semantik tanda denotatif (cf. Barthes 1957: 115; 1964b: 28) (dalam Noth, 2006: 315)






(R2)
 


 



Gambar B 3. Model metabahasa Barthes (1964a: 90) (dalam Noth, 2006: 315)
Dalam tanda-tanda metalinguistik (cf. Gambar B3 ), dimana sistem primernya adalah bahasa objek, dan sistem sekundernya terdiri atas metabahasa. (dalam Noth, 2006: 315)
  1. Mitologi dan ideologi
Dalam Mythologies-nya  (1957: 131), dia mendefinisikan sistem-sistem makna sekunder semacam ini sebagai mitos (q. V. 3.). kemudian, Barthes mendeskripsikan bidang konotasi ini sebagai bidang ideologi (q. V. 2. 1. 1). Media massa menciptakan mitologi-mitologi atau ideologi-ideologi sebagai sistem-sistem konotatif sekunder dengan berupaya memberikan landasan kepada pesan-pesan mereka dalam alam, yang dianggap sebagai sistem denotatif primer (cf. Ibid.) (dalam Noth, 2006: 316)
  1. Penelitian dalam sistem semiotik
Dalam The Fashion System (1967b), Barthes melakukan usaha yang terperinci dan pada saat yang sama melakukan upaya yang dapat dicontoh untuk mengkaji sistem tanda di luar lingkup bahasa dan sastra. Objek kajian ini adalah mode (pakaian) di Prancis menurut dua majalah tahub 1958—1959. Ciri-ciri utama pendekatan strukturalis semiotiknya dapat dirangkum sebagai berikut:
1.      Sesuai dengan prinsip-prinsip strukturalisme linguistik, Barthes memilih bentuk tertutup (yakni, majalah mode satu musim) agar dapat mengaitkannya dengan analisis sinkronis.
2.      Metode-metode linguistik struktural, seperti analisis distribusional dan tes komutasi, diterapkan pada data-data analisis tersebut agar dapat menentukan ciri-ciri sistem mode yang selalu ada dan atau yang berbeda.
3.      Analog dengan dikotomi Saussure antara langue dan parole, Barthes membedakan antara kode vestimenter (keagamaan), yakni sistem unsur-unsur dan kaidah-kaidah mode, aktualisasi individunya dalam garmen. 
... . Mode adalah “sistem semantik yang tujuan satu-satunya adalah untuk merongrong makna yang diuraikannya begitu berlebihan. [...] Tanpa isi, mode [...] membuat sesuatu yang tidak signifikan menjadi berarti” (Barthes 1967b: 269, 288). (Dalam Noth, 2006: 316—317)
  1. Sistem objek sebagai sistem sekunder
Barthes berpendapat bahwa pakaian pada majalah mode dapat bermakna di luar tataran dasar tertentu hanya karena uraian-uraiannya mengarahkan perhatian pembaca pada ciri-ciri pakaian tertentu, dan penjelasan-penjelasannya hanya menghasilkan makna dengan “mengurangkan penanda-penandanya” dari objek-objeknya dan dengan “menyebutkan petanda-petandanya” (Barthes 1967b: xi; 1964a: 10). (Dalam Noth, 2006: 317)
  1. Hubungan antara linguistik dan semiotika
Barthes menyimpulkan bahwa “ linguistik bukan bagian dari ilmu tanda secara umum, bahkan bukan merupakan bagian yang istimewa, ia  merupakan semiologi yang merupakan bagian dari linguistik” (1964a: 11). (Dalam Noth, 2006: 317)
  1. Barthes tentang keterbatasan semiotik strukturalis
Dengan membedakan antara “semiologi [...] sebagai ilmu tanda yang positif” dan “semiologi saya” (ibid. : 471), dia mendeskripsikan bahasa sebagai sebuah sistem yang menindas, sastra sebagai pemberontakan terhadap bahasa, dan semiotika sebagai aktivitas kreatif:
Semiologi [...] tidak bertumpu pada “semiofisis,” suatu kealamiahan tanda yang tak berdaya, dan ia juga bukan merupakan “semioklastri,” yakni penghancuran terhadap tanda. Malahan, [...] ia merupakan semiotropi: yang berubah ke arah tanda, semiologi ini terperangkap oleh dan menerima tanda, memperlakukannya, dan jika perlu, menirukannya sebagai kacamata imajiner. Singkat kata, ahli semiologi adalah seorang seniman ... .(ibid.: 474—475). (Dalam Noth, 2006: 318)
Semantik Struktural Greimas dan proyek Semiotik Teks
  1. Proyek Semiotik Greimas
1.      Dari Strukturalis ke Semantik Struktural
Strukturalisme dalam inguistik dan dalam antropologi Levi-Strauss, serta dalam teori-teori tindakan formalis awal propp dan Souriau dalam naratif serta dalam drama telah memengaruhi semiotik Greimas. Titik tolaknya adalah berasal dari upayanya untuk menerapkan metode-metode penelitian mulai dari linguistik struktural (fonologi, semantik, dan sintaksis) hingga analisis teks, yang didefinisikan Greimas sebagai wacana. Kerangka linguitiknya ditentukan oleh konsep struktur Saussure sebagai perbedaan, prinsip perlawanan  biner dsn keberbedaan fonologi fungsional, dan model tanda glosematik Hjelmselve (cf. Greimas 1974a: 58). (Dalam Noth, 2006: 320)
2.      Konsep Semiotik Greimas
Terhadap Pierce, Greimas & Courtes mengajukan keberatan terhadap konsep semiotik sebagai teori tanda. Menurut mereka, semiotik harus merupakan “teori penandaan” yang “dapat beroperasi hanya bila ia menempatkan analisis-analisisnya pada tataran dan yang lebih rendah daripada tanda”(1979: 287, 147). (Dalam Noth, 2006: 320)
  1. Model Analisis Wacana Generatif
1.      Lintasan Generatif
Lintasan generatif mendeskripsikan pemroduksian wacana ekonomi sebagai sebuah proses yang berkembang dalam berbagai macam tahap, yang masing-masing memiliki subkomponen sintaksis dan semantik . ... . Seluruh lintasan mendeskripsikan struktur-struktur “yang mengaturpengorganisasian wacana sebelum terwujud dalam bahasa alam tertentu (atau dalam sistem semiotik non-linguistik): Greimas & Courtes 1979: 85). (Dalam Noth, 2006: 320)
2.      Struktur-struktur Semio-Naratif
Struktur semio-naratif mendeskripsikan kompetensi semiotik struktur-struktur taksonomis dan sintagmatis yang membentuk tata bahasa fundamental, yang dapat diperbandingkan dengan langue-nya Saussure atau competence-nya Chomsky ... .Pada  tataran batin [deep level], semantik fundamental mengandung kategori-kategori semantik yang membentuk struktur-struktur dasar penandaan, dan sintaksis fundamental mengandung berbagai hubungan transformasi yang membentuk strukutur-struktur tersebut. Pada tataran lahir [surface level], sintaksis naratif menganalisis struktur sintagma-sintagma naratif dasar (yang disebut program naratif) ... . semantik naratif merupakan bidang pengaktualisasian nilai-nilai semantik, yang diseleksi dari struktur batin dan dikaitkan dengan aktan-aktan sintaksis naratif lahirnya. (Dalam Noth, 2006: 320—321)
3.      Struktur-struktur Diskursif
Struktur diskursif  “bertugas  ‘menempatkan struktur-struktur lahir (surface structure) ke dalam wacana’” (ibid. : 134). Sintaksis diskursif ... merupakan proses pengalokasian aktor-aktor naratif dalam waktu dan ruang. Semantik diskursif (ibid. 275, 344) merupakan bidang relatif yang belum teruji. Komponen tematisasi dan figurativisasi-nya mendeskripsikan jalinan-jalinan tema abstrak secara isotopik yang bisa berkaitan dengan tokoh-tokoh yang konkret. (Dalam Noth, 2006: 321—322)
  1. Penandaan dan Dunia Semantik
1.      Struktur Dasar Penandaan
Penandaan-penandaan itu dibentuk hanya oleh hubungan-hubungan. Oleh karena itu, asal-usul penandaan didefinisikan sebagai hubungan dasar yang dibentuk oleh perbedaan antara dua istilah semantik. (Dalam Noth, 2006: 322)
2.      Analisis semik
a.       Seme dipahami sebagai entitas struktural batin yang abstrak dalam deskripsi metalinguistik. Dunia seme merupakan keseluruhan kategori-kategori konseptual pikiran manusia. ... . Pengkombinasian seme-seme yang sesungguhnya ke dalam penandaan seperti yang tampak pada leksem-leksem terjadi pada tataran manifestasi. ... . Penandaan-penandaan ini, yakni pengkombinasian seme, didefinisikan sebagai sememe. Karena leksem dapat memiliki banyak seme, satu lekseme dapat memiliki beberapa sememe.
b.      Pengkombinasian Seme
Dalam sememe, Greimas membedakan dua tipe seme, seme inti, yang , mengkarakterisasikan sebuah sememe dalam kekhususannya dan membentuk unit terkecil semik permanen yang tidak terikat dengan konteks, dan seme kontekstual, yang juga disebut klaseme, yang dimiliki sememe secara umum dengan unsur-unsur lain ujaran (1966: 46—60).
c.       Tataran Semantik dan Semiologis
Seme-seme yang membentuk inti sememe terletak pada apa yang disebut tataran semiologis (atau figuratif). Seme-seme tersebut mengacu pada dunia persepsi ekstralinguistik universal (“dunia yang kasatmata”) dan membentuk tataran analisis yang paling dalam. Sistem seme kontekstual membentuk tataran dunia penandaan semantik (atau nonfiguratif, yang juga abstrak) . ... , seme konteksual mengacu pada kategori-kategori pikiran manusia.
d.      Persegi Semiotik
Karakter struktur batin persegi semantik (semantic square) ini terlihat jelas dari kenyataan bahwa keempat nilai semantiknya tidak selalu memiliki ekuivalen leksikal yang bersesuaian dalam struktur lahir.

  1. Isotopi
Dalam semantik struktural, isotopi menggambarkan koherensi dan homogenitas teks (cf. Rastier 1972; 1981, Arrive 1973, Kerbrat-Orecchioni 1976, Greimas & Courtes 1979: 163-165).
1.      Isotopi dalam Semantik Struktural
Bila suatu wacana hanya memiliki satu interpretasi, struktur semantiiknya adalah isotopi sederhana. Keserempakan (simultanitas) dua bacaan seperti dalam ambiguitas atau metafora, disebut bi-isotopi. Pelapisan beberapa tingkat semantik dalam teks disebut pluri-isotopi atau poli-isotopi (cf. Arrive 1973).
2.      Menuju Perluasan Tipologi Isotopi
Perluasan lebih lanjut terhadap konsep isotopi yang selanjutnya diajukan Rastier (1972b), yang memperluas tipologi isotopinya dari tataran ekspresi dan dengan demikian mendeskripsikan kejadian-kejadian morfologis dan fonetis secara berulang-ulang (misalnya, sajak dan asonansi) sebagai kasus-kasus isotopi. Tipologi isotopi yang berbeda diajukan oleh Eco (1984b).
Julia Kristeva
Julia Kristeva lahir di Bulgaria pada tanggal 24 Juni 1941. Saat berumur 23 tahun (pertengahan 1960- an), dia pindah ke Paris dan tinggal di sana sampai sekarang. Dia memiliki minat yang sangat besar pada bahasa dan linguistik, dan pemikirannya dipengaruhi oleh Lucian Goldmann dan Roland Barthes. Dia juga mendalami psikoanalisis Freud dan Lacan, dan berkarir sebagai seorang peneliti dan akademisi. Dia adalah seorang filosof, kritikus satra, ahli psikoanalis, sosiologis, feminis dan sekarang ia juga menjadi seorang novelis.
Kristeva bergabung dengan kelompok 'Tel Quel' pada tahun 1965, dimana dia bertemu dengan pria yang kelak menjadi suaminya, Phillipe Sollers, dan menjadi anggota aktif kelompok itu yang berfokus pada politik bahasa. Kelompok Tel Quel menganggap sejarah sebagai interpretasi teks dan tulisan sejarah hanyalah sebuah produksi politik dan bukanlah tulisan yang objektif. Artikel- artikel yang ditulis Kristeva mulai diterbitkan oleh kelompok Tel Quel dan jurnal Critique pada tahun 1967, dan pada tahun 1970 dia menjadi anggota dewan editor.
Bersama dengan Roland Barthes, Todorov, Goldmann, Gérard Genette, Lévi-Strauss, Lacan, Greimas, dan Althusser, Kristeva menjadi salah satu tokoh strukturalis ternama saat strukturalisme memegang peranan penting dalam ilmu kemanusiaan. Karyanya juga memainkan peranan penting dalam pemikiran poststrukturalisme. Penelitiannya di bidang linguistik, termasuk minatnya pada seminar yang diadakan Lacan pada tahun yang sama, dituliskan dalam karyanya Le Texte Du Roman (1970), Séméiotiké: Recherches pour une sémanalyse (1969), dan akhirnya, La Revolution du langage poetique (desertasi doktornya) pada tahun 1974. Publikasi selanjutnya membuatnya diterima menjadi anggota kehormatan linguistik di University of Paris, dan sebagai tamu kehormatan di Columbia University di New York.
Kristeva juga menunjukkan pengaruhnya dalam analisis kritik, teori budaya dan feminisme setelah menerbitkan buku pertamanya Semeiotikè pada tahun 1969. Ia menghasilkan hasil karya yang sangat banyak termasuk buku dan essay mengenai intertekstualitas, semiotika dan penolakan secara psikologis (abjection) di bidang linguistik, teori dan kritik sastra, psikoanalis, biografi dan autobiografi, analisis politik dan budaya, seni dan sejarah seni.
Dalam karyanya, Kristeva menggunakan pendekatan psikoanalis untuk kritik poststruktural. Sebagai contoh, pandangannya tentang subjek dan pembentukannya mirip dengan pandangan Sigmund Freud dan Jacques Lacan. Akan tetapi, Kristeva menolak pemahaman subjek dalam strukturalis. Sebaliknya, ia menganggap kalau subjek selalu berada “dalam proses” atau “dalam krisis.” Hal ini merupakan kontribusinya dalam kritik post strukturalis terhadap strukturalisme, sementara menerapkan ajaran psikoanalis.
Salah satu proposisi Kristeva yang paling penting adalah Semiotika (yang berbeda dengan Semiotikanya Ferdinand De Saussure). Bagi Kristeva, semiotika berkaitan erat dengan infantile pre-Oedipal yang mengacu pada pemikiran Freud, Otto Rank dan khususnya Melanie Klein dan psikoanalis British Object Relation, dan Lacanian (pre-mirror stage). Hal ini merupakan bidang emosional yang berkaitan dengan insting kita, yang berada dalam nadi dan unsur prosodi (suprasegmental) bahasa, dan bukan berada dalam arti denotasi dari kata- kata. Dalam artian ini, semiotika melawan simbol, yang menghubungkan kata- kata dengan arti dalam arti matematis dan lebih sempit. Dia juga terkenal karena konsep abjection (ide yang berkaitan dengan kekuatan psikologis utama berupa penolakan, yang diarahkan terhadap figur ibu), dan intertekstualitas.
III. Kristeva dan feminisme
Walaupun Kristeva tidak pernah menyatakan tulisannya sebagai tulisan feminis, banyak feminis yang menggunakan karya Kristeva untuk memperluas dan mengembangkan berbagai macam diskusi dan debat tentang teori dan kritik feminis. Tiga pemikiran Kristeva yang dianggap penting oleh teori feminis adalah sebagai berikut:
  1. Usaha Kristeva untuk memasukkan kembali tubuh ke dalam wacana ilmu kemanusiaan;
  2. Fokus Kristeva pada pentingnya maternal dan preoedipal dalam pembentukan subjektivitas; dan
  3. Ide Kristeva tentang penolakan sebagai sebuah penjelasan untuk penindasan dan diskriminasi.
Julia Kristeva adalah salah seorang tokoh feminis Perancis yang juga dianggap sebagai tokoh feminis posmodern. Sebagai seorang filosof, kritikus satra, ahli psikoanalis, sosiologis, feminis dan juga novelis, ia telah menghasilkan banyak tulisan yang digunakan untuk memperluas dan mengembangkan berbagai macam diskusi dan debat tentang teori dan kritik feminis. Tiga pemikiran Kristeva yang dianggap penting oleh teori feminis adalah sebagai berikut: Usaha Kristeva untuk memasukkan kembali tubuh ke dalam wacana ilmu kemanusiaan; Fokus Kristeva pada pentingnya maternal dan preoedipal dalam pembentukan subjektivitas; dan ide Kristeva tentang penolakan sebagai sebuah penjelasan untuk penindasan dan diskriminasi.
ECO
UMBERTO Eco merupakan salah seorang novelis kontemporer paling terkemuka di dunia. Novelnya The Name of the Rose legendaris dan mengukuhkan dirinya sebagai penulis utama sastra posmodern. Sebagai bestseller terbitan 1983 di Italia, buku itu masih mudah dijumpai dan jadi salah satu standar fiksi jenis thriller. Hampir semua kritik mengakui bahwa The Name of the Rose merupakan karya dia yang paling terkenal sekaligus enak dinikmati, sebab novel itu bisa tampil sebagai karya yang bermanfaat dan menghibur pembaca.
Namun bagi sebagian pihak, Eco merupakan filsuf ahli semiotika—sains tentang tanda dan simbol. Di kedua ranah tersebut dia sama-sama terkemuka, hingga sulit menentukan apa dia lebih terkenal sebagai novelis atau cendekiawan. Sebenarnya di luar itu dia juga ahli sastra dari abad pertengahan, kritikus budaya populer yang produktif dan tajam. Namun lebih dari itu, sejumlah karyanya memberi sumbangan amat penting dan karena itu berpengaruh kuat di ranah masing-masing.
Umberto memberi sumbangan pemikiran orisinal pada semiotika; secara bergurau dia memelesetkan semiotika sebagai “ilmu berbohong.” Tulis dia, “Semiotika ialah studi tentang segala yang bisa diambil secara signifikan sebagai pengganti (tanda) untuk sesuatu yang lain. Yang lain ini tidak perlu ada atau benar-benar di suatu tempat persis ketika sebuah tanda menggantinya. Maka pada prinsipnya semiotika merupakan disiplin untuk mempelajari segala sesuatu yang bisa digunakan untuk berbohong. Jika sesuatu gagal digunakan untuk menceritakan kebohongan, sebaliknya ia gagal digunakan untuk menceritakan kebenaran—bahkan tentu mustahil ia bisa digunakan untuk bercerita apa pun. Saya pikir definisi sebagai teori untuk berbohong harusnya ditempuh sebagai program yang cukup komprehensif bagi semiotika secara umum.”
Tanda (sign) dan simbol (symbol) merupakan sesuatu yang kompleks dan sulit. Di satu sisi semiotika bukan berarti bisa menyangkut segala-galanya, tanda dan simbol ternyata tidak melulu berupa teks (tertulis), melainkan bisa mulai dari proses alamiah komunikasi spontan hingga ke sistem budaya yang kompleks, kode, komunikasi visual, dan komunikasi massa. Di sinilah karyanya Opera Aperta (1962) menjadi landasan yang mengundang pembaca (pemirsa) agar terlibat lebih aktif menafsirkan dan kreatif.
Di fiksi pun demikian, dia telah menulis lima novel yang semua merupakan pergulatan mental dan pemikiran yang disampaikan dalam dunia fiktif dan imajinatif, namun dengan telak mempertanyakan agama, sejarah, analisis teks alkitab, dan penafsiran tentang kebenaran. Novel keduanya Foucault`s Pendulum (1988), disebut Jane Sullivan sebagai “Da Vinci Code milik orang cerdas”, membahas adanya konspirasi kelompok jahat rahasia berkedok agama yang hendak menguasai dunia dan terkait sisa-sisa peninggalan bersejarah Knights Templar—sebuah ordo militer Kristen di zaman Perang Salib I. Fiksi terakhirnya ialah La Misteriosa Fiamma Della Regina Loana (2004). Umberto bahkan masih sempat menulis cerita anak, bekerja sama dengan ilustrator Eugenio Carmi, antara lain I tre Cosmonauti (Tiga Astronot) dan Gli Gnomi di Gnu.
Pergumulan Umberto yang begitu intens dengan berbagai macam teks dengan baik menggambarkan konsep intertektualitas, yakni keterkaitan segala jenis karya sastra sekaligus menerapkan bangunan gagasan bernama opera aperta (karya terbuka), dipadankan dengan konsep teks tertutup dan terbuka (open and closed texts). Dia mengkaji teks dari zaman pertengahan hingga zaman internet, sementara di rumah dia mengoleksi lebih dari 50.000 judul—yang disimpan di rumah keluarga dan rumah liburan. Keterkaitan teks dalam semua karyanya bisa sangat imajinatif sekaligus kreatif, melibatkan tokoh faktual, tokoh fiktif, termasuk menghadirkan tokoh fiktif dengan karakter berdasar tokoh sejarah.***

Sabtu, 04 Mei 2013

PENDEKATAN PARAFRASTIS DAN ANALITIS PADA PUISI


Kata Pengantar

Asalammualaikum Wr.Wb
Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan nikmatnya kepada penulis untuk menyelesaikan makalah tentang Pendekatan Parafrastis dan Analitis pada Puisi Tidak terlupakan penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada pihak-pihak yang telah membantu menyelesaikan makalah ini, antara lain :
1.      Maulfi Syaiful Rizal, M. Pd  sebagai dosen pengampu matakuliah Apresiasi Puisi.
2.      Orang tua yang senantiasa mendoakan.
3.      Teman-teman Kelas A Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia yang telah memberikan motivasi.
Penulis sadar bahwa makalah ini masih jauh dari kesempurnaan, oleh karena itu  penulis mengharapkan saran dan kritiknya.
 Wasalammualaikum Wr.Wb   









      Malang, 26 April 2013

Intan Suryana, Pipit Rohmatul dan Yanuar Handhika Putra


I.                   PENDAHULUAN
1.1  Latar Belakang
Rendahnya kemampuan pemahaman terhadap sebuah karya puisi menuntut adanya pendekatan yang relevan dalam pengajarannya. Hal ini berhubungan dengan  kurang bervariasinya metode pembelajaran. Mengapresiasi sebuah puisi bisa dilakukan dengan melakukan parafrase puisi tersebut. Memparafrase merupakan sebuah kegiatan reseptif dalam kegiatan apresiasi. Pendekatan Parafrastis merupakan sebuah pendekatan dengan cara mengungkapkan kembali gagasan yang disampaikan pengarang melalui karyanya menggunakan bahasa sendiri.
Menurut Aminuddin (2010:44), Pendekatan Analitis adalah suatu pendekatan yang berusaha memahami gagasan, cara pengarang menampilkan atau mengimajikan ide-idenya, sikap pengarang dalam menampilkan gagasan-gagasannya, elemen intrinsik dan mekanisme hubungan dari setiap elemen instrinsik itu, sehingga mampu membangun adanya keselarasan dan kesatuan dalam rangka  membangun totalitas bentuk maupun totalitas maknanya.
Pembelajaran sastra Indonesia secara umum dirasakan lebih sulit dari pada materi kebahasaan. Kesulitan ini terasa sekali pada saat pembelajaran apresiasi sastra khususnya puisi. Hal ini terjadi bukan karena materi tersebut sulit melainkan ada kemungkinan terjadi suatu proses yang salah dalam pembelajaran. Sesulit apapun sebuah materi pasti dapat diajarkan apabila pendekatan, metode, dan teknik yang dipergunakan tepat. Pembelajaran apresiasi puisi merupakan sebuah problematika yang memerlukan pemikiran dan pemecahan masalah.
Pada dasarnya banyak sekali pendekatan yang bisa dipergunakan untuk mengajarkan materi apresiasi puisi, tetapi tidak semua pendekatan yang ditawarkan bisa dilaksanakan atau dipergunakan. Kemampuan guru dalam menyediakan sarana/media, dan kemampuan guru yang terbatas tentu saja sangat menentukan dalam memilih sebuah pendekatan dalam pembelajaran.
Menyikapi semua hal tersebut ditawarkan alternatif lain yang mungkin bisa dijadikan bahan pilihan pendekatan pembelajaran apresiasi puisi di sekolah. Pendekatan yang ditawarkan ini yaitu Pendekatan Parafrastis dan Analitis. Pendekatan tersebut akan dibahas dalam makalah ini, sehingga diharapkan pembaca atau guru tidak salah dalam memilih pendekatan dalam mengapresiasi sebuah puisi.

1.2  Rumusan Masalah
1.      Apakah yang dimaksud dengan Pendekatan Parafrastis?
2.      Apa yang dimaksud dengan Pendekatan Analitis?
3.      Bagaimanakah penerapan Pendekatan Parafrastis dan Analitis dalam penggalan puisi berjudul Sajak Putih karya Chairil Anwar, dan Pendekatan Analitis pada puisi berjudul Prologue karya Sapardi Djoko Damono?

1.3  Tujuan Penulisan
1.      Mendeskripsikan pengertian Pendekatan Parafrastis.
2.      Mendeskripsikan pengertian Pendekatan Analitis.
3.      Mengidentifikasi penerapan Pendekatan Parafrastis dalam penggalan puisi berjudul Sajak Putih karya Chairil Anwar, dan Pendekatan Analitis pada puisi berjudul Prologue karya Sapardi Djoko Damono.


II.       PEMBAHASAN
2.1  Pendekatan Parafrastis
Pendekatan Parafrastis ini berangkat dari sebuah asumsi bahwa kata-kata dalam puisi pada umumnya padat dan sering mengalami elipsis/penghilangan. Waluyo dalam buku Apresiasi Puisi (2002:1) menyatakan bahwa puisi adalah karya sastra dengan bahasa yang dipadatkan, dipersingkat, dan diberi irama dengan bunyi yang padu dan pemilihan kata-kata kias. Untuk itu memahami sebuah puisi yang cenderung mengalami elipsis dan pemadatan makna ini bisa dilakukan dengan menguraikan kembali puisi atau kata-kata tersebut dengna model kalimat yang berbeda. Memparafrase sebuah puisi bisa diartikan memprosakan sebuah puisi atau mengubah bentuk puisi menjadi prosa dengan tetap mempertahankan sudut pandang dan kondisi makna tersurat dan tersirat dalam puisi tersebut.
Menurut Aminuddin (2010:41), Pendekatan Parafrasis adalah strategi pemahaman kandungan makna dalam satuan cita sastra dengan jalan mengungkapkan kembali gagasan yang disampaikan pengarang dengan menggunakan kata-kata maupun kalimat yang berbeda dengan kata-kata dan kalimat yang digunakan pengarangnya. Tujuan akhir dari penggunaan parafrasis itu adalah untuk menyederhanakan pemakaian kata atau kalimat seorang pengarang, sehingga pembaca lebih mudah memahami kandungan makna yang terdapat dalam suatu cipta sastra.
Prinsip dasar dari penerapan Pendekatann Parafratis pada hakikatnya berangkat dari pemikiran bahwa (1) gagasan yang sama dapat disampaikan lewat bentuk yang berbeda, (2) symbol-simbol yang bersifat konotatif dalam suatu cipta sastra dapat diganti dengan lambang atau bentuk lain yang tidak mengandung makna, (3) kalimat-kalimat atau baris dalam suatu cipta satra yang mengalami pelepasan dapat dikembalikan lagi kepada bentuk dasarnya, (4) pengungkapan kembali suatu gagasan yang sama dengan menggunakan media atau bentuk yang tidak sama oleh seorang pembaca akan mempertajam pemahaman gagasan yang diperoleh pembaca itu sendiri, (5) pengungkapan kembali suatu gagasan yang sama dengan menggunakan media atau bentuk yang tidak sama oleh seorang pembaca akan mempertajam pemahaman gagasan yang diperoleh pembaca itu sendiri.
Bagaimanakah sebenarnya memparafrase sebuah puisi? Sebenarnya bukan hal yang sangat sulit untuk membuat parafrase dari sebuah puisi. Membuat sebuah parafrase puisi pada dasarnya merupakan kegiatan mengembangkan atau memunculkan kembali bagian-bagian dari puisi tersebut yang sebenarnya sengaja dihilangan oleh seorang penulis.  Biasanya kebanyakan puisi hanya terdiri atas penggunaan yang sangat minim. Bahkan biasanya untuk tidak mengikuti aturan-aturan kebahasaan demi kepentingan rima, tipografi, dan kedalaman makna. Kerja para peneliti atau apresiator adalah berusaha mengembalikan bagian-bagian lain yang hilang agar didapatkan sebuah pemahaman yang utuh terhadap makna puisi tersebut.
2.2  Pendekatan Analitis
Menurut Aminuddin (2010:44), Pendekatan Analitis adalah suatu pendekatan yang berusaha memahami gagasan, cara pengarang menampilkan atau mengimajikan ide-idenya, sikap pengarang dalam menampilkan gagasan-gagasannya, elemen intrinsik dan mekanisme hubungan dari setiap elemen instrinsik itu, sehingga mampu membangun adanya keselarasan dan kesatuan dalam rangka  membangun totalitas bentuk maupun totalitas maknanya.
Penerapan Pendekatan Analitis itu pada dasarnya akan menolong pembaca dalam upaya mengenal unsur-unsur intrinsik sastra yang secara aktual telah berada dalam suatu cipta sastra dan bukan dalam rumusan-rumusan atau definisi seperti yang terdapat dalam kajian teori sastra. Selain  itu, pembaca juga dapat memahami bagaimana fungsi setiap elemen cipta sastra dalam rangka membangun keseluruhannya.
Tujuan dari pendekatan ini yaitu menyusun sintesis lewat analisis. Lewat penerapan pendekatan ini diharapkan pembaca pada umumnya menyadari bahwa cipta sastra itu pada dasarnya diwujudkan lewat kegiatan yang serius dan terencana, sehingga tertanamkanlah rasa penghargaan atau sikap yang baik terhadap karya sastra. Selain itu, pendekatan ini akan membantu pembaca dalam upaya mengenal unsur-unsur intrinsik sastra yang secara aktual telah berada di dalam suatu cipta sastra. Unsur intrinsik yang dapat dikaji di dalam puisi terdiri dari tema, amanat, nada, perasaan, tipografi, enjambemen, akulirik, rima, gaya bahasa, dan citraan.

2.3  Penerapan Pendekatan Parafrastis dalam penggalan puisi berjudul Sajak Putih karya Chairil Anwar, dan Pendekatan Analitis pada puisi berjudul Prologue karya Sapardi Djoko Damono.
2.3.1        Contoh analisis pendekatan parafrasis pada penggalan puisi Sajak Putih karya Chairil Anwar sebagai berikut:
Dengan memparafrase sebuah puisi, dimungkinkan akan mampu mempermudah pemahaman terhadap aspek makna dan pesan dari isi puisi tersebut. Parafrastis bisa dilakukan  dengan dua macam teknik, yaitu melengkapi bagian-bagian yang terelipsis dari puisi tersebut baik yang berupa ejaan maupun kata/frase, dan menulis kembali dengan kalimat lain maksud dari baris-baris puisi tersebut.
Bersandar pada tari warna pelangi
Kau depanku bertudung sutera senja
Penggalan puisi di atas dapat diparafrase dengan cara melengkapi bagian kalimat yang dielipsiskan menjadi:
Bersandar pada tari-an yang ber-warna pelangi
Kau di depanku bertudung dengan kain sutera pada waktu senja
Atau bisa pula dilakukan dengan cara mencoba memahami secara keseluruhan teks puisi tersebut kemudian menyampaikannya kembali dalam bentuk kalimat yang lain. Untuk teks di atas dapat diuraikan menjadi:  
Ketika aku berada di bayang-bayang keindahan seperti keindahan para penari dan pelangi, saat itulah kau ada di depanku, berdiri memperlihatkan kecantikanmu di bawah bayang-bayang senja.
Terlepas dari bagaimana memparafrase sebuah puisi, tidak bisa dipungkiri bahwa puisi merupakan bagian dari karya seni yang mengemban fungsi, misi, dan visi tersendiri. Karya puisi tentu harus memiliki kandungan makna yang relevan dengan pesan yang hendak disampaikan oleh penyair kepada pembaca. Makna yang terkandung dalam sebuah puisi bisa bersifat tersurat (eksplisit) dan tersirat (implisit). Makna tersirat dalam sebuah puisi ditunjukkan dalam makna denotatif/makna lugas, yaitu makna apa adanya yang melekat dan tampak nyata dalam sebuah kata. Makna denotatif merupakan dasar yang dengan pemahaman secara awam bisa dimengerti dengan mudah. Sebagai contoh dalam puisi berjudul Malam Lebaran karya Sitor Situmorang sebagi berikut:
Malam Lebaran
Bulan di atas kuburan
Secara awam makna yang tampak dalam puisi tersebut adalah pada malam lebaran bulan bersinar di atas kuburan. Titik. Hanya sebatas itu, tidak perlu dipikirkan berbagai macam hal yang rumit di balik itu, sedangkan makna tersirat ditunjukkan dalam bentuk makna konotatif/makna kias, yaitu kandungan lain dari maksud yang tampak seacara awam. Secara tersirat /malam lebaran, bulan di atas kuburan/ bisa dinterpretasikan sebagaimana kesan/efek psikologis dari eufoni dan kakafoni yang dihasilkannya, misalkan:
Malam          : gelap, menakutkan
Lebaran        : kemenangan, menyenangkan
Bulan            : keindahan
Kuburan       : kelam, seram, mistis
Berdasarkan gambaran di atas Malam Lebaran, Bulan Di atas Kuburan bisa diinterpretasikan tentang akan adanya jalan terang atau petunjuk untuk menyinari kita yang berupa kemenangan dan keindahan dari kekelaman yang selama ini kita alami. Bisa saja terjadi interpretasi sebaliknya, yaitu ketika kita berada pada titik atau derajat tertinggi dari yang bisa kita raih, justru pada saat itulah kita akan mengalami keterpurukan atau kehancuran.
Sementara itu kesan atau amanat yang disampaikan oleh penyair secara utuh justru terletak pada bagian yang bersifat implisit tersebut. Untuk itulah, demi ketercapaian penyampaian pesan moral atau amanat sebuah puisi, pemahaman terhadap cacophony dan euphony merupakan faktor mutlak dalam proses kreatif cipta sastra.
Selanjutnya ketika kita berbicara tentang makna, hal yang ada di depan gambaran kita adalah bagaimana kita memilih kata (diksi) yang mempunyai kandungan kandungan makna tertentu atau cara kita memilih kata agar frase atau klausa yang dilekatinya menjadi bermakna sebagaimana yang kita harapkan. Memilih kata dalam proses kreatif cipta karya puisi memang bukan perupakan pekerjaan mudah. Dalam proses ini diperlukan kemampuan berbahasa, wawasan yang luas, serta kedalaman rasa sehingga dimungkinkan akan dihasilkan diksi yang tepat.
Dalam kehidupan sehari-hari pilihan kata yang dipergunakan oleh seorang benar-benar dipengaruhi oleh kondisi lingkungan tempat tinggalnya. Bisa kita bandingkan pemakaian kata-kata di lingkungan militer dengan lingkungan pendidikan, atau lingkungan pekerja proyek dengan lingkungan pondok pesantren. Terdapat perbedaan yang cukup mencolok di antara lingkungan pemakai bahasa tersebut. Bahkan dari kata-kata yang dipergunakan oleh seorang penutur bahasa, dapat diprediksikan asal lingkungan tempat tinggalnya.
Dengan mengetahui bagaimana kondisi dasar yang terdapat dalam sebuah karya puisi yang berhubungan dengan rima, cacophony dan euphony, maupun segala unsur moralnya akan mempermudah proses memparafrase sebuah puisi.
2.3.2        Contoh analisis pendekatan analitis pada penggalan puisi Prologue karya Sapardi Djoko Darmono sebagai berikut:

Dalam pelaksanaannya kegiatan analisis itu tidak harus meliputi keseluruhan aspek yang terkandung dalam suatu cipta sastra. Dalam hal ini pembaca dapat membatasi diri pada analisis unsur intrinsik. Misalnya, dengan menganalisis citraan dan gaya bahasa seperti pada contoh puisi Prologue karya Sapardi Djoko Darmono.
PROLOGUE
Karya Sapardi Djoko Damono

Masih terdengar sampai di sini
dukaMu abadi. Malampun sesaat terhenti
sewaktu dingin pun terdiam, di luar
langit yang membayang samar

kueja setia, semua pun yang sempat tiba
sehabis menempuh ladang Qain dan bukit Golgota
sehabis mencecap beribu kata, di sini
di rongga-rongga yang mengecil ini
kusapa dukaMu jua, yang dahulu
yang meniupkan zarah ruang dan waktu
yang capai menyusun Huruf. Dan terbaca:
sepi manusia, jelaga.

1.      Citraan
    Dalam puisi tersebut Sapardi menggunakan jenis imaji citra auditif yang dapat dibuktikan dengan adanya kata terdengar, yang berarti melibatkan indera pendengaran pada baris pertama yang berbunyi Masih terdengar sampai disini. Baris kempat pada bait pertama juga membuktikna bahwa penyair menggunakan imaji visual yang berbunyi  di luar langit yang membayang samar. Hal ini berarti penyair mengetahui di luar sana langit membayang samar karena adanya penglihatan. Bait kedua pada baris kelima, ketujuh yaitu kata kusapa dan terbaca. Hal itu juga menunjukkan adanya indera penglihatan yang dilakukan penyair pada waktu itu. Penyair bisa menyapa dan membaca karena melihat.

Selain itu, Sapardi juga menggunakan jenis imaji citra pencecapan yang dapat dibuktikan dengan adanya kata mencecap, yang berarti penyair juga melibatkan indera pengecapan dalam puisinya pada baris ke tujuh yang berbunyi  sehabis mencecap beribu kata, di sini. Hal ini membuktian bahwa seseorang yang digambarkan dalam puisi tersebut ikut mengucap beribu kata duka yang telah dialami seseorang. Beribu kata maksudnya doa-doa untuk orang yang meninggal.
Secara umum dalam puisi PROLOGUE, penyair menggunakan imaji perasaan yang melibatkan pendengaran, penglihatan dan pencecapan. Penyair mengungkapkan perasaan sedih, duka melalui pendengaran, penglihatan dan perasaan. Sapardi sangat piawai dalam menggunakan kata-kata, untuk mengungkapkan perasaannya tersebut, penyair memilih dan menggunakan kata-kata tertentu untuk menggambar dan mewakili perasaannya itu. Pada setiap baris dalam puisi tersebut, penyair mampu menarik pembaca ikut larut dalam perasaan penyair. Pada bait yang pertama penyair menghadirkan suasana duka, sehingga pembaca seakan-akan juga ikut merasakan suatu hal yang dirasakan penyair.

2.      Gaya Bahasa
  Dalam puisi ini, penyair menggunakan majas personifikasi yang terlihat pada baris pertama, dan kedua. Baris pertama Masih terdengar sampai di sini dukaMu abadi. Hal itu menunjukkan bahwa kata dukaMu seolah-olah hidup dan dapat mengeluarkan suara, sehingga dapat didengar. Begitu pula dengan baris kedua Malampun sesaat terhenti sewaktu dingin pun terdiam, kata malam dan dingin seolah-olah sesuatu yang hidup, padahal kata malam merupakan keterangan, dan dingin adalah kata sifat. Selain itu, ditemukan lagi majas personifikasi pada:
kueja setia, semua pun yang sempat tiba
sehabis menempuh ladang Qain dan bukit Golgota
sehabis mencecap beribu kata

         Pada kata yang bercetak miring dalam syair tersebut menunjukkan bahwa kata setia merupakan kata sifat yang hanya bisa dirasakan, sedangkan dalam puisi tersebut dieja. Dieja maksudnya dihitung semua orang yang datang dalam proses pemakaman orang Kristen untuk mengucap doa-doa tertentu.
kusapa dukaMu jua, yang dahulu
yang meniupkan zarah ruang dan waktu
yang capai menyusun Huruf

         Pada kata kusapa dukaMu, menunjukkan majas personifikasi karena duka itu merupakan suatu hal yang dirasakan, sehingga tidak bisa disapa. Pada kata meniupkan zarah, juga terlihat bahwa kata duka seolah-olah hidup dan dapat meniupkan zarah, padahal duka merupakan suatu perasaan yang tidak terlihat, tetapi bisa dirasakan.

III.               PENUTUP
3.1  Simpulan
1.      Penerapan Pendekatan Parafrastis selain untuk mempermudah upaya pemahaman makna suatu bacaan, juga digunakan untuk mempertajam, memperluas dan melengkapi pemahaman makna yang diperoleh pembaca itu sendiri.
2.      Dalam pelaksanaannya Pendekatan Analistis itu tidak harus meliputi keseluruhan aspek yang terkandung dalam suatu cipta sastra.

3.2  Saran
Pada makalah ini, masih banyak unsur intrinsik dalam puisi yang merupakan bagian dari Pendekatan Analitis. Misalnya, tema, diksi, enjabemen, nada, dan amanat yang belum dianalisis. Selain itu, terbatasnya materi dalam makalah ini, sehingga diharapkan ada pemakalah lain yang membahas Pendekatan Parafrastis dan Analitis ini secara mendalam.

DAFTAR PUSTAKA

Aminuddin. 2010. Pengantar Apresiasi Karya Sastra. Bandung: Sinar Baru Algensindo.
Waluyo, Herman J. 2002. Apresiasi Puisi. Jakarta; Gramedia.